Menggambar Lebak #6: Jalang ke Gunungjulang
Irma Latifah Sihite 13 Maret 2013Dalam bahasa ibuku di tanah batak, jalang menggambarkan sebuah keberanian menghadapi tantangan. Keberanian keluar dari zona nyaman lama untuk menemukan yang baru. Jalang berarti ikhlas dan belajar untuk bersyukur atas apa yang menjadi bagian kita sekarang.
Agung jalang ke Gunungjulang. Pasti terdengar negatif. Atau mungkin sebagian akan berpendapat sesuai dengan sosok yang digambarkan. Tapi bukan itu. Ini cerita tentang keberanian dan tantangan. Ini cerita tentang seorang Agung, satu dari 6 anggota keluarga kecil kami di Lebak.
Tercatat 2 kali pindah rumah. Berawal dengan kebahagiaan mendapatkan keluarga baru meski pada akhirnya harus tinggal sendiri. Tapi, ternyata hidup sendiri memberinya makna lebih dalam tentang keluarga. Bahwa ternyata, keluarga tak harus tinggal di bawah atap yang sama.
Kebahagian yang lebih besar telah menunggu. Anak-anak yang setia. Tetangga yang penuh cinta. Genap sudah semua, kecuali satu: MCK. Mandi dan buang ampas masih harus menumpang ke rumah tetangga, karena di rumah belum tersedia. Kalau malam telah tiba, petak-petak sawah atau sungai sebagai penggantinya.
Di sini, tingkat kesejahteraan belum berbanding lurus dengan tingkat kesadaran akan pentingnya kakus. Tetapi, kesadaran akan pentingnya kakus berbanding lurus dengan kesadaran akan pentingnya pendidikan. Silahkan, disimpul sesuai dengan penalaran masing-masing. Negeri ini negeri bebas.
Begitulah Gunungjulang. Kampung yang merupakan gudangnya emas. Rumah-rumah pribumi menjulang kokoh. Mobil-mobil mewah seliweran di jalan sempit kampung yang bergelombang.
Masuk ke dalam kawasan cagar budaya Halimun Salak membuatnya selalu berkabut, bak negeri di atas awan. Sekilas kampung ini seperti puncak dengan villa-villa indah milik orang kota dan rumah-rumah lain yang lebih sederhana, bisa disangka sebagai rumah penduduk setempat.
Kekayaan alam ini memang hanya dikuasai oleh beberapa orang saja. Sementara yang lainnya, hanya sebagai pekerja bagi toke besar. Meski demikian, yang mereka dapatkan secara materi sudah cukup membahagiakan. Hanya bermodal otot. Jadi, tak perlu heran jika jutawan kampung tak memiliki turunan yang mumpuni secara akademis. Tak terpakai di sini, mungkin begitu mereka berpikir. Kalau jutawan saja sudah demikian, bagaimana yang tidak? Tak perlu berharap.
Pendidikan di sini tak laku untuk dijual. Jadi, dianggap bukan apa-apa karena hanya bermodal gelar, ya..terima saja. Apalagi kalau hanya bermodal keihklasan, tipis harapannya. Masyarakat yang memiliki kapital membuat mereka menjadi kapitalis yang oportunis. Kalau tidak bisa memberi keuntungan materil, jangan dekat-dekat.
Pernah suatu ketika berhasil meminjam kendaraan salah seorang tokoh masyarakat karena bermodalkan nama seorang pejabat daerah. Ya, kita harus bisa mencari celah bagaimana agar mendapatkan tempat di mata masayarakat.
Kerja berat buat Agung yang jalang di sini. Kadang ada rasa khawatir bahwa tubuh kurusnya akan semakin kering. Kalau saja segala ide dan niat baiknya dimentalkan warga. Sebab, untuk ukuran Gunungjulang, ciptaan Tuhan satu ini belum masuk kategori yang patut untuk diperhitungkan.
Tapi, kenyataannya dia semakin sejahtera saja. Masih girang, masih garang, dan masih garong. Modalnya ada di bawah hidung. Itu tebakanku. Selamat jalang...!!
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda