Menggambar Lebak #3 Lebur di Lebuh

Irma Latifah Sihite 10 November 2012

Hampir sebulan berkenalan dengan Lebak. Mengenal Lebak seperti merasakan lebih dekat tulang ekormu. Ya begitulah..karena dari ojeg ke ojeg kami tawarkan diri. Mencari harga yang tak perlu membuat tertipu hati.

Lalu, petualangan pun bermula setelahnya. Mendaki jalan terjal berbatu. Menanjak tak ragu. Ah..lobang-lobang itu pun siap menelan dua roda ojeg kami yang telah rapuh. Berguncang badan ini di atas roda dua. Tulang ekor jadi saksi, betapa mengenal Lebak seperti merasakan lebih dekat tulang ekormu. Tulang ekor kami.

Tak perlulah kusebut satu per satu. Cukup satu, Lebuh. Kampung yang tersenyum ketika kami tiba di depan sebuah rumah batu, mengucap syukur sambil mengusap-usap -apa lagi? Ya, tulang ekor tadi-. Lega rasanya bisa sampai di rumah Pak Misra dan Mak Fatimah (orang tua Fandy) tanpa perlu terpeleset di lumpur licin atau batu tajam yang kami lalui.

Bagaimana tidak, adalah jalan off road yang kami taklukkan dengan motor-motor bebek. Yang kerap kali seperti merintih kesakitan terbentur batu atau melenguh lelah ketika menanjak. Truk-truk pembawa kayu dan bambu telah menggambar pola di atas jalan kami. Pola bergambar parit-parit besar, yang di bawahnya menganga jurang yang memang tak terlalu dalam. Tapi, jelas celaka jugalah jika seandainya terguling ke dalamnya. Tak sanggup rasanya membayangkan bagaimana jadinya jika hujan turut mewarnai lukisan nyata ini.

Namun, di ujung ketegangan itu, lihatlah sungai yang mengalir tenang dan kerbau-kerbau besar yang mandi di dalamnya. Seperti hilang sudah semua ketakutan atau kesakitan di tulang ekormu. Damai. Tanpa sinyal telepon genggam dan penerangan seadanya.

Semakin damai rasanya ketika kami akhirnya menelusuri pinggir-pinggir sungai untuk kemudian menikmati arusnya yang tak terlalu deras. Airnya yang bening begitu jujur menggambarkan seberapa dalam kami akan berpijak. Tambahan pula merasakan duduk di atas bebatuan besar sembari memandang matahari yang akan tenggelam. Bermandikan sinar jingga. Dan berjalan dengan pelan di jalan setapak di pinggir kebun atau sawah. Sambil menyeletuk, bagaimana kalau kita panjat salah satu pohon kelapa yang kita lewati. Mengambil buahnya satu saja tentu tak akan membuat sang pemilik marah. Lalu, kami pun akan tertawa.

Melewati malam di atas kapuk pun rasanya akan sayang kalau sudah di sini. Berbicara dengan bapak-emak kami sambil mengopi jauh lebih nikmat rasanya. Atau menerima undangan ngeliwet dari tetangga bisa jadi alternatif yang tak kalah berkesan. Meski kantuk pasti datang, tapi rangkulan Lebuh yang hangat seperti menolak sembari berkata: nantilah dulu. Jadilah kami menemani malam mengantarkan orang-orang kampung dalam istirahatnya.

Begitu mudah melebur dengan Lebuh. Cukup mengerti bahwa tanah liat dan batu tajam yang menggetarkan otot-otot kami laksana ujian yang harus dilalui jika ingin meraih sesuatu. Ya, kami ingin meraih Lebuh, ingin lebur di Lebuh.


Cerita Lainnya

Lihat Semua