5 Hal yang Membuat Anak-anak Didikku Tidak Masuk Sekolah

Fandy Ahmad 11 November 2012

Kalau saya sedang mengabsen anak-anak di Sekolah, saya wajib mengernyitkan alis. Karena ada muriku yang tidak hadir, rata-rata per hari tiga orang. Saya mengernyitkan alis karena bertanya-tanya di kepala kenapa anak didikku ini tidak hadir? Dan saya mengernyitkan alis karena berusaha mendapatkan jawaban dari anak-anak yang hadir, namun jawabannya aneh-aneh.

Misalkan di Kelas IV, saat saya menyebut nama Kamal Alamsah, muridku yang tinggal di Kampung sebelah. Seisi ruang Kelas yang jumlahnya 61 biji akan berteriak cempreng bersahut-sahutan dan berlomba-lomba mendapatkan perhatian dari saya. “Malaaaaas Pak!” atau “Bolossss Pak!” ada juga yang teriak “Ayam-nya mati Pak!” teriak anak-anakku sambil mengacung-acungkan tangan berebutan ngomong.

Tapi berbeda saat ditanya 2x3 berapa, seisi kelas akan menjadi sunyi seperti kuburan. Beberapa ragu mengacungkan telunjuk. Beberapa malu-malu tidak jelas. Beberapa juga menutup wajahnya dengan tas atau kedua talapak tangan jika aku pandangi wajah mereka denga senyum manisku.

Saat ada murid yang tidak hadir, saya sebagai guru tentunya merasa hari itu ada yang kurang sebelum Lesson Plan/RPP. Tindakan selanjutnya adalah mencari informasi kenapa anak ini tidak hadir. Informasi yang saya kumpulkan dari teman sekampung yang dekat dengan rumah anak yang tidak hadir ini. Atau langsung berkunjung ke rumahnya. Kalau rumahnya di kampung sebelah, hal yang paling menyenangkan adalah berjalan beramai-ramai dengan anak-anak lalu bertanya di mana rumah anak ini, sambil bertanya di mana rumah mereka. Meskipun jaraknya dari rumah tinggalku 3 km.

Kalau sampai di rumah anak yang tidak hadir, beberapa anak yang tidak hadir akan kabur lewat pintu belakang seperti biasanya. Untuk bersembunyi ditempat-tempat strategis seperti kandang ternak, kolong rumah, di kebun, atau di atas pohon. Kalau ada orang tuanya, akan saya tanyakan; “Anak Ibu aya’? (Anak Ibu ada?)”. Dengan santainya Ibu anak itu akan menjawab; “Tuh lagi main kelereng”. Tapi saya biasanya tidak berani bertanya ke orang tua murid yang sedang ngasah golok. Meskipun pikiran saya berusaha positif; “Golok itu untuk motong kayu di hutan, bukan buat kamu”. Inilah kelemahan manusia, termasuk saya, kadang tidak mampu mengendalikan ekspektasi ke orang lain.

Ini hasil survey kecil-kecilan saya ke anak-anak yang jarang ke sekolah. 5 alasan kenapa anak-anak didikku jarang masuk sekolah:

 

1.    Ngangon Ternak (Kambing dan Kerbau) dan Jaga Hewan Piaraan

“Bapak tanya, kira-kira pekerjaan apa yang dapat menghasilkan uang 15 juta per tahun?” saya bertanya kepada murid-murid kelas IV beberapa waktu yang lalu saat pelajaran Matematika. Meskipun masih kelas IV saya sudah memberikan pelajaran nilai tempat satuan, puluhan, ratusan, ribuan, hingga milyaran. Mereka semangat jika diberi soal terkit nilai tempat. Mereka jagonya. Karena pastinya akan berbicara soal uang. Tapi jangan sampai kelak mereka jadi manusia-manusia yang mata duitan. Ih, jangan ah!

Semua anak berpikir keras, kira-kira pekerjaan apa yang bisa menghasilkan uang Rp 15 juta pertahun. Saya bertanya soal ini karena pelajaran nilai tempat bukan saja bicara duit. Tapi juga bicara cita-cita. Beberapa detik kemudian; “Pilot Pak!”, “Dokter Pak!”, “Bambang Pamungkas Pak! (Pemain Bola)”, “Jaga toko Pak!”, “Juragan Pak! (Pengusaha)”, “Kebun Kelapa Sawit Pak! (di Malaysia)” teriak mereka bersahut-sahutan. Lalu saya dengan semangatnya bilang ke anak-anak; “Jadilah seperti mereka, ubahlah nasib orang tuamu. Agar kamu bisa membalas kebaikan mereka sejak kamu di kandungan. Di Indonesia, Bambang Pamungkas cuma satu. Coba kalo kita punya lima. Anak-anak harus jadi Bambang Pamungkas yang lain!”. Tapi ada satu jawaban samar-samar tapi keras yang membuatku tertarik; “Ngagon (Gembala) Kerbau Pak!”. Jawaban itu membuat tawa seisi ruangan meledak. Lalu ada anak yang nyeletuk; “Ulah ngangon bae! Sia’ males asup ka sekolah! (Jangan gembala aja! Kamu malas masuk ke sekolah)”. Tawa ledekan yang meledak kali ini.

Saya baru tahu, ternyata Kerbau yang badannya gede, harganya mencapai Rp 11 juta. Bayangkan saja jika punya lima sampai delapan kerbau. Itu kenapa orang tua mereka lebih suka menyuruh anaknya ngangon kerbau dari pada ke sekolah atau Sholat Jumat. Kalau hari raya Qurban pasti ternaknya laris abis.

Saya juga pernah bertanya operasi hitung campuran di Kelas IV ke anak-anak yang belum bisa baca tulis. Kalau pelajaran Matematika, yang belum bisa baca tulis saya pisahkan dengan yang sudah bisa. Jumlahnya mencapai 15% dari 61 anak. Karena akan sangat kewalahan kalau tidak dipisah. Pertanyaan saya; “Kamu punya ayam lima ekor, selama 1 bulan setiap ayam bertelur tujuh butir tapi belum ada yang menetas. Lalu ada ular yang masuk kandang ayam dan memakan telur ayam kamu 15 butir. Berapakah sisanya?” tanyaku kepada murid-muridku yang menggemaskan ini. Alhamdulillah mereka menjawab dengan benar: “20 butir Pak!”. Keesokan harinya ada tiga anak yang belum bisa baca tulis tidak hadir di sekolah. Saat saya tanya ke anak yang lain kenapa temannya tidak masuk, mereka menjawab: “Nggak masuk karna jagain ayam piaraan Pak! Takut telur ayamnya dimakan ular” kata mereka senyun-senyum sendiri.

Tapi benar, itu bukan karena kesalahan saya memberikan soal cerita operasi hitung campuran dengan mengaitkan ke Ayam. Tapi mereka biasanya di suruh orang tuanya menjaga ayam-ayam di kandang dari gangguan ular dan anjing. Atau takut ayam-ayamnya lepas entah kemana. Tidak bisa dipotong kalau lebaran nanti. Mereka makan daging setahun sekali, tiap hari lauknya kalau nggak jengkol ya pete.

 

2.    Bantu Orang Tua (Di Sawah, Di Kebun, Ke Jakarta)

Musim panen tiba. Gabah di sawah melimpah. Musim hujan pun demikian. Air melimpah. Sawah-sawah tergenang. Pohon-pohon karet kalau disadap hasilnya berkilo-kilo gram. Tapi anak murid di kelas tidak melimpah. Karena mereka membantu orang tua kerja di sawah atau nyadap karet di hutan. Syukur-syukur ada yang rela nyadap subuh-subuh supaya paginya bisa ke sekolah.

Ada juga yang entah kenapa ikut orang tua ke Jakarta untuk bekerja. Entah juga kerja apa? Biasanya jelang hari raya Idul Fitri atau setelahnya.

 

3.    Ngasuh/Jaga Adik

Mereka ada yang tidak ikut orang tua ke kebun dan sawah. Ada juga yang tidak ngangon atau jaga Ayam. Tapi tidak masuk sekolah. Lha, terus? Ternyata mereka mengasuh adik karena kedua orang tuanya pergi ke kebun atau lagi sibuk pergi ke luar kampung. Kalau sudah begitu saya akan bilang ke anak yang minta ijin tidak sekolah besok karena ngasuh adik; “Bawa buku ini, baca-baca di rumah sambil ngasuh adik” atau “Ini ada soal dari bapak, dikerjakan sambil ngasuh adik ya!” begitu pesanku kepada anak-anak yang minta ijin untuk ngasuh adik. Meski dengan berat hati.

Atau kalau ada yang ingin minta ijin besok tidak masuk untuk ngasug adik. Saya akan menyuruh anak muridku membawa saja adiknya ke sekolah. “Tidak apa-apa ya Pak?” kata anak muridku. “Oh, tentu saja tidak apa-apa!” jawabku. Muridku senang bukan kepalang. Meski harus menggendong adiknya ke sekolah, berjalan kaki ke sekolah yang jaraknya luar biasa.

 

4.    Sakit/Penyakitan

Ini wajar dan pasti dimaklumi. Tapi penyakitnya apa? Saya pikir anak yang tidak hadir, menjadikan sakit sebagai alasan. Ternyata tidak. Mereka sakit beneran. Demam, pusing berat, dan mual. Terutama yang pusing berat. Pusing, tidak seimbang, berkunang-kunang, dan tiba-tiba menangis tepatnya. Karena banyak muridku yang, maaf, telinganya congek-an. Penyakit ini yang membuat mereka sering pusing tiba-tiba.

Pertama kali saya mengajar, saya harus membuka semua jendela karena baunya yang dahsyat! Dengan hati-hati saya bilang ke anak-anak; “Wah, hari ini gerah sekali ya. Anak-anak panas nggak? Bapak kok panas ya! Jendelanya dibuka dong! Biar segar!” begitu kataku untuk menghilangkan bau congek yang menguasai kelas dan tentu saja sangat menyiksa hidung. Saya coba bernapas tersendat-sendat tapi pasti, pelan-pelan tapi bernapas, toh lama-lama jadi biasa. Sekarang, kalau aku masuk kelas, sudah biasa. Karena saya sudah melebur dengan bau anak-anakku. Baunya kalau nggak jengkol, pete’, keringat, ya bau ‘itu’ tadi. ‘Itu’ ada obatnya, tapi aku belum mengusahakannya. Ada yang mau membantu mengirimkan obat tetes telinga? Kirim ke: Fandy Ahmad-Indonesia Mengajar, d/a Bpk. Ape Rabai, Kampung Lurah RT 02/RW 02, Kecamatan Cipanas, Lebak-Banten. Serius, dengan senang hati saya tunggu paketnya. J

 

5.    Kondangan dan Hari Besar Keagamaan

Kalau ada yang sunatan di kampung atau ada yang nikah, anak-anak biasanya tidak masuk sekolah karena acara kondangan itu. Alasannya saya tidak tahu, tapi ini sudah menjadi kebiasaan anak-anak. Kalau ada kondangan pasti ada saja yang tidak ke sekolah. Mereka biasanya main kelereng di sekitar area kondangan. Saat saya tanyai mereka, jawabannya; “Bantu-bantu yang kondangan Pak!” meskipun yang kondangan bukan saudara dekatnya. Kondangan selesai, mereka akan berebutan berkat dari yang kondangan.

Biasanya kalau bulan puasa jangan heran kalau kelas seeeeeepiii. Tidak riuh ramai seperti biasa. Mereka tidak masuk dengan alasan sedang puasa, takut puasanya bocor. “Mending bocor sekolah dari pada bocor menjalankan perintah agama” komentar seorang guru di sini malu-malu.

 

Ya, begitulah mutiara-mutiara Indonesia di pelosok negeri. Ada kondisi di mana mereka tidak pernah memilih untuk tidak ke sekolah. Ada kondisi di mana mereka terpaksa tidak kesekolah. Saya yakin se yakin yakinnya; mereka tidak pernah memilih untuk tidak sekolah. Yang bisa saya lakukan hanya berusaha bagaimana mereka senang ke sekolah. Suka sekolah! Bagaimana pun caranya pasti ada cara. Mereka masa depan Indonesia. Saya tidak mau pendiri-pendiri republik yang  pemberani, yang meninggalakan segala kenyamanannnya untuk mengusahakan kemerdekaan bagi rakyat Indonesia, galau di alam sana. Sudah ah! Saya mau masuk kelas dulu. Saya rindu bau mereka, anak-anakku, mutia-mutia Indonesia di pelosok Lebak!


Cerita Lainnya

Lihat Semua