Menggambar Lebak #2 Terang di Puncak Sitoko

Irma Latifah Sihite 31 Oktober 2012

Hamparan sawah sengkedan tak henti-henti memanjakan mata. Angin pun riuh melawan laju roda empat yang tak mungkin dipacu cepat, sebab bebatuan juga ingin ikut meramaikan perjalanan. Bebatuan itu mengguncang badan kami, seolah begitu bahagia sambil bersorak: Selamat Datang di Sitoko.

Namun, suram wajah tiang-tiang listrik di sana. Mereka menggambarkan rasa bersalah, telah memberi harapan hampa pada temannya manusia. Sebab, mereka yang tadinya akan membawa terang nyatanya hanya sebatas tiang tak bernyawa. Ah, pilu rasanya..

Dan ketika matahari akan berpindah, nelangsa pun kian terasa. Ia berpindah teriring panggilan untuk memujaNya. Semakin syahdu saja. Lantang kaki menusuri lorong sempit di antara bumi-bumi penduduk Sitoko. Coba untuk penuhi panggilan itu. Menanjak, menaiki tanah yang saling tindih. Sampai ke puncaknya, di tempat yang kami kata surau.

Dalam gelap kami memujaNya. Ya, gelap temaran cahaya lilin tunggal. Pujaan dari dalam sisi-sisi anyaman bambu dan lindungan pelepah sagu. Terdengar mendayu..

Di sinilah kami, memujaNya dalam gelap. Bersujud penuh harap, tetapkanlah syukur kami. Bukan karena kami telah terbiasa, malainkan keinsafan: bahwa tanah ini kasihNya jua. Harapan untuk kami tetap bernyawa.

Deritan kayu menemani kami mengalunkan namaNya. Tulus. Malam ini -dan entah sampai kapan-, kami jadikan lilin sebatang laksana matahari. Memaknainya sebagai terang yang benderang, di Puncak Sitoko.


Cerita Lainnya

Lihat Semua