Menggambar Lebak #1 Hujan Debu Neglasari

Irma Latifah Sihite 28 Oktober 2012

Neglasari, kampung yang terletak di sebuah desa yang dulu dikenal dengan nama Cikere (sungai yang kering). Bagaimana tidak, kami memang tidak sekaya desa lain untuk urusan cai (air). Tapi jangan salah, di balik kekerean itu kamilah sumber dari keramik yang memperindah rumah-rumah di kota, pun sebagian rumah-rumah kami.

Kami tengah meremajakan diri. Memoles rupa bak puspa: Mekarwangi. Do’a untuk tak lagi dikata kere. Menularkannya agar yang lain pun tahu, kami masih punya harapan. Mekarwangi, tak lagi Cikere. Kami punya semerbak wangi bunga itu, kami mekar merekah. 

Tapi, kalaupun masih disebut demikian, kami ikhlas. Yang penting: Cadas, batu harapan yang menyimpan anasir-anasir mimpi kami, masih terus ada untuk digerus oleh tarian beko-beko nan ayu. Jadikan yang tadinya bebukit laksana lembah. Tak berhenti, kemudian jadikannya kawah.

Roda-roda truk besar pun rasanya tak akan pernah tua. Masih saja membara melindas bebatuan di jalan kami. Membuat bopengnya semakin menjadi. Mereka, mesin-mesin itu setia membawa mimpi kami. Kemana? Entahlah. Mungkinkah mimpi itu yang kembali dengan mengetuk pintu-pintu kami dalam sekantong ikan asin?

Paling tidak, terima kasih, karena sudah menempelkan bekas mimpi itu di dinding-dinding rumah kami, di teras depan kami, di baju-baju kami yang terjemur, di lobang hidung, di muka, di mata. Semua..tak ada yang terlewatkan. Jadikan segala memutih,untuk kemudian mengendap menguning, hingga renta diapun menjelma jingga. Agar kami dapat mengenangnya. Menjaga kegagahannya.

Ya..itulah semarak debu kenangan dari lindasan lingkaran-lingkaran karet besar di tanah kami yang berbatu. Neglasari hujan debu, saudara. Dalam setiap tarikan nafas. Semoga itu bukanlah butiran mimpi kami yang telah lebur dan luntur dan tak mungkin lagi menjadi cadas yang mengepulkan asap di dapur-dapur kami. Semoga.


Cerita Lainnya

Lihat Semua