Rahmat, Akhirnya Menjadi Protokol

Fini Rayi Arifiyani 28 Oktober 2012

 

“Bu, saya ndak paca.” Rahmat berkilah sambil menjauhiku.

“Kamu pasti bisa. Tadi kan kamu yang minta.”

Cukup alot untuk mendorong Rahmat menjadi protokol upacara kedua di sekolah. Saat latihan upacara, biasanya kumenyerahkan kepada anak-anak yang mau menjadi petugas. Aku hanya mengarahkan lalu mereka yang menentukan, “Petugasnya dari kelas 5. Kalian harus belajar. Tahun depan tidak ada kelas 6, siapa yang mau menggantikan?” Lanjutku, “Ayo, siapa yang mau jadi petugas upacara?”

 

Biasanya, penentuan petugas upacara berdasarkan kemauan dari anak-anak, seperti yang dilakukan Rahmat, “Bu, saya jadi protokol, ya.” Aku mengiyakan. Saat latihan, anak-anak yang menjadi petugas seringkali mengundurkan diri. Jika sudah begitu, aku meminta mereka bertanggung jawab, “Tadi siapa yang bilang mau jadi petugas? Kalian sendiri yang memilih. Jadi, kalian harus bertanggung jawab dengan pilihan kalian.” Kalimat itulah yang akhirnya membuat Rahmat akhirnya tetap menjadi protokol.

 

“Bu, saya ndak paca. Ganti bae.”

Aku bersih keras memintanya menjadi protokol. “Coba dulu. Kamu pasti bisa.”

 

Rahmat mencobanya walaupun membacanya tersendat-sendat. Seorang anak menyeletuk, “Ganti bae, Bu.” Rahmat kembali mengendur. “Biar Rahmat mencoba dulu,” kataku sambil terus menguatkan Rahmat. Prinsipku, saat orang lain mengatakan kamu tidak bisa, tunjukkan kamu bisa. Prinsip itulah yang ingin kusampaikan lewat suratan dengan memintanya tetap menjadi protokol.

 

Setelah berlatih, akhirnya, Rahmat ketagihan dan merasa bangga. Temannya yang menjadi pembaca doa sampai-sampai ingin jadi protokol juga.

 

Sehari sebelum upacara atau tepatnya hari Minggu, Rahmat ke rumahku. Anak yang sangat hobi tertawa itu mengatakan kegelisahannya, “Bu, saya deg-degan.” Aku memintanya tetap tenang dan menyakinkannya bahwa dia bisa.

 

Senin pagi, sosok Rahmat belum terlihat juga. Ada perasaan khawatir terlebih ada siswa yang mengatakan Rahmat tidak masuk karena takut jadi petugas upacara. Dari warung dekat sekolah, kutatap lekat-lekat ke arah jerambah sekolah, berharap sosok itu muncul. Lama tidak ada juga.

 

Persiapan upacara dilakukan, siswa kelas 5 bernama Rahmat Adi Saputra tidak kunjung terlihat. Ada rasa bersalah jika Rahmat tidak jadi datang karena takut menjadi protokol. Akan tetapi, rasa bersalah itu sirna ketika kulihat Rahmat datang. Dia datang dengan gaya berbeda. Lebih rapi dan rambutnya itu digayakan ke atas. Aku tersenyum melihatnya. Rahmat... Rahmat...

 

Ketika upacara dilaksanakan, Rahmat didampingi wali kelasnya dan guru olahraga karena membaca tidak lancar. Deg-degannya lebih membuatnya tersendat-sendat membaca. Aku yang berdiri tidak jauh darinya berusaha menyemangati. Bagiku, tidak masalah jika upacara kali ini tidak sebaik minggu lalu. Wajar jika salah sana-sini karena mereka baru belajar. Pandangan inilah yang akhirnya kusampaikan kepada kepala sekolah, “Minggu ini kelas 5 yang bertugas, Bu. Biar mereka belajar.”

 

Selesai upacara, kuhampiri Rahmat. Kukepalkan tangan kanan sambil diarahkan ke udara. Rahmat melepaskan senyuman khasnya. “Bu, minggu depan saya jadi petugas yang lain, ya,” pintanya. Senyumku bertambah lebar. Kau, berhasil, Nak.


Cerita Lainnya

Lihat Semua