info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Presiden Ketika Aku Tua Nanti

Fini Rayi Arifiyani 28 Oktober 2012

 

Sore tadi, aku bersama anak-anak membuat kripik ubi (sebutan singkong di desa ini). Kami memasak bersama sambil mengobrol. Seperti biasa, anak-anak seringkali becanda. Aku memperhatikan mereka, terkadang tertawa melihat kelakukan mereka. Pola tingkah anak-anak itu istimewa. Mereka becanda lalu berantem dan kembali baikan, kadang.

 

Sama seperti kejadian sore tadi. Agung, siswa yang meraih peringkat 4 di kelas 3 itu mengomentari irisan ubi yang dibuat teman-temannya. Salah satu anak yang mengiris ubi merasa tersinggung. Alhasil? Dia marah, diam ketika yang lain asyik mengobrol dan makan kripik bersama.

 

“Gung, Elda marah. Coba kamu minta maaf,” ujarku kepada Agung seraya melihat Elda yang menjauh dari kami. Tanpa berlama-lama, Agung bangkit dan menghampiri Elda, “Cek (sebutan anak perempuan yang lebih tua), aku punya salah, ya?” Tangannya terjulur, tanda meminta maaf.

 

Agung ini memang istimewa, tidak seperti anak biasanya yang malas atau malu untuk minta maaf. Dengan besar hati, dia meminta maaf. Melihat juluran tangan Agung tidak berbalas, akhirnya aku buka suara, “Elda, Agung sudah besar hati untuk minta maaf.” Lama sekali audiensi antara mereka untuk mencapai kesepakatan maaf. Biarlah mereka yang menyelesaikannya sendiri.

 

Sebelum tinggal di rumah ini, aku belum mengenal Agung dengan dekat. Awal kedekatan itu tercipta ketika aku bersih-bersih menjelang tinggal di rumah ini. Ketika itu, Agung membantuku dengan cekatan.

 

Pertama kali kekagumanku mendarat kepadanya ketika melihatnya menukang. Paku sana, paku sini. Getok sana, getok sini. Urusan palu dan paku, serahkan kepadanyalah.

 

Setelah tinggal di rumah ini, aku semakin mengenalnya. Bagaimana tidak? Rumahnya hanya berselang satu rumah dari rumah ini. Setiap hari, anak yang bercita-cita menjadi presiden itu main ke rumah.

 

Berbicara tentang cita-citanya, aku bertambah kagum dengannya. Ketika aku bertanya tentang cita-cita, Agung yang mengatakan ingin menjadi presiden. Melihat kondisi keluarganya, cita-cita sungguh luar biasa. Kakak perempuannya putus sekolah ketika kelas 2 SMP, sedangkan kakak perempuannya yang lain sedang sekolah paket B (SMP). Aku berharap Agung tidak akan putus sekolah, terus bersekolah hingga perguruan tinggi dan mencapai cita-citanya menjadi presiden. Sepertinya, akan sangat membanggakan ketika aku tua nanti, Agung menjadi presiden. Aku melihatnya dari televisi, dia berdiri di depan istana negara. Maju terus, Gung! Presiden Indonesia pun banyak berasal dari desa.

 

Ada butiran-butiran halus yang rasanya ingin menetes ketika Agung mengatakan cita-citanya. Tidak! Tidak aku biarkan butiran kekaguman itu menetes. Aku akan membiarkannya menetes ketika tua nanti, Agung menjadi presiden negara ini.


Cerita Lainnya

Lihat Semua