Bang Bing Bung, yok Kita Nabung!

Nani Nurhasanah 27 Oktober 2012

Panen Jambu mete tiba, saatnya warga SP 3 mendapatkan rezeki melipah ruah. Jambu mete merupakan satu-satunya penghasilan sebagian besar warga SP 3. Tak hanya orang tua mereka yang mendapat banyak uang, anak-anaknya pun kecipratan. Anak-anak yang juga ikut membantu orang tuanya memetik biji jambu mete, mendapatkan uang saku yang lebih besar dari bulan-bulan sebelumya yang terkadang tidak diberi uang sama sekali. Hal ini berdampak pada tingkat komsumtivitas anak-anak yang meningkat. Mereka menghabiskan uang sakunya untuk jajan di sekolah. Di sekolah kami tidak ada kantin, Suharni yang menjajakan jajan (istilah untuk makanan) menjadi serbuan utama anak-anak.

Saya merasa sedih melihat anak-anak bolak balik membeli jajan. Bukan tak ikut bahagia dengan rezeki tambahan yang didapatkan Suharni, tetapi seharusnya anak-anak bisa mengatur uang yang didapatkannya tidak tiap bulan itu.

“Nabung yuk” lontar saya pada Atun. Atun adalah murid saya, siswa kelas 5.

“Nabung di Ibu?” tanyanya.

“Iya” jawab saya. “Besok anak-anak bleh nabung di Ibu, hari ini Ibu akan buat buku tabungannya” tambah saya.

Di dusun saya tidak ada penjual buku tabungan, toko perlengkapan alat tulis pun tidak ada. Saya memotong kertas A4 dan menjadikannya 4 bagian kemudian diberi cover kertas warna dan distemples dua kali di bagian tengah atas dan bawah. Jadi deh buku tabungan warna warni.

Besoknya, saya mengumumkan kepada anak-anak kalau ada yang ingin menabung boleh dititipkan uangnya kepada saya. Saya memberikan contoh berapa kira-kira nominal uang yang bisa diperoleh kalau mereka rajin menabung walaupun hanya Rp 500 atau Rp 1.000 setiap harinya. Saya jelaskan juga bahwa mereka bisa membeli baju, tas atau barang lainnya dari uang tabungan mereka sendiri. Di luar dugaan, semua anak kelas 5 antusias. Semuanya menyetokan uang yang tak sedikit. Mereka mulai mengatur uangnya, berapa yang ditabung berapa yang dijajankan.

Senanng rasanya melihat anak-anak lebih antusias menabung daripada jajan. Kehebohan menabung di kelas 5 menular kepada anak kelas lainnya. Saya yang juga mengajar bahasa Indonesia di kelas 6 dminta untuk menyimpankan uang tabungan mereka. Saya merekomendasikan wali kelasnya yang memegang, tetapi Pak Sapii yang merupakan walikelas 6 meminta saya saja yang memegang uangnya.

Kelas 3 pun tak ingin kalah, melihat kakak-kakak mereka yang memamerkan buku tabungan warna warni dan nominal uang di dalamnya, mereka pun minta saya menyimpankan uang mereka. Saya limpahkan permintaan anak-anak kepada Pak Mus Guru Kelas 3, Pak Mus pun berpendapat sama dengan Pak Sapii.

Bagaimana dengan kelas 4 yang teman berbagi kelas dengan kelas 5? Sebelum anak-anak memnta saya menyimpankan uangnya, saya terlebih dahulu memberikan buku tabungan warna warni kepada Bu Ani walikelasnya untuk dijadikan buku tabungan kelas 4.

“Gratis kan Bu?” tanya Bu Ani.

“Hehe, gratis dong Bu” jawab saya.

Kalau ada anak kelas 1 dan 2 yang mau nabung, saya sudah menyiapkan buku tabungan untuk diberikan kepada wali kelas 1 dan 2.  Untung jumlah seluruh siswa sekolah kami hanya 60an anak, jadi saya tidak terlalu kerempongan membuat banyak buku tabungan.

Semakin hari nominal uang yang ditabungkan semakin mengecil. Tetapi anak-anak tetap rutin menabung.

“Bu, kalau hari Raja uang tabungan saya bisa diambilkan Bu? Saya mau beli baju baru” tanya Ima.

“Iya, nanti uangnya Ibu bagikan saat kenaikan kelas, saat tugas Ibu mengajar disini selesai. Itu sebelum hari Raja, jadi Ima bisa beli baju baru untuk hari Raja” jawab saya.

Yah, hari itu tinggal 8 bulan lagi. Mengapa waktu berlalu begitu cepat berlalu. Sepertiga perjalanan telah saya lalui.


Cerita Lainnya

Lihat Semua