Doa Terkhusyuk

Fardhady Himawan Kusumo Hanggara 28 Oktober 2012

"sret… sret… sret… tak!" suara kapur tulis yang kugenggam menyayat papan tulis hitam dikelas kami. Dengan mata membara anak-anak langsung dengan sigapnya mengambil buku dan pulpen mereka dari dalam tas. Dan kata-kata ajaibku pun muncul.

"yang benar boleh pulang duluan… "

Tanpa berkata apapun mereka langsung menulis dang menjawab soal matematika. Memang hal ini biasa saya lakukan diakhir jam sekolah. Soal yang saya beri memang susah, mungkin sangat susah bagi mereka. Tapi jangan dibayangkan soal ini seperti pelajaran SD yang super duper susah. Soal yang saya beri memang hanya berkisar antara perkalian dan pembagian. Memang mereka yang belum terbiasa menghitung perkalian dan pembagian menjadikan matematika menjadi "musuh terbesar" bagi mereka. Dengan cara inilah saya ingin mendamaikan mereka agar mereka bisa jadi kawan sejati.

"duk… duk… duk… " suara langkah diatas gertak kelas.

"Ini pak punya saya" kata dereng, siswa kelas 5.

Sekilas saya pandangi pekerjaannya, "6 dikali 7 berapa dereng?" Dereng pun berkomat kamit baca mantra (maksudnya menghitung perkalian dengan menambahkan satu persatu)

"empat puluh dua pak" jawabnya mantab

"bener, tapi kok disini 6 dikali 7 jadi 36?" jelasku sambil mengembalikan pekerjaannya

"eh, iya pak. hehe" sambil cengar cengir dia balik ke kursinya.

Suasana menjadi hening kembali, hanya terdengar suara beberapa siswa yang sedang membaca mantra perkalian.

Tiba-tiba. "ini pak, hehehe" saya dikagetkan oleh seorang Evi yang datang sambil cengar-cengir membawa senyum khasnya, dia adalah murid kelas 6. Evi datang sambil menyodorkan hasil pekerjaannya.

"sip, silahkan doa dan bersyukur" Kulihat Evi kembali ke tempat duduknya dengan senyum lebar kemudian dia doa sebelum pulang. Melihat Evi sudah berdoa, murid-muridku yang lain semakin garang bekerja, seperti tidak mau kalah. Setelah berdoa, Evi berpamitan sambil mencium tangan dan kemudian langsung pulang.

Tak bisa kupungkiri, beberapa muridku memang agak tersendat jika berhadapan dengan "sahabat" yang satu ini. Sehingga 30 menit pertama menyisakan 5 orang. 1 murid kelas 6 dan 4 orang murid kelas 5. Terlihat mereka memang belum mengerti bagaimana cara mengalikan dan membagi. Kemudian saya menuliskan angka yang lain dan menjelaskan kembali. Dengan perlahan.

"pak jangan dihapus ya contohnya" minta salah seorang murid. Saya pun mengangguk.

30 menit kedua telah berlalu, dan mereka masih berusaha mencari jawaban yang benar. Sudah berulang kembali mereka datang dan memeriksakan jawabannya kepadaku. Dan berulang kali juga mereka kembali ke bangkunya perasaan kecewa karena pekerjaan mereka belum benar.

Bersyukur di 30 menit ketiga ini satu persatu murid yang tersisa dapat menyelesaikan pekerjaan mereka dengan benar. Sisa satu orang murid lagi, dengan sabar kutunggu ia sampai selesai dan benar.

"ini pak pekerjaan saya" katanya sambil memberikan bukunya. Kulihat ia sedang memejamkan matanya, mungkin takut salah lagi atau mungkin juga sedang berdoa.

"silahkan berdoa" kataku sambil tersenyum. Kemudian senyumnya pun terbuka lebar sambil kembali ke tempat duduknya.

"jangan lupa bersyukur ya"

"iya pak"

Dengan tenang ia memejamkan mata sambil menganyam kedua tangannya. Kutunggu ia berdoa, tapi jika dirasa, kenapa lama betul ya ia berdoa. Kulihat baik-baik raut mukanya, terasa olehku emosinya dari bagaimana ia berdoa dan cara ia memejamkan matanya.

"ini anak, benar-benar khusyuk banget doanya" kataku dalam hati sambil tersenyum. Mungkin lama betul ia bersyukur karena bisa mengerjakan tugas matematika yang sulit baginya itu. Tak terasa 5 menit sudah ia memejamkan mata dan menganyam kedua tangannya. Akhirnya ia membuka mata dan membuka senyum sambil berjalan kearahku membawa tas dipunggungnya.

"pak, salam" katanya sambil menyodorkan tangannya tanda ia pamit mau pulang.

"hati-hati ya… " kataku sambil tersenyum kepada gadis kecilku yang satu itu.

"iya pak, terima kasih" katanya sambil membawa senyumnya pulang dalam langkah kecil nan cepat.


Cerita Lainnya

Lihat Semua