Jejak (2) : Malam Pertama di Neglasari

Irma Latifah Sihite 31 Maret 2013

Malam pertama di Neglasari adalah dua minggu setelah malam pertama di Tanah Baduy. Malam ini malam yang besar. Di sini, kami akan menentukan bagaimana janji akan kami tuntaskan. Di sini, akan kami jabarkan langkah demi langkah pembuktian.

Rapat kelompok, begitu kami menamainya. Meski sejujurnya, bagi kami ini adalah temu kangen. Pernahkah kalian bayangkan merindu sampai tak dapat senyum? Begitulah kami,  jika lebih dari tujuh kali matahari terbit terbenam kami tak bertemu, rindu menyayat hati. Ah, kenyataan memang hiperbola.

Malam ini malam pertama yang berbeda. Tak ada ketegangan, tentu. Urat-urat kami kendurkan. Kami kendurkan untuk mempererat ikatan. Kami sedang berbahagia, melepas kerinduan. Kami sedang membara, menggambar harapan.

Di depan warung milik Teh Mul, di dipan yang lebar dan bersahaja ini kami duduk melingkar. Ditemani satu mug ‘kopassus’ susu coklat hangat. Kami berbagi tanpa isyarat, tapi firasat. Kita Lebak, kita Satu. Satu rasa, satu karsa, satu cipta. Satu mug, akhirnya.

Di dipan yang hangat itu kami mengingat kembali bahwa di Tanah Baduy kami telah mengikatkan diri untuk suatu tanggung jawab. Malam ini adalah jawaban, menerjemahkan kepercayaan ke dalam tindakan. Menentukan apa yang akan kami perjuangkan. Memperjuangkan apa yang telah kami tentukan.

Mulai terbaca peta buta di hadapan kami. Satu per satu garis-garisnya yang tak lurus mulai terlihat. Jalan ini memang tak akan mulus, begitu pertandanya. Berkelok, bergelombang, menanjak, kadang curam. Sebuah jawaban yang harus ditantang.

Hari tak lagi sama setelahnya. Kami harus bergegas. Setahun bisa jadi ilusi. Setahun bisa rasa sehari. Seperti Dayang Sumbi yang membangunkan kokok ayam sebelum masanya. Lebak pun dapat meniupkan sangsakala tak terduga, sebagai tanda habis sudah waktu kami.

Jika kami berleha, di waktu penghitungan tinggal hanya sesal saja. Katanya, setahun untuk selamanya. Karenanya, malam itu kami jalani dengan sungguh. Sungguh tak perlu berdebat panjang. Sungguh setiap orang harus saling menguatkan. Sungguh setiap rencana haruslah dengan ukuran. Sungguh detik demi detik adalah hitungan mundur untuk sebuah letupan.

Begitulah malam pertama ini akan bergulir menjadi malam kedua, ketiga, dan banyak malam yang kami lewati bersama di kampung-kampung yang berbeda. Bukan sekedar menghilangkan dahaga untuk bersama. Namun, agar kami paham, apakah setiap rencana dapat disamaratakan? Agar kami paham, saudara-saudara kami hidup dengan atmosfer yang beragam. Terlebih, agar kami paham bagaimana memahami kami.

Berawal dari malam pertama di Neglasari, telah kami biakkan molekul-molekul harapan yang saling tarik menarik. Bukan fanatisme sempit kelompok, tetapi pemahaman komunal demi kepentingan bersama. Demi seorang pengajar muda, demi kelompoknya, demi seseorang yang akan menggantinya, demi institusi yang mengutusnya, demi tempat dimana dia diutus, demi Indonesia, demi Indonesia.


Cerita Lainnya

Lihat Semua