Jejak (1) : Tanah Merah Baduy

Irma Latifah Sihite 31 Maret 2013

Terjejak sudah langkah kami di tanah merah Baduy. Tersebar di sekitar lima bebukitan yang kokoh tak terjamah. Membentang sepanjang 30 km mulai dari kampung Cikeusik sampai dengan Ciboleger.  Memakan waktu 12 jam berjalan kaki, untuk orang seperti kami bukan orang baduy.

Beberapa kali kami berpapasan dengan sungai-sungai kecil. Sungai murni nan jernih. Dinginnya seperti menyemangati kaki kami untuk melangkah lagi, melewati babakan demi babakan Baduy dalam. Tapi lelah nyatanya tak terbendung jua.

Matahari telah mengucapkan salam perpisahan, kala kami masih melangkah tatih menjurus ke Baduy luar dan akhirnya memutuskan untuk bermalam di perkampungan itu. Sungguh malam itu malam yang berbeda. Makan bersama dan mengobrol seadanya dengan penduduk asli menjadi sesuatu yang sangat berharga.

Di rumah asing yang hangat itu, kami berenam seperti terberkati. Sungguh, tanah Baduy seolah merestui keberadaan kami di sini, di Lebak. Di sinilah kami menemukan masa untuk lebih mengerti, siapa aku, siapa kamu, siapa kita? Bagaimana aku, bagaimana kamu, bagaimana kita?

Banyak mimpi yang kami titipkan pada bintang-bintang yang menyinari tanah Baduy malam itu. Seribu langkah kami untuk menjaga kehormatan satu tahun ke depan tergantung di sana. Dengan restunya kami pun melamar Lebak.

Mimpi semu kami tentu tak serta membuat Lebak mengiyakan pinangan itu. Kami butuh untuk membuat mimpi menjadi nyata. Meski waktu kami sedikit, hanya setahun. Akhirnya, kami relakan titik keringat dan kerutan otak kami untuk meyakinkannya. Agar teriknya tak lagi  terlalu membakar. Agar guncangan jalannya tak lagi terlalu bergetar. Agar niat kami pun kukuh tak pudar.

Terikat sudah ikrar. Meski pundak terasa lebih berat dan isi kepala seperti membeludak. Ini harus, mesti! Kalau kami tak ingin menjadi batu dan lamaran ini pun tertolak selamanya. Untuk  Lebak, tak ada kesempatan kedua bagi kami. Sekarang atau tidak sama sekali.

Dengarlah risalah ini,

Lebak terkasih, rasanya tak ada hal yang pantas untuk menggambarkan ketulusan hati. Satu pintaku, usah kau risaukan bisikan-bisikan resah yang meragukan cinta. Usah kau susah karenanya.

Sungguh tiada yang mampu menggambarkan cinta dengan sempurna, kekasihku. Begitupun kami. Tak pandai kami berkata-kata mesra. Tak biasa kami membujuk memuja. Tentangmu, Tak ingin kami berbangga-bangga.

Ikrar telah kita ikatkan. Percayalah, tak ada yang mampu melepasnya kecuali janji yang tertuntaskan.

Kami mencintaimu dengan diam. Sebab, kata terbeli percuma, dengannya mudah sebarkan dusta. Kami mencintaimu dengan diam. Sebab, kata dapat dimaknai berbeda, ketulusan kami mungkin ternoda. Kami mencintaimu dengan diam. Sebab, cinta memang butuh  khusyuk yang dalam.

Di merah tanahmu, telah terpatri sebentuk hati kami. Ingkar setitik pun tentu dapat kau rasai. Bersamanya, berilah nilai untuk ketulusan ini.


Cerita Lainnya

Lihat Semua