Pingky Intan Pania (From Zero to My Hero #1)

Fandy Ahmad 2 April 2013

Pingky Intan Pania namanya. Panggilannya Pingky. Muridku kelas IV SDN 1 Sangiangjaya. Umurnya 10 tahun. Rambutnya diikat menjadi dua seperti Bio pemain belakang  Persipura Jayapura. Saya coba berinisiatif mengganti namanya menjadi Pingki Intan Fania. Bukan ‘Pania’ tapi ‘Fania’. Hanya setelah saya melihat nama yang tertulis di rapor-nya sejak kelas 1, pakai ‘Pania’ bukan ‘Fania’. Jadi saya ikut saja, menulis ‘Pania’ di absen. Nama saya pun oleh seluruh warga sekolah SDN 1 Sangiangjaya dan warga Kampung Lebuh disikat jadi ‘Pandy’ bukan ‘Fandy’, meski agak jengkel saya terima saja. Akibatnya anak yang namanya ada huruf F atau V, jadinya ikut-ikutan outomaticaly without thinking saya sikat jadi huruf P. Saya jadi sadar bahwa sebenarnya saya tidak bisa Bahasa Sunda, tapi saya faseh melapalkan Bahasa Sunda. Oh, maksud saya melafalkan Bahasa Sunda.

Buatku Pingky adalah anak yang luar biasa. Anak yang patang menyerah untuk bisa. Anak yang selalu mencari-cari perhatian dariku jika aku masuk kelas IV. Setelah selesai berdoa dan memberi salam, Pingky tiba-tiba maju di hadapanku lalu membacakan di buku tulisnya nama-nama anak yang; (a) tidak masuk, (b) tidak piket, (c) membuat masalah, (d) ribut kalau pelajaran Pak Haji Hafid wali kelas mereka, (e) tidak sekolah agama, (f) ada sampah di laci Si ini dan itu, (g) tidak mengaji, (h) tidak bawa alat sholat (dzuhur bareng di sekolah), (i) kukunya kotor, (j) pakai sandal ke sekolah, (k) tidak rapi (bajunya keluar), (l) ada LKS yang sobek dan buku yang tercecer, serta informasi apa saja yang menurutnya perlu di informasikan. Itu dilakukannya setiap kali saya masuk. Itu dilakukannya sejak 6 bulan yang lalu. Awal-awal saya masuk, Pingky tidak melakukannya.

Waktu itu Pingky anak yang pasif di kelas. Tiba-tiba menangis kalau saya suruh membacakan soal IPA atau Matematika di lembar soal yang saya bagikan ke anak-anak setelah silabus satu materi selesai. Suka menutupi mukanya dengan kedua tangannya, dengan buku tulisnya, dengan tasnya, dengan topinya, sembunyi di belakang temannya kalau saya tanya 3-2 berapa? Karena Pinky tidak bisa baca-tulis-tulis. Ya, anak kelas IV tapi belum bisa baca-tulis, apalagi berhitung.

Bersama 25 anak yang tidak bisa calistung (baca-tulis-hitung) lainnya. Pingky saya pisahkan dengan yang sudah bisa Calistung. Bukan ingin membeda-bedakan dengan yang sudah bisa Calistung. Mereka saya pisahkan agar tidak terkesan saya paksakan silabus yang tidak nyambung dengan kemampuan mereka. Calistung saja tidak bisa, apalagi memahami bilangan bulat, atau materi IPA, Panca Indera. Masak saya mau paksa mereka. Mereka saya pisah lalu saya berikan pelajaran Calistung dengan memecahnya lagi menjadi beberapa kelompok kecil. Masuk bulan ke 7 tidak saya pisahkan lagi yang bisa Calistung dan tidak bisa Calistung. Karena yang tidak bisa Calistung hanya 3 orang. Jadi saya berikan pelajaran tambahan di rumah.

Rumah Pinky di Kampung Roke, jaraknya 2-3 Km dari sekolah. Saya sempatkan waktu menyambangi anak-anak di Roke untuk mengajarkan mereka Calistung setiap Minggu sore sebagai pelajaran tambahan. Di sinilah Pinky lebih banyak belajar Calistung. Sampai akhirnya bisa. Mengajarkan Pingky dan teman-temannya calistung tidak mudah. Butuh kesabaran dan kreatifitas yang tinggi. Dan tentunya anak-anak harus menyukai kita dulu. Pinky membuat aku bertambah semangat memikul tas berputar Indonesia Menyala, membuat tas itu menjadi ringan. Mereka melahap buku-buku yang aku bawa. Muridku pelan-pelan sudah bisa baca tulis. Dan akhirnya bisa.

Pingky yang luar biasa. Setiap istirahat datang ke kantor menemuiku. Minta ijin mau baca buku di perpustakaan katanya. Saya lalu meminta Pak Umyana penjaga perpus untuk membuka perpus. Sedikit-sedikit buku di perpus dilahapnya. Sekarang Pingky tidak lagi menangis kalau disuruh baca soal atau maju mengerjakan soal di papan tulis. Dulu dia menangis, lalu dia agak berani, tapi masih perlahan membaca dan mengerjakan seperti kura-kura.

Sekarang, tanpa di suruh membaca dia menawarkan diri duluan untuk membaca atau mengerjakan soal perasi hitung campuran di depan. Membacanya tidak lagi pelan seperti kura-kura, tapi cepat seperti pesawat jet! Kita tahu kalau Lomba Calistung, rumus untuk menilai pemenang Calistung adalah jumlah kata yang dibaca dibagi jumlah menit/detik membaca kata itu lalu di kali seratus. Atau sederhananya berapa kata dalam satu menit? Pingki, satu detik (bukan menit) kira-kira bisa membaca 4-5 kata per detik. Hebat kan?

Pingky memulainya dari nol. Dari tidak bisa menjadi bisa. Dari anak yang pasif menjadi anak yang aktif. Awalnya setiap saya masuk di kelas, Pingky tidak terlalu menarik perhatianku. ‘Ada tapi seperti tidak ada’ istilahnya. Sekarang Pingky selalu berhasil mendapatkan perhatianku. Membacanya cepat, inisiatif maju ke depan. Berkemauan keras untuk bisa!


Cerita Lainnya

Lihat Semua