Aku Menitipkan Cita-citaku

Hilda Lu'lu'in Nanda Alfira Devi 13 Agustus 2012

Tepat pukul 23.00, Jari-jari dan mataku tak mau diajak kompromi sedikitpun. Mereka bersikeras untuk menyuruhku melawan rasa kantuk di tengah malam yang terasa dingin. Bukan!!Sangat Dingin!!!Dingin karena matahari tak menampakkan batang hidungnya hari ini akibat hujan yang kerja lembur dari pagi hingga malam hari. Gelapnya malam akibat ‘wafatnya’ listrik desa yang hanya berusia 3 jam sehari membuat mataku merajuk hingga untuk melihat sprei spring bedku yang berwarna putihpun tak mampu. Plus rasa lelah yang membabi buta akibat murid-muridku yang datang silih berganti ke lapakku untuk sekedar menanyakan makanan favoritku atau tentang rahasia rumus volum kerucut. Spring bed empuk yang dibelikan Umakku terlihat begitu hangat dan menggoda, namun ingin segera kutulis tentang seorang sahabatku di Teluk Aur bernama Totoy.

Totoy, entah mengapa semua orang memanggilnya seperti itu. Nama aslinya adalah Mawardi, usianya 17 tahun, seumuran dengan adik kandungku. Dia adalah salah satu juru bahasa terbaikku di Teluk Aur. Seperti pemuda lain di Teluk Aur, Totoy memiliki fisik yang tinggi dan kuat layaknya Kopral Jono. Salah satu faktor pendukung profesinya sebagai penangkap ikan dan penyadap getah karet. Totoy lebih nyaman jika bergaul dengan perempuan. Hampir setiap hari Totoy kandau (berkunjung) ke rumahku untuk mengajariku Bahasa Hulu dan membuat kerupuk anggur. Tidak ada yang spesial darinya sebelum malam ini ketika dia menceritakan banyak hal tentang hidupnya dan membuatku sangat tersentak.

Berawal dari lima hari yang lalu ketika aku mulai mengajak beberapa remaja di desaku yang putus sekolah untuk melanjutkan pendidikan di SMP 04 Satap Teluk Aur. Yah, salah satunya adalah sahabatku, Totoy. Kupaparkan harapan-harapan yang dapat dicapainya jika ia mau melanjutkan sekolahnya. Matanya tampak berkaca-kaca dan terdiam ketika aku meyakinkannya untuk mendaftar sebagai siswa SMP. “Pagi gemai ngimbai kakak daftar sokolah ya, Toy?” tanyaku pada Totoy. Dari sorot matanya aku yakin, ia akan berkata ‘iya’. “Ndak bisa, Kak.” jawab Totoy sambil tertunduk. Sekali lagi kuberikan beribu alasan agar dia mau berubah pikiran. Namun tetap saja jawabannya sama,”Tidak”.

Entah mengapa rasanya hatiku kurang sreg mendengar jawaban yang dilontarkan Totoy. Seiring dengan ketidaksreganku dengan jawaban Totoy, selalu saja pertanyaan yang sama kulontarkan bertubi-tubi padanya hingga akhirnya malam ini dia menyerah dan menceritakan alasan dibalik jawabannya. “ Aku kuat ingin sokolah, kak. Memang aku nesi pintar baka Tuti adikku, tapi aku sangat ingin sekolah.” Ucap Totoy dengan mata berkaca-kaca. Dia mulai bercerita tentang awal mula mengapa ia berhenti sekolah.

Totoy berhenti sekolah saat kelas 5 SD ketika ibunya melahirkan adiknya yang ke tujuh. Sebagai anak laki-laki paling tua Totoy harus berhenti sekolah untuk membantu ayahnya mencari getah karet untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bukan hanya Totoy, Tina,adik Totoy, yang saat itu juga duduk di kelas 5 harus mengubur cita-citanya untuk mencari uang demi kelangsungan hidup keluarganya. 

“Nesi apa aku sekarang nak sokolah, kak. Nesi apa aku kerja keras pagi buta mencari getah dan mencari ikan. Tapi Aku janji Tuti akan terus melanjutkan sekolahnya sampai tinggi. Dia anak pintar dan aku nak ingin dia punya nasib seperti aku. Aku menitipkan cita-citaku padanya. Kalau aku sokolah, katibaka sidak bayar sokolah?katibaka keluargaku bisa makan?” Ucap Totoy sambil menyerahkan kameraku yang dipinjamnya tadi pagi. Jawaban Totoy benar-benar membuatku miris karena aku tau ada semangat belajar yang tinggi pada dirinya untuk sekolah. Totoy memang anak yang hebat. Dari setiap aku mengajarkan sesuatu padanya, Totoy selalu memperhatikan dengan seksama. Selalu ada semangat yang tinggi padanya untuk belajar. Satu pesan yang kusampaikan padanya. “Dengan kemauanmu yang tinggi, pasti akan ada kesempatan untukmu belajar, Totoy! Jangan pernah menyerah pada nasib!”

Setelah lengkap bercerita sambil  melangkah keluar gertak depan rumahku Totoy berkata “ Kak, mintak rela kameranya. Foto dituk aku gogak buat nuan pas aku ngaret”. Totoypun berjalan ke hulu meninggalkanku. Dalam keadaan masih tertegun dengan ucapan Totoy, akupun menyalakan kameraku. Dan sekali lagi aku dibuatnya tertegun. Totoy memberiku foto-foto indah beberapa flora dan fauna di hutan desaku meskipun hanya satu kali aku mengajarinya memotret.


Cerita Lainnya

Lihat Semua