info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Tentang hari-hari pertama mengajar (part I)

Herry Dharmawan 23 Juli 2012

Kami, pengajar muda angkatan IV boleh dikatakan beruntung. Karena tugas kami dimulai setelah PM II membabat alas daerah penempatan dan meletakkan fondasi kepada pengajar muda berikutnya untuk bergerak.

Hal tersebut sudah saya rasakan semenjak minggu pertama di sekolah. Berbeda  dengan sambutan awal yang didapat mbak Ambar -PM II sebelum saya- karena masih minimnya informasi tentang gerakan indonesia mengajar, ketika saya datang para guru dan masyarakat sudah terlihat cair dan mudah menerima pendatang.

Pada tahun pelajaran ini pun saya ditugaskan untuk melanjutkan peran yang telah mbak Ambar jalani, yaitu sebagai wali kelas IV sekaligus sebagai  guru mata pelajaran matematika dan bahasa Inggris untuk kelas tinggi (kelas 4, 5 dan 6)

Saya bersyukur karena posisi tersebut memungkinkan saya untuk bisa membentuk karakter anak-anak kelas IV yang konon katanya cukup sulit diatur. Hal tersebut nampak beralasan mengingat masa itu adalah masa-masa  transisi mereka dari anak-anak (usia dibawah 10 tahun) menjadi remaja  (teenagers, belasan tahun)

Selain itu  mata pelajaran matematika dan bahasa Inggris juga sudah lumrah menjadi momok menakutkan bagi anak-anak, apalagi di daerah pedesaan. Hal ini justru semakin menambah semangat saya untuk menjalankan tugas dan mengaplikasikan materi-materi pedagogi yang pernah saya dapatkan di pelatihan. Yang jelas selama setahun kedepan saya akan berusaha sekuat mungkin untuk menggali sebanyak-banyaknya cara agar anak-anak mengalami pembelajaran yang  fun sekaligus juga berpusat pada murid (student centered learning)

Paradigma awal

Waktu satu tahun tentu bukan waktu yang sebentar, namun tidak bisa juga saya katakan sebagai waktu yang cukup untuk membentuk karakter dan mental anak murid di SDN 04 Kepala Gurung ini. Maka saya bertekad untuk memulai semua aktivitas saya sebagai guru dengan prinsip: "menjadikan guru dan murid sebagai sebuah tim yang berjuang bersama mencapai cita-cita".

Ya, saya berusaha mengawali paradigma saya tentang hubungan guru dan murid sebagai bagian yang sama-sama melengkapi dalam sebuah tim. Saya tidak akan memposisikan diri saya lebih tinggi dari mereka hanya karena saya lebih tua dan lebih tahu dari mereka. Sedangkan murid lebih rendah dan bisa saya salah-salahkan kemudian saya hukum sesuka hatinya.

Layaknya sebuah tim, setiap anggotanya harus saya perhatikan perkembangannya satu persatu. Kondisi tim yang harus selalu dijaga kebersamaan dan kekompakannya. Sebuah tim yang hubungan antara guru dan muridnya hangat sehingga mampu mempermudah penyerapan materi pelajaran.

Lebih dari itu saya juga berusaha mengajak anak-anak agar mau bermimpi dan memiliki cita-cita yang akan kami capai bersama maupun untuk mereka masing-masing capai. Ini pun tak kalah pentingnya. Karena saya tak mungkin bisa berada di samping mereka untuk seterusnya. Namun apabila saya mampu membuat mereka memiliki cita-cita dan kemauan keras dalam mencapainya, maka itu sudah lebih dari cukup bagi saya untuk menjadi "kenang-kenangan" bagi mereka selepas saya pergi.

Hal penting untuk diingat

Saat ini saya telah menginjak minggu pertama saya di sekolah. Saya pun teringat akan sebuah cerita tentang seorang penebang tua dan anak muda.

Suatu hari seorang penebang tua mengajak pemuda untuk menebang sebuah pohon besar di hutan. Sesampainya di hutan mereka baru sadar bahwa kapak yang mereka pakai sudah mulai tumpul. Lalu si Penebang tua mengajak anak muda untuk mengasahnya terlebih dahulu, namun si anak muda ini terburu-buru dan langsung saja menebang pohon tersebut tanpa mengindahkan ajakan si penebang tua. Walhasil selama seharian menebang, yang dia dapatkan hanya tubuh yang basah kuyup karena keringat dan tangannya yang melepuh sedangkan pohon besar itu masih tetap tegar berdiri. Setelah si pemuda kelelahan, datanglah si penebang tua dengan kapaknya yang telah ditajamkan. Tak butuh waktu lama bagi si penebang tua untuk menumbangkan pohon dan membawa pulang hasil yang cukup bagi mereka berdua.

Sama halnya dengan kisah tersebut, saya menyadari betul bahwa guru yang efektif akan menghabiskan 2 minggu pertamanya dengan meneguhkan prosedur. Sedangkan guru yang tidak efektif akan langsung memulai dengan pelajaran, kemudian kesulitan mendapat ritme kelas selama 50 minggu berikutnya. Kata-kata tersebut saya dapatkan dari sebuah artikel pedagogi.

Hal itu pun terjadi di sekolah baru saya ini. Cukup ironi memang ketika saya melihat seorang guru ujug-ujug membawa buku mata pelajarannya ke kelas dan kemudian tanpa tedeng aling-aling berkata "Yak anak-anak, salin buku halaman 4 sampai 10. Setelah itu kerjakan latihan soalnya yaa, nanti kumpulkan kepada ibu di kantor"  lalu ngeloyor pergi begitu saja untuk kembali meneruskan "seremoni" ngerumpi di ruang guru.

"Kalau begini terus, apa yang  akan didapat oleh murid di sekolah?" keluh saya dalam hati.

Saya pun teringat lagi sebuah kalimat yang dikatakan oleh pak Munif Chatib dalam sebuah sesi saat camp kami dulu. Beliau berkata bahwa seorang guru harus "merebut" hak mengajarnya dari murid-muridnya di kelas.

Merebut Hak Mengajar? Bukankah setiap guru memang sudah berhak mengajar semenjak detik pertama ia menginjakkan kakinya di kelas?

Ternyata yang dimaksud "hak mengajar" oleh pak Munif adalah sebuah kondisi dimana siswa akan memusatkan  seluruh perhatiannya kepada guru di kelas. Dan itu bukan perkara gampang. Karena saat dimana guru mengajar TIDAK SAMA DENGAN murid belajar.

Bisa jadi seorang guru ceramah berjam-jam di depan kelas sampai tenggorokannya kering dan mulutnya berbusa (mungkin sang guru sedang mendemonstrasikan keampuhan sabun cuci untuk dipakai kumur-kumur), tapi anak muridnya justru bocican (bobo ciang cantik) di kelas. Atau ada juga guru yang semangat berorasi berapi-api, tapi sayang hanya papan tulis yang dia ceramahi.

Itulah salah satu alasan kenapa untuk menjadi guru dibutuhkan skill tinggi. Karena mengajar itu butuh seni tersendiri. Karena setiap kondisi menuntut guru untuk senantiasa kreatif dalam menghadapinya. Maka berbanggalah wahai setiap guru di pelosok tanah air! Karena guru adalah profesi pengelola SDM tingkat tinggi :)

..to be continued ..


Cerita Lainnya

Lihat Semua