Kami, Staff Ahli UPTD Molu Maru

Dedi Kusuma Wijaya 23 Juli 2012

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah kementerian dengan ruang cakup tugas yang paling luas, karena mengurusi berjalannya roda pendidikan yang digerakkan oleh puluhan ribu SD, SMP, dan SMA di semua sudut Nusantara. Dengan rentang kendali yang luas itu, perlu sistem pengorganisasian yang baik agar semua sekolah, seterpencil apapun, bisa diopeni.

Tulisan ini ingin menjelaskan tentang sistem pengopenian ini yang dilakukan oleh sebuah unit kerja yang dikenal dengan nama Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Namanya bisa berbeda-beda, karena sejak era otonomi daerah tiap kabupaten/ kotamadya mempunyai nama dinas yang berbeda-beda. UPTD ini merupakan kepanjangan tangan dari Dinas Pendidikan kabupaten/kotamasya setempat di level kecamatan. Sebenarnya tidak hanya Dinas Pendidikan yang mempunyai UPTD, biasanya Dinas Kesehatan, Pertanian, dan lain-lain juga mempunyai UPTD tergantung kebutuhan. Namun sekali lagi karena yang urusannya paling banyak adalah pendidikan, istilah UPTD ini sering direkatkan dengan Dinas Pendidikan.

Yang dikerjakan UPTD biasanya adalah mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Dinas Pendidikan kabupaten/kotamadya ke sekolah-sekolah di kecamatan. Bentuknya mulai dari mengadakan Kelompok Kerja Guru, menggoordinir kegiatan-kegiatan rutin seperti ujian, penyusunan kurikulum, sampai kegiatan seperti perlombaan 17 Agustus dan kegiatan-kegiatan lainnya. UPTD juga bekerja sama dengan Camat sebagai kepanjangan tangan bupati/walikota untuk mengadakan pengawasan kepada guru PNS yang bertugas di kecamatan tersebut.  

Demikian sekilas tentang UPTD. Kembali ke kisah saya, saya dan Bagus, sesama rekan Pengajar Muda lain, bertugas di Kecamatan Molu Maru. Seperti sering saya ceritakan, Molu Maru adalah kecamatan yang baru lahir, kecamatan yang sebeljumnya tertinggal jauh dalam berbagai hal karena keterpencilan secara geografis. Saya datang ketika kecamatan Molu Maru memasuki bulan ketiga beroperasi. Sebagai kecamatan baru, belum ada UPTD atau kantor-kantor lainnya di kecamatan ini. Jadilah Camat Bebena merangkap menjadi ketua UPTD Pendidikan, Kesehatan, Pertanian, bahkan juga memegang peran sebagai pengganti Kepolisian Sektor untuk menjaga keamanan wilayah. Untunglah sosok luar biasa ini punya energi dan semangat yang lebih dari cukup untuk mengemban semua tugas itu.

Sebagai pemimpin yang masih muda, Pak Bebena punya visi yang penuh idealisme disertai keyakinan dan keteguhan untuk menjalankannya. Visinya yang paling kuat adalah di bidang pendidikan. Sejak awal bertugas ia, sebagai UPTD, langsung mengeluarkan kebijakan untuk tidak menaikkan kelas anak-anak yang belum mempunyai kemampuan baca tulis hitung yang memadai. Sebagai orang yang awam dengan pendidikan, beliau membaca berbagai peraturan perundang-undangan terkait pendidikan dan banyak bertanya kepada guru-guru untuk mendapatkan pengetahuan yang cukup tentang pendidikan. Semangatnya ini bertemu pasangannya ketika kami hadir di kecamatan. Indonesia Mengajar memang punya misi untuk membangun jaringan dan advokasi pendidikan, selain mengajar secara rutin di sekolah. Dan sejak bulan pertama bertugas, jadilah saya harus mondar-mandir Wadankou-Adodo Molu untuk membantu menjalankan fungsi UPTD di kecamatan. Biasanya di kecamatan lain UPTD punya kepala dan beberapa staff, di kecamatan kami hanya Pak Bebena sebagai kepala UPTD, saya dan Bagus sebagai staffnya, baik itu staff ahli (menyusun konsep dan sebagainya) sekaligus sebagai staff administrasi (mengetik surat dan kurikulum).

Debut pertamaku dan Bagus adalah sewaktu perayaan 17 Agustus di kecamatan. Padahal saya dan Bagus baru saja kembali dari Ambon setelah tur rumah sakit kami (karena Bagus dan Sandra sakit malaria), tiba=tiba sudah kebagian tugas. Kami menyusun soal Cerdas Cermat, membaca indah, menulis, baca puisi, dan sekaligus menjadi juri untuk lomba-lomba itu. Tidak lupa kami juga membantu beberapa hal teknis seperti memutar lagu-lagu perjuangan untuk upacara.

Padatnya acara 17 Agustus ini masih ditambah lagi dengan gagasan Pak Camat untuk langsung mengestafetkan kegiatan ini dengan acara Kelompok Kerja Guru (KKG) tingkat kecamatan yang melibatkan semua guru. Acara KKG ini memang telah direncanakan sejak minggu pertama kami hadir di kecamatan. Kami diminta memberikan pelatihan kepada guru-guru tentang isu-isu pendidikan modern dan teknis pembuatan KTSP. Jujur saja, waktu itu saya sangat keder. Bayangkan saja, kami sebelumnya tidak punya pengetahuan sama sekali tentang pendidikan, dan baru ‘disulap’ menjadi guru selama pelatihan 7 minggu pra-keberangkatan. Sekarang di bulan pertama kami datang, tiba-tiba saja kami diminta mendampingi guru-guru yang beberapa sudah bekerja hampir 20 tahun untuk membuat kurikulum, sebuah barang yang seharusnya merupakan makanan mereka sehari-hari. Namun saya, dan juga Bagus memutuskan untuk berusaha tidak pernah menolak kesempatan untuk melakukan sesuatu. Di sela-sela padatnya kegiatan 17 Agustus, kami membaca banyak sekali peraturan terkait Standar Pendidikan dan hal-hal terkait. Dalam sekejap kami, seorang guru yang juga baru saja memulai kariernya, harus juga menjadi penatar, posisi yang biasanya diemban oleh guru-guru senior dari Dinas Pendidikan. Sesungguhnya biasanya kegiatan ini mendatangkan narasumber dari Dinas Pendidikan, namun karena jauhnya jarak kecamatan kami dengan Saumlaki, ibukota kabupaten, tidak banyak orang yang mau repot-repot datang menyambangi desa-desa di kecamatan ini.

Pada saat KKG yang pertama kali kami lakukan, tujuh hari penuh saya dan Bagus bergantian mengisi acara. Berbekal pengalamanku sebelumnya bekerja di lembaga konsultan pelatihan, kami membuat paket pelatihan yang mengajarkan guru-guru teknis pembuatan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) plus beberapa pengetahuan tentang isu pendidikan modern. Kami cukup terkejut karena sebagai seorang guru, hampir tidak ada guru yang mengetahui secara jelas cara pembuatan KTSP, padahal ini seharusnya adalah senjata minimal yang harus dimiliki guru-guru. Bagian yang paling lama dari pelatihan ini adalah membuat kurikulumnya sendiri. Karena guru-guru belum melek laptop, mereka masih menulis dengan tangan di lembaran-lembarna kertas double folio. Di hari ketujuh akhirnya selesailah semua dokumen pembelajaran untuk semester 1, dalam bentuk tulisan tangan. Produk ini menghasilkan pekerjaan tambahan bagi kami, staff ahli yang merangkap pula sebagai staff administrasi. Saya dan Bagus berdua bergotong royong mengetik semua lembaran kurikukulum yang disusun oleh para guru ini. Dua minggu penuh kami di setiap sela waktu mengetik kurikulum ini, dengan output 800an halaman lebih kuriukulum SD dan 300an halaman lebih kurikulum SMP.

Enam bulan setelah KKG pertama, kami mengaadakan lagi acara serupa untuk menyususn kurikulum di semester dua. Waktu itu gur-guru sudah lebih paham sehingga tidak terlalu lama menyelesaikan kuriukulumnya. Tapi tetap saja, pekerjaan tambahan mengetik hasil karya guru-guru masih harus kami lakukan. Untunglah Pak Bebena adalah seorang yang sungguh get things done. Agar cepat selesai, beliau ikut membantu kami mengetik. Akhirnya selama tiga hari, dari pagi sampai subuh, saya, Bagus, Pak Camat, Bu Camat, dibantu dua pegawai kecamatan yang sudah cakap menggunakan laptop berjibaku menyelesaikan kurikulum itu. Sekali lagi, sekitar 750 halaman kurikulum terselesaikan. Saya kadang masih takjub juga membayangkan pekerjaan itu, sebuah pekerjaan yang di beberapa UPTD lainnya ditangani oleh sebundel staff administrasi.

Di luar pelatihan-pelatihan, peran kami sebagai UPTD juga terfungsikan ketika guru-guru berkumpul untuk membicarakan persiapan Ujian Nasional dan ujian semester lainnya. Kami merancang sistem try out di kecamatan, suatu sistem yang masih baru diperkenalkan dan kami adopsi dari ynag dilakukan oleh bimbingan-bimbingan belajar. Jadilah kami menyiapkan petunjuk pelaksanaan try out plus soal-soalnya. Sekali lagi, kegiatan kami dari hulu ke hilir, dari mengonsep sampai mengetik dan mencetaknya. Pekerjaan menyusun try out ini didampingi pula dengan penyusunan soal ujian akhir tingkat kecamatan. Pak Camat meminta kami menyeleksi soal-soal yang dibuat oleh guru.  Tentu saja ditambah tugas untuk mengetikkannya.

Seperti yang saya jelaskan di atas, salah satu peran dari UPTD juga adalah melakukan pengawasan terhadap guru-guru. Ini biasanya dilakukan oleh pengawas sekolah yang ditugaskan di kecamatan. Namun sekali lagi karena belum ada pengawas di kecamatan kami yang baru ini, dan karena aras-arasannya pengawas kabupaten datang ke tempat kami, jadilah kami juga diminta pendapat tentang kasus-kasus yang menerima guru dan sejenisnya. Kami juga membuat instrumen supervisi sekolah yang diadopsi dari standar pendidikan. Namun karena keterbatasan waktu, rencana melakukan pengawasan sekolah belum terwujud sampai tulisan ini dibuat.

Pekerjaan terbaru kami sebagai UPTD ini adalah menyiapkan acara perayaan Hari Pendidkan Nasional. Ceritanya mungkin akan saya tuliskan dalam tulisan yang terpisah, tapi secara singkat saya ceritakan, bahwa kegiatan ini benar-benar menggerus energi kami. Dalam waktu persiapan hanya satu hari, kami berdua, dan sungguh hanya berdua, menyiapkan kegiatan Lomba Mengeja, Membaca, Menulis, Bahasa Inggris, Puisi, Cerdas Cermat SD, Cerdas Cermat SMP, Try Out Akbar, dan Olimpiade Sains Nasional Tingkat Kecamatan. Menyusun soal, menjadi pembawa acara, sekaligus juri dan dokumentasi selama empat hari kegiatan ini membuat setiap malam saking ngantuknya, kami tinggal membaringkan diri di lantai ruang kelas SMP tanpa bantal dan tanpa alas dan langsung tertidur pulas.

Sewaktu kegiatan Ujian Nasional di Desa Tutunametal, di mana lima SD di kecamatan kami berkumpul dan menyelenggarakan ujian bersama, Bapak Pendeta Tutunametal menyebut kami sebagai ‘superhero pendidikan di Molu Maru’. Perkataan ini, walau sedikit hiperbolis, setidaknya membuat jerih payah kami sedikit terbayar. Sesungguhnya menjalani peran sebagai UPTD ini tidak sepenuhnya membuat kami girang. Banyak harga yang harus dibayar untuk menjalankan kegiatan mengadvokasi delapan sekolah di kecamatan kami ini. Kami menjadi tidak sepenuhnya milik Adodo Molu dan Wadankou, desa tempat kami bertugas. Kami sering meninggalkan murid-murid kami di desa, terutama saya, karena kecamatan berlokasi di desa Bagus di Adodo Molu. Sampai murid-muridku sudah hafal, kalau saya bilang akan pulang dari Larat hari Rabu, pasti mereka bilang: “ah, Pak Dedi pasti tinggal satu minggu lagi di Adodo baru datang ke kampung!”. Meninggalkan anak-anak yang begitu kita cintai, sungguh sebuah pengorbanan bagiku. Kalau boleh memilih tentunya saya lebih nyaman dengan cukup mengajar di sekolah dan bermain bersama anak-anakku. Tapi seperti kalimat abadi dari film Spiderman, “For great power comes great responsibility”. Tenaga kami dibutuhkan, dan selama kami bisa, semua energi harus diusahakan untuk melayani sebanyak-banyaknya orang. Kami mendampingi guru-guru di SD-SD lain dalam hal tutorial penggunan laptop, menyempatkan diri berkenalan dan mengajar siswa-siswi sekolah-sekolah lain, dari SD sampai SMA, dan membantu mengurusi urusan konsultasi sampai remeh temeh seperti membuat surat undangan.

Mungkin di tahun mendatang akan dibentuk UPTD untuk kecamatan kami, yang tentunya akan membuat kerja-kerja rangkap seperti yang kami dan Pak Camat lakukan akan berkurang. Mungkin kelak akan ada yang mengkritik terpecahnya konsentrasi kami sebagai guru kelas dengan tugas sebagai UPTD ini, tapi kami bersyukur, bisa turun di ladang yang kosong dan tidak ada penggarapnya. Seperti sebuah frase terkenal di Injil, ‘Tuaian memang banyak, tapi pekerja sedikit’. J

Saumlaki, 21 Mei 2012 


Cerita Lainnya

Lihat Semua