Taborisasi

Dedi Kusuma Wijaya 29 Juli 2012

Dalam teologi Katolik, taborisasi adalah suatu peristiwa  yang di dalamnya mengandung sebuah sisi dair peristiwa lain. Sisi bahagia dari kesedihan, sisi gembira dari kesusahan, sisi terang dalam kegelapan hidup. Ini kira-kira mirip dengan filosofi keseimbangan milik yin-yang. Selalu ada putih dalam hitam dan sebaliknya. Taborisasi ini, katanya, dibutuhkan oleh diri kita, agar tidak ada ‘hidangan hidup’ yang terlalu manis karena ada rasa pahitnya sedikit, juga tidak ada yang terlalu asam karena ada manisnya sedikit. Bagi saya, taborisasi ini terjadi belakangan ini, karena banyak peristiwa yang pahit dan juga manis dalam keseharianku.

Beberapa hari ini, saya merasa jenuh. Bercampur rindu. Rindu dengan ‘peradaban’, dengan sinyal, dengan kemajuan-kemajuan. Kerinduan itu berkawinan dengan kebeteanku karena anak-anak yang luar biasa bandelnya di sekolah, dan beberapa hal lainnya. Saya tidak bisa melarutkan diriku dalam kepahitan ini, karena  selain tidak baik bagi kesehatanku, semangat, dan ketidaksemangatan juga menular. Akhirnya sore ini, setelah seharian bete, saya memutuskan untuk berjalan-jalan ke tepi pantai. Melihat anak-anak yang tidak berhentinya bermain sampai tidak datang les. Saya duduk memandangi anak-anak yang di kejauhan tampak sedang menceburkan dirinya dalam air laut. Beberapa anak laki-laki sedang bermain sepakbola, dan anak-anak balita berkejaran. Sambil melamun, saya mencoba menjadikan birunya laut sebagai katalisator hatiku. Tiba-tiba teriakan Aletha mengembalikanku ke kesadaran. “Pak Dedi, sini liat gambarnya Tuni!” Tuni, muridku yang memang pintar menggambar, rupanya sedang menggambar di atas pasir. Ia menggambar seorang perempuan dengan cukup detail dan proporsi yang bagus, menunjukkan ia memang punya bakat dalam daya spasial. Saya tersenyum sambil memfoto gambarnya, sambil melihat Hesti, saudaraku di rumah, dan Nindy berlarian saling berkejaran dengan gembiranya. Beberapa anak di laut sedang meloncat-loncat dari atas kapal motor ke laut dengan gembiranya, beberapa anak perempuan sedang berenang dengan memeluk jerigen. Tidak lama anak-anak di laut itu bermain lempar-lemparan pasir, satu kelompok melempar sedang kelompok lain menghindar dengan menggunakan perisai yang diambil dari potongan papan. Sayang sekali bajuku di rumah tidak banyak dan saya sedang membawa kamera beserta telepon genggam, kalau tidak saya sudah mau menceburkan diri di laut. Sore itu, saya pulang ke rumah dengan perasaan yang lebih mendingan. Semangatku kembali lagi, walau kerinduan akan dunia luar tetap menemani pikiranku dan kejengkelan untuk beberapa hal tetap mengiringi. Saya tidak merasa jenuh, juga tidak merasa bebas lepas, saya merasa.... lengkap.

Hal ini juga terjadi minggu lalu ketika saya diminta tolong mengisi persiapan UASBN SMP selama seminggu di Desa Adodo Molu. Meninggalkan sekolahku beberapa lama, saya merasa bersalah. Apalagi ditambah dengan kekurangseriusan kepala sekolah SMP dalam mengorganisir acara pemantapan ini. Mereka tidak memberikan bimbingan intensif, les yang katanya ada setiap sore hanya dilakukan sekali saja. Puncaknya darah saya mendidih ketika di hari Jumat anak-anak tidak kunjung belajar sampai jam sepuluh pagi. Saat saya tanya, malah jawabannya ia hari ini tidak belajar. Betapa saya sangat kesal hari itu. Untungnya, saya tidak memilih untuk mengecap semua rasa pahit itu mentah-mentah. Setiap momen yang kualami coba kumaknai, dan ternyata itu cukup bermanfaat. Walau pengaturannya amburadul, saya menemukan kenikmatan saat mengajar. Selain memang saya senang mengajar, respons mereka yang sangat positif membuatku termotivasi. Bahkan beberapa kali saat jam pelajaran saya selesai, mereka berkata: “Isi Bahasa Indonesia sudah terus-terus pak...” (saya mengajar Bahasa Indonesia). Dan sekali lagi, taborisasi terjadi. Saya tidak terlalu senang, dan juga tidak terlalu jengkel, saya merasa....seimbang.

Dan kalau ditilik lebih jauh, taborisasi ini memang terjadi di setiap waktu. Ketika saya sebal dengan anak-anak yang malas masuk sekolah dan terlalu rajin pergi ke kebun saat saya tidak ada, mereka hadir lengkap pada saat les malam (suatu sejarah yang tidak pernah terjadi sebelumnya). Saat saya senang-senangnya membawa anak-anakku berlomba di Larat, saya mendapat kabar duka bahwa adik piaraku meninggal. Saat dulu waktu perayaan 10 November saya kecewa karena Pak Camat tidak datang, respons masyarakat yang luar biasa membuat diriku bergetar terharu. Saat ini, saaat itu, tampaknya di semua saat taborisasi terjadi. Di setiap momen kebahagiaan, pasti ada peristiwa yang menetralisir rasanya. Dan begitu juga di setiap momen kesedihan, ada hal kecil yang menjadi gula-gula hari.

Dalam Injil, diceritakan bahwa saat sengsara Yesus sudah akan dimulai, Yesus naik ke sebuah gunung dan menunjukkan kemulian-Nya di sana. Taborisasi terjadi, kemuliaan di bayang-bayang sengsara. Ini menyebabkan kemuliaan Tuhan begitu besar, sekaligus begitu sederhana. Dan taborisasi dalam kehidupan kita, mestinya juga seperti itu. Saat kemegahan datang, bayang-bayang kerikil hidup harus membayangi. Bukan untuk merusak pesta, tapi untuk membuat kesuksesan itu menjadi membumi. Dan dari pengalamanku, taborisasi itu dapat dimunculkan cukup dengan ‘menekan’ saklarnya, yang ada dalam diri kita sendiri. Kita perlu merentangkan kepekaan kita agar dalam setiap tawa, bisa membuka telinga untuk mendengar tangis, dan dalam setiap duka mesti mengkhidmatkan hati kita untuk merasakan harapan. Dengan itu, hidup pasti jadi indah dan manusiawi!

Wadankou, 8 Maret 2012


Cerita Lainnya

Lihat Semua