info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Serba Serbi Kekerabatan Orang Tanimbar

Dedi Kusuma Wijaya 1 Agustus 2012

Saya bukan antropolog atau sosiolog, juga bukan orang yang sangat detail dan tepat dalam mendeskripsikan suatu hal yang ‘teoretis’. Saya hanya tiba-tiba tertarik untuk menceritakan tentang beberapa hal yang unik tentang kekerabatan orang Tanimbar, tempat ku menyatu ke dalam masyarakatnya selama hampir 10 bulan terakhir ini. Banyak yang unik, mungkin bagi sebagian orang bukan pengetahuan baru atau bukan hal menarik, tapi tetap bagi saya yang minim pengetahuan dengan orang yang berbeda latar belakang dengan saya ini hal itu sangat menarik perhatian. Dan beberapa serpihan pengetahuan yang smeoga berguna bagi anda itu adalah sebagai berikut.

Yang pertama adalah tentang marga. Seperti beberapa daerah yang marganya masih kuat (yang paling terkenal adalah orang Batak), orang Tanimbar juga sangat memperhatikan marga. Bedanya dengan Batak yang satu rumpun marganya sangat besar, di Tanimbar satu marga paling banyak tersebar di beberapa desa saja. Kebanyakan dari marganya bisa diidentifikasi daerah asal orang ini. Kumpulan beberapa marga disebut soa, walau karena spektrum kemargaan yang begitu luas, terutama di daerah Tanimbar Utara, soa ini tidak terlalu kuat. Lebih banyak marga berdiri sendiri. Beberapa marga yang berasal dari desaku misalnya Sabono (tidak tahu Adrie Subono masih ada famili dengan ini atau tidak), Rusunwuli, Sainlia, Walun, Waratmas, Akeli, Takil, Silimela, dan beberapa lagi. Di desa, marga yang menjadi tuan tanah (tugas utamanya memimpin upacara adat penting di desa) adalah Sabono, sedangkan yang turun temurun menjadi raja (dalam hal ini kepala desa) adalah Sainlia. Ceritanya, sebenarnya marga Sabono-lah yang harusnya menjadi raja, namun pada jaman penjajahan yang bisa berbahasa Indonesia adalah tokoh dari marga Sainlia, sehingga sejak itu marga Sainlia-lah yang beralihfungsi menjadi kepala desa. Masih berkaitan dengan posisi marga di desa, ada beberapa marga yang ditetapkan sebagai dewan adat desa. Isinya adalah tetua dari tiap marga yang berkumpul dan disebut tua adat. Tua adat berkumpul setiap ada upacara adat, yang prosesinya adalah melakukan foruk (Berbicara kepada leluhur dengan bahasa tanah alias bahasa daerah) sambil minum sopi dan makan sirih pinang.

Masih tentang marga, penyebutannya ini mengingatkan saya dengan kebiasaan orang barat yang saya lihat dari film-film. Seperti di Harry Potter ketika ayah Ron selalu dipanggil Harry dengan ‘Mr. Weasley’ dan hanya oleh orang-orang dekatnya dia dipanggil dengan ‘Arthur’, begitu juga dengan orang di sini. Bapak Kepala Sekolah saya, Marius Samuel Lassa, selalu dipanggil dengan pak Lassa saja. Begitu juga dengan bapak dan ibu yang lain, cukup dipanggil dengan nama marganya saja. Ini berpengaruh juga pada penulisan nama di berbagai tempat, seperti sertifikat, papan struktur desa, papan nama, dan sebagainya. Sebagai contoh, di struktur desa kepala desanya A. Sainlia (Athus Sainlia), sedangkan di RT 003 juga ada A. Sainlia (yang dimaksud Aswerus Sainlia). Karena di desa ini banyak sekali orang dengan marga sama, kadang bingung juga kalau melihat daftar yang isinya hanya satu huruf diikuti titik dan nama marga. Masih bagus di desaku, yang jumlah marganya ada lebih dari 10. Di Wulmasa, yang marganya tidak lebih dari lima, orang-orang tetap saja melakukan penyingkatan itu. Jadinya saat saya membuat sertifikat keikutsertaan guru-guru, di sana saya harus putar kepala mencari yang mana yang namanya U. Wuarlela, M. Wuarlela, A. Wuarlela, S. Wuarlela, juga T. Kabungsina, G. Kabungsina, O. Kabungsina, P. Kabungsina. Belum lagi orang-orang ini cukup dipanggil dengan ‘Ibu Wuar’ atau ‘Bapak Kabung’. Walau membingungkan, kadang ini memudahkan juga bagi kita yang kesulitan mengingat nama. Cukup ingat saja apa nama marga dari bapak atau ibu tersebut, dan panggil saja dia dengan nama marganya, selesai perkara. Oh yah, penyebutan nama marga ini bukan mempersingkat penyebutan, malah membuatnya panjang. Sebagai contoh, di desa ini ada dua guru dengan marga Sabono, yaitu Fecky Sabono di SD-ku dan Yance Sabono di SMA Molu Maru. Untuk menyebut Pak Fecky, yang disebut adalah Pak Guru Sabono SD. Sedangkan pak Yance itu Pak Guru Sabono di SMA. Ada juga Pak Yanto Silimela, guru honor di SDku yang ayahnya, Pak Yulius Silimela, menjadi guru di SMP desa Nurkat. Pak Yanto sering disebut sebagai ‘Pak Guru Silimela anaknya pak Silimela Nurkat’, dan Pak Yulius sering disebut sebagai ‘Pak Sili Nurkat, atau Pak Sili yang Yanto punya bapak ini’. Belum lagi membedakan dengan Pak Silimela yang ketua komite, dna Pak Silimela yang menjadi pengurus desa. Penyebutannya jadi panjang lagi.

Karena terbiasa dengan penyebutan marga, orang-orang selalu bertanya apa margaku. Untunglah namaku masih ada marganya, yaitu Wijaya. Bagus, temanku sesama Pengajar Muda di Adodo Molu, seperti orang Jawa kebanyakan, tidak mempunyai marga. Namanya Bartolomeus Bagus Praba Kuncara, dan tidak ada satupun yang merupakan marga. Orang desa menjadi kebingungan dengan marga dari Pak Bagus ini. Jadinya kalau saya cukup disebut sebagai D. Wijaya, Bagus sering disingkat saja B. Bagus. Marganya? Yah Bagus itu,hehe.

Selain penyebutan marga, mirip dengan orang barat (lagi-lagi) yang sering memanggil orang dengan atributnya, begitu juga dengan orang sini. Atribut itu misalnya memanggil ‘Mr. Officer’ untuk polisi alih-alih nama bapaknya, ‘Governor’ untuk Gubernur alih-alih bapak atau ibu ini, dan seterusnya. Di sini juga begitu. Bapak Kepala Desa cukup dipanggil dengan Bapak Kades, Bapak Camat cukup dengan jabatannya saja. Ini masih lumayan. Yang lebih pelik adalah kalau jabatannya sudah lebih spesifik, tetap saja dipanggil dengan jabatannya. Dalam forum antar desa, kita akan capek untuk memanggil orang karena ada ‘Bapak Kades Tutunametal’, ‘Bapak Kaur (Kepala Urusan) Umum Nurkat’, ‘Bapak Sekdes Wadankou’, dan seterusnya. Di desa, sebuatan ‘Bapak Sek’ itu berarti kalau bukan Sekretaris Desa, berarti Sekretaris Gereja. Penyebutan dengan atribut ini, selain memusingkan, sekaligus memudahkan bagi anda yang malas menghafal nama.

Itu tentang penyebutan marga dan gelar. Dalam penyebutan anggota keluarga, kita harus memahami bahwa orang Tanimbar mempunyai rentang kekerabatan yang luas. Semua orang yang marganya sama masih dianggap bersaudara, lalu yang marganya sama dan berasal dari desa yang sama berarti masih keluarga, dan yang hubungannya sudah lebih dekat lagi (bersepupu, baik sepupu satu maupundua kali) itu sudah dianggap keluarga gandong (kandung). Makanya saya kadang heran ketika ada orang yang berkata, “saya masih gandong sekali sama dia, dia itu anaknya saudaranya mama saya punya saudara perempuan punya suami”. Pikiran saya, kalau kandung, yahh dia adik kandung saya, atau paling tidak saudara sepupu lah. Akhirnya saya sudah paham sekarang kalau pertanyaan ‘berapa bersaudara’ seringkali membingungkan, karena kadang mereka menghitung juga sepupu-sepupu sebagai saudara mereka. Kalau yang benar-benar saudara kandung biasa disebut sebagai ‘saudara satu ayah satu ibu sekali’.

Terkait dengan luasnya rentang kekerabatan itulah ada satu hal menarik dalam penyebutan ‘ipar’. Saya awalnya bingung, kenapa banyak sekali orang yang memanggil orang lain dengan sebutan ipar. Pikirku mungkin orang ini punya adik atau kakak dalam jumlah yang banyak sehingga kakak atau adik iparnya bertebaran di mana-mana. Tapi lama kelamaan saya merasa ‘ada yang tidak beres’, masakan sih orang yang jelas-jelas saya tahu tidak mempunyai hubungan ipar mengipar tetap saja saling menyapa dengan ipar. Sebutan ipar begitu jamaknya di keseharian, sama seperti sebutan ‘mbak’ atau ‘mas’ lah di jawa. Ternyata usut punya usut, semua orang yang menikah dengan saudara kita, entah itu saudara dekat, jauh, ataupun yang dianggap saudara, dipanggil ipar. Bahkan ketika tidak ada perkawinan dengan saudara jauh pun, penyebutan ‘ipar’ terhadap orang lain juga kerap dilakukan untuk menciptakan rasa kekeluargaan dengan orang itu.

Setelah ipar-iparan, hal menarik lainnya adalah tentang penyebutan untuk saudara kandung ibu atau ayah. Pakde atau bude ini dipanggil juga dengan sebutan mama dan bapak. Cuma bedanya, untuk saudara perempuan ibu/ayah yang paling tua, dipanggil dengan mama tua. Untuk bibi yang paling bungsu, dipanggil mama bongso (bungsu), seringnya disebut dengan ‘bong’ saja. Untuk bibi yang posisinya di tengah, dipanggil dengan mama tengah atau cukup disebut ‘tengah’ saja. Pertanyaannya, kalau saudaranya tiga sih mudah, tapi kalau lebih dari tiga? Ternyata jawabannya yah cukup mudah, untuk bibi selain sulung dan bungsu, semuanya disebut mama/bapak ‘tengah’. Akhirnya jangan heran kalau orang memanggil bibi/pamannya dengan sebutan ‘tua’, ‘bongso’, atau ‘tengah’.

Satu hal yang juga kadang membingungkan lagi adalah tentang ‘pangkat saudara’. Kalau saudara saja berarti masih ada hubungan keluarga, walaupun itu jauh sekali. Tapi kalau ‘pangkat saudara’, itu berarti orang yang punya hubungan persahabatan erat sampai dianggap sebagai saudara sendiri. Makanya sering juga ada yang bercerita, ‘kenal tidak dengan orang A atau B di Saumlaki, dia itu saya punya pangkat saudara’. Ada juga pangkat om atau tante. Ini biasanya kita sebut kepada sosok yang sudah kita anggap sebagai mentor kita sehingga diangkat sebagai ayah sendiri. Jadi akhirnya, kita harus bisa membedakan antara mana saudara kandung seayah seibu, saudara kandung satu ayah, saudara gandong, saudara saja, atau pangkat saudara.

Dalam konteks budaya Tanimbar secara umum, sistem kekerabatan utama dicakup dalam dua sistem yang dikenal dengan nama Pela Gandong dan Duan Lolat. Untuk Pela Gandong, saya berkali-kali mendengarnya di masa resolusi konflik Ambon di awal tahun 2000an dulu. Sampai sebelum saya tinggal di Tanimbar seperti sekarang, saya sebatas mengetahui bahwa Pela Gandong bermakna persaudaraan. Barulah setelah hidup di masyarakat saya mengetahui apa Pela dan Gandong ini sebenarnya. Gandong bermakna ikatan persaudaraan antara satu orang dengan yang lain. Seperti yang sudah saya bahas di atas, ‘gandong’ bermakna saudara dekat. Apapun pertalian yang mengikatkan kekerabatan satu orang dengan yang lainnya, mereka sudah disebut sebagai gandong. Dan saat sudah saling menjadi gandong, kedua orang diharapkan dapat saling membantu, dan kalau bertengkar harus segera didamaikan dengan adat.

Kalau Gandong merupakan ikatan persaudaraan antar individu, pela adalah ikatan persaudaraan dengan cakupan yang lebih luas. Pela adalah ikatan antara kampung dengan kampung. Sebagai contoh, Desa Wunlah di masa lalu melakukan proses adat yang mengikatkan mereka sebagai Pela dengan Desa Tutunametal. Setelah proses adat ini, kedua desa resmi menjadi pela. Dua desa yang menjalin ikatan pela diharamkan untuk saling bertengkar, sebagaimana saudara pada umumnya. Bukan hanya itu, ikatan ini menjadi lebih kuat lagi karena ada beberapa aturan adat yang mengikutinya. Salah satu aturan yang menarik adalah semua warga desa A dapat mencari hasil di desa B yang menjadi pelanya, dan sebaliknya. Warga Desa A juga diharamkan membeli barang dari warga desa B yang menjadi pelanya. Sebagai contoh, karena Desa Tutunametal adalah pela dari Desa Wunlah, maka warga Wunlah yang datang ke Tutunametal kalau membeli barang di kios di desa ini tidak boleh membayar. Mereka cukup mengambil saja barang yang ada di kios itu tanpa harus membayar, cukup menukarkannya dengan sopi (minuman keras khas Maluku). Kenapa sopi? Karena sopi berfungsi sebagai ‘stempel’ adat. Semua prosesi adat harus dimateraikan dengan sopi agar dianggap sah. Memang bagi sebagian kita ini kelihatan konyol, tapi ikatan kekerabatan antar desa yang begitu keras ini membuat penyelesaian konflik lebih mudah diselesaikan.

Kalau Pela Gandong dimiliki oleh hampir semua suku di Maluku, sistem kekerabatan Duan Lolat menjadi ciri khas dari masyarakat Tanimbar. Coba saja lihat logo Kabupaten Maluku Tenggara Barat, di situ tercantum tulisan Duan Lolat ini.  Sampai saat ini, saya belum bisa sungguh memahami aturan Duan Lolat ini, karena aturan kekerabatannya yang menurutku agak njelimet. Pada intinya, dalam sistem Duan Lolat ada dua kedudukan, yaitu Duan dan juga Lolat. Kedudukan Duan Lolat ini baru berlaku setelah kita menikah.  Secara sederhana, Duan adalah paman dari istri, dan Lolat sebaliknya adalah suami dari keponakan kita. Sebagai contoh, Otis menikah dengan Tenci. Kakak laki-laki dari ibu Tenci adalah Duan besar bagi Otis, dan sebaliknya, Otis adalah Lolat bagi paman Tenci ini. Dalam peristiwa-peristiwa besar, secara adat Otis diwajibkan ‘melayani’ Duannya. Sebagai contoh, jika paman Tenci sedang membangun rumah, maka Otis sebagai Lolatnya harus membantu Duan, entah dengan memberi bahan atau membantu tenaga. Seorang Duan bahkan bisa meminta barang dari Lolat hanya dengan memberikan sopi (yang merupakan materai adat tadi). Jadi kembali ke contoh membangun rumah. Seandainya Otis mempunyai sebuah meja di rumahnya, jika paman Tenci, yang adalah Duan dari Otis, datang ke rumah dan memberikan sebotol sopi lalu meminta meja itu, maka walupun meja itu adalah satu-satunya meja di rumah, Otis tetap harus memberikannya kepada Duannya. Kelihatannya Duan ‘semena-mena’, tapi di sisi lain Duan bertanggung jawab terhadap perkembangan Lolatnya. Ketika Lolat membutuhkan dana untuk sekolah, misalnya, Duan mempunyai tanggung jawab untuk membantu Lolatnya. Masih banyak lagi aturan tentang apa yang harus dilakukan Duan kepada Lolat dna sebaliknya, yang semuanya tercantum dalam aturan adat.  Agak kompleks, yah? Hehe.

Beberapa orang Tanimbar mengeluhkan sistem peradatan yang kadang membuat seseorang harus melepas barangnya dengan harga yang sangat murah, misalnya, karena aturan adat ini. Saya juga awalnya kurang memahami, dan belum bisa menerima secara akal sehat peraturan Pela Gandong dan Duan Lolat ini. Sebagai orang kota saya sering mempertanyakan aturan yang membuat hal sederhana menjadi kelihatan rumit, dan membuat orang tidak sepenuhnya bebas menentukan sikap dan tingkah lakunya. Tapi setelah hidup di masyarakat, saya sungguh menyadari bahwa ikatan-ikatan adat ini membuat tanpa disdari budaya saling membantu terpelihara, perilaku hormat kepada yang tua dan respek kepada yang muda terpupuk. Sistem kekerabatan juga membuat kehidupan terasa lebih bersahaja, dibandingkan dengan individualistis khas orang kota, yang semua aspek dalam kehidupannya seperti diatur dengan kalkulator dan rasio untung rugi. Dan dari hal-hal inilah, saya begitu takjub pada kekayaan budaya Indonesia, yang seakan tak habis dikaji. Semoga kekerabatan antar bangsa kita yang begitu beragam ini bisa selalu terajut J

KM Egron, 3 April 2012 


Cerita Lainnya

Lihat Semua