info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Saya Mau Seperti Lintang

Dedi Kusuma Wijaya 24 Juni 2012

Pernahkah kau membaca sebuah cerita yang bagus? Pasti semua mengatakan pernah.

Pernahkah kau begitu mencintai cerita itu, sampai kau merasa terlarut dalam dunia cerita itu? Yang mengatakan pernah mungkin akan sisa tiga perempat.

Pernahkah kau memimpikan ingin masuk dan mencicipi kehidupan dalam cerita itu? Setengah dari populasi mungkin akan menjawab pernah.

Terakhir, pernahkah kau benar-benar membaca, terlarut, dan mendapat kesempatan masuk ke dalam cerita itu, dan bahkan menjadi aktor dari cerita tersebut? Entah berapa tangan yang mengacung, tapi yang pasti tanganku akan ikut terangkat.

Yah, saya ingin bercerita tentang bagaimana Tuhan menuliskan kisahku sedemikian rupa, sampai untuk paling tidak satu malam dalam hidupku, saya merasa seperti hidup dalam kisah yang begitu kuakrabi.

Seperti banyak orang lainnya, dan walau memang klise, saya sangat menggemari Laskar Pelangi. Saya sungguh tergerak sejak novelnya pertama kali keluar. Saat itu saat berbicara tentang pendidikan, yang dibahas pasti adalah tidak beresnya sistem pendidikan kita, dan bla bla lainnya yang kesemuanya berisi pesimisme. Laskar Pelangi, walau bahasanya luar biasa hiperbolik ditambah dengan personifikasi yang melimpah, tetap begitu terang dalam pesannya. Saya begitu terhanyut dengan ide seorang guru yang menginspirasi murid-muridnya, kisah Lintang yang jenius , cerita aktivitas anak-anak kampung yang tidak bisa saya bayangkan sebelumnya.

Saya masih ingat jelas, hatiku begitu berdebar ketika membaca bagian di mana Lintang, Ikal, dan Mahar mengikuti lomba cerdas cermat. Saya bahkan menjadi tidak terganggu dengan berputar-putarnya Andrea Hirata menggambarkan fragmen itu. Saya seakan ikut hadir dalam ruangan itu, turut bersorak ketika tim dari SD Muhammadiyah memenangkan cerdas cermat itu. Bagi saya, kisah cerdas cermat itu begitu heroik, justru karena kesederhanannya, sehingga membuat adegan itu menjadi abadi dalam diriku. Potongan kisah lain dalam Laskar Pelangi yang tentunya paling diingat orang adalah saat orang tua Lintang meninggal dan anak jenius itu pun harus mengakhiri perjalanannya di sekolah. Jujur saja, saya menangis saat membaca. Juga saat menonton filmnya. Dan masih merasakan pedihnya ketidakadilan itu pada saat menyaksikan musikalnya.

Laskar Pelangi memang sungguh merasuk ke dalam diriku. Saya kemudian menulis skripsi dengan judul ‘Dinamika Pencapaian Mimpi Pada Tetralogi Laskar Pelangi’, karena saya begitu tergugah dengan kisah itu. Saya membaca hampir semua wawancara tentang buku dan juga film ini, menonton filmnya lima kali, mendengar lagunya ratusan kali, dan mendalami segala hal tentang Laskar Pelangi. Skripsi ini kemudian mendapat nilai A dan membuat saya semakin banyak ditanya dan di kalangan kampusku menjadi ambassador tidak resmi dari kisah ini.

Melompat ke masa-masaku menjadi guru saat ini, saya masih ingat satu sore di kelas 4 SD Kristen Wadankou. Saya sedang duduk menyaksikan murid-muridku mengerjakan tugas, dan sambil melihgat ke luar jendela saya teringat di mana saya berada sekarang, dan di mana saya berada dulu. Saya mengajar di tempat yang jauh lebih terpencil daripada Gantong di kisah Ikal, dan walau sekolahnya jauh lebih bagus, tapi ketertinggalan (dan juga semangat) anak-anaknya kurang lebih mirip. Saya jadi terkaget-kaget sendiri, betapa Tuhan mengikatku begitu erat dengan Laskar Pelangi sampai memberiku kesempatan ‘menghidupi’ cerita itu. Perjuanganku memang masih jauh dari yang Bu Muslimah dalam Laskar Pelangi lakukan, tapi ada satu adegan dalam pengalaman mengajarku, yang sangat mirip dengan yang ada dalam Laskar Pelangi. Dan itulah yang ingin kuceritakan.

Satu setengah bulan menjelang Hari Pendidikan Nasional, semua sekolah di Kecamatan Molu Maru sibuk bersiap menyambut perlombaan yang mempertandingkan 14 cabang, sehingga membuat perayaan Hardiknas di kecamatan kami ini menjadi yang paling besar se-kabupaten. Di kecamatan ini ada 5 SD dari 5 desa yang akan bersaing menjadi yang terbaik di rangkaian perlombaan Haridknas ini. Dari 5 desa ini, ada dua desa yang selalu dipandang sebelah mata kualitas pendidikannya, yaitu Desa Nurkat dan Wadankou, desa tempatku mengajar. Sebabnya adalah karena secara turun temurun dua desa inilah yang masyarakatnya terkenal kepala batu dan sangat tidak peduli pendidikan. Biasanya yang mendominasi adalah SD Kristen Wulmasa, yang memang menjadi desa yang lulusan sarjananya paling banyak di kecamatan ini. Setelah itu adalah SD Kristen Adodo Molu, yang masyarakatnya juga cukup peduli pendidikan. Satu SD lagi adalah SD Kristen Tutunametal, SD dari desa yang paling kaya karena hasil rumput laut yang melimpah.

Di sekolahku, guru yang paling bersemangat untuk menyiapkan anak-anak mengikuti perlombaan ini adalah Pak Fecky Sabono. Kebetulan beliau masih tergolong muda dan memang punya niat belajar tinggi. Istrinya –juga ibu guru- yang berasal dari Ambon mempunyai laptop, dan dengan tekun Pak Fecky yang adalah orang asli Wadankou belajar mengoperasikannya. Hari-hari itu Pak Fecky sedang getol-getolnya menonton film yang saya masukkan ke laptopnya. Dan ternyata dengan sangat jodohnya, ia sangat menyukai film Laskar Pelangi, terutama adegan cerdas cermat yang saya ceritakan di awal tadi. Ia dengan semangat menceritakan kepadaku betapa serunya adegan itu, yang membuat seorang rekan guru yang lain khusus datang ke rumahku untuk minta diputarkan Laskar Pelangi. Dan berikutnya demam ini tertularkan ke murid-murid. Total saya dan Pak Fecky telah empat kali memutarkan film ini untuk ditonton anak-anak. Seketika mereka keranjingan dengan film ini. Sedikit-sedikit mereka datang dan memintaku, “pak, putar film Lintang dulu!”

Tren Laskar Pelangi dan cerdas cermat ini bersambut karena pada Hardiknas nanti salah satunya akan dipertandingkan perlombaan Cerdas Cermat. Tiap SD diminta mengirimkan dua tim, satu tim dari kelas VI dan satu tim dari kelas IV dan V.  Dengan masih hangatnya adegan Lintang memenangi cerdas cermat dengan dramatis, anak-anak menjadi sangat bersemangat mengulangi kisah Lintang dalam kehidupan nyata mereka. Saya yang memang selalu menjadi pendamping tetap untuk semua kegiatan yang berbau akademik langsung diminta menyiapkan anak-anak mengikuti perlombaan ini. Tim pun telah dibentuk. Engge, Nindy, dan Santini akan menjadi tim kelas VI, sementara tim kelas V diisi oleh Tesi, Nining, dan Lince. Saya menaruh harapan besar untuk tim kelas VI, karena selain ini adalah penampilan terakhir mereka mewakili sekolah, tiga anak ini adalah anak-anak yang paling punya semangat dalam belajar. Engge, anak tertinggi di kelas yang lari dan renangnya paling cepat dari semua anak-anak perempuan lain (dan sebagian anak laki-laki), sangat kuat dalam hafalan dan pengetahuan umum. Nindy, nona termanis di sekolah, adalah sekaligus anak paling diandalkan di SD-ku. Ia anak yang paling bersemangat, energik, dan sangat kuat dalam matematika dan IPA (karena cita-citanya ingin menjadi dokter). Sementara Santini, dibanding Engge dan Nindy memang masih kalah bersinar, tapi ia adalah anak yang luar biasa tekun. Santini selalu datang paling pagi ke sekolah dan les, dengan buku lengkap dan penampilan paling rapi. Anak yang sangat spontan dan sangat suka memimpin doa ini adalah katalisator yang pas bagi Nindy dan Engge, menjadikan tim ini bagiku punya peluang menang.

Sebelumnya, sekolah kami pernah mengikuti cerdas cermat pada saat perayaan Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 2011 lalu. Saat itu secara mengejutkan Wadankou yang dipandang sebelah mata berhasil meraih juara 3, di bawah Wulmasa dan Adodo Molu. Keberhasilan sekolah kami ini sedikit banyak dipengaruhi oleh peran Nindy yang memang secara alamiah punya kemampuan di atas rata-rata. Walau di sekolah kami proses belajar mengajar tidak berjalan dengan baik (yang menjadi salah satu sebabnya saya ditempatkan di sekolah ini), kehadiran Nindy memang sangat membantu. Ia yang menjawab semua pertanyaan yang diberikan sewaktu perlombaan waktu itu. Berbekal modal juara 3 ini, saya yakin bahwa dengan usaha sungguh-sungguh, sekolah kami yang biasa terpinggirkan ini bisa melewati Wulmasa dan Adodo Molu yang sudah lama berada di ‘atas’.

Karena persiapan yang hanya dua minggu untuk lomba ini, yang masih ditambah dengan beberapa kegiatan pra- ujian nasional bagi siswa kelas VI, saya sadar bahwa hal pertama yang harus saya lakukan adalah membuat anak-anak siap bekerja keras. Saya mengingatkan mereka pada pengalaman sewaktu mengikuti Olimpiade Sains Kuark sebelumnya. Waktu itu anak-anak yang memang belum terbiasa belajar dengan rutin ogah-ogahan dalam belajar, dan sering meninggalkanku sendirian datang ke sekolah tanpa ada anak-anak yang datang untuk belajar. Hasilnya tidak ada seorang pun dari anak-anakku yang dapat lolos ke babak semifinal. Untunglah anak-anak sangat termotivasi untuk menang, terutama karena terobsesi mengulangi kisah Lintang yang ada di film.

Keinginan kuat mereka terbukti ketika pada waktu sesi belajar pertama mereka datang tepat waktu, padahal hari itu kegiatan sangat padat, mereka dari pagi sampai sore penuh dengan aktivitas belajar, latihan menari, dan latihan paduan suara. Saat saya baru memberi mereka beberapa soal latihan untuk dijawab, Tesi mengusulkan untuk langsung membuat simulasi cerdas cermat kepada mereka. Akhirnya saya pun mengambil papan tulis, membaginya ke dalam enam kolom, dan menuliskan nama-nama tim yang akan bertanding pada cerdas cermat nanti pada kolom-kolom yang ada. Engge, misalnya, menjadi SD Tutunametal, Santini SD Wulmasa, dan seterusnya. Mereka ingin berlatih dengan nuansa cerdas cermat itu sendiri. Sesi selalu saya mulai dengan pelajaran matematika. Kenapa matematika, karena setelah memberi soal saya akan mengajarkan cara menjawab soal itu. Nindy selalu paling bersemangat mengerjakan matematika, bahkan setelah saya bilang ‘cukup sampai di sini matematikanya’, ia tetap meminta soal lagi. Hal serupa terjadi pada saat pelajaran IPA. Tesi akan sangat semangat menjawabnya, sampai berteriak-teriak dan sekali dua kali sampai bertengkar dengan yang lain karena saling berdebat tentang jawaban dari pertanyaan yang diberikan.

Selama satu minggu penuh, energi saya terkuras habis karena setiap sesi persiapan selalu baru berakhir jam 10 malam. Diakhirinya pun bukan karena permintaan mereka, tapi karena saya yang sudah mengantuk dan lelah karena seharian melakukan berbagai aktivitas. Setiap kali belajar, saya pasti membawa setumpuk buku, membukanya dan memberi pertanyaan tentang berbagai hal, dari mencari luas persegi panjang sampai nama peraih medali emas Olimpiade pertama bagi Indonesia. Persiapan yang intensif ini pun menarik perhatian keluargaku di rumah. Mama piaraku selalu menyempatkan diri nimbrung dan pelan-pelan coba menjawab pertanyaan yang kuberikan. Saking kompetitifnya, mereka bahkan saling mengingat nilai masing-masing. Kalau hari ini misalnya Engge ynag mendapat nilai paling tinggi, maka besok Nindy akan tidak mau kalah dan saling menjumlahkan akumulasi nilai mereka untuk menentukan pemenang sesungguhnya. Kalau ditanya kenapa mereka begitu semangat, jawabannya selalu: “beta mau kayak Lintang!”. Nindy malah sering berusaha meniru gaya Lintang dalam menjawab pertanyaan. Saat ada pertanyaan matematika yang agak mudah, Nindy pasti langsung menutup matanya, mencoba menghitung tanpa menggunakan kertas buram. Setelah itu dengan penuh gaya dia akan menjawab dan berteriak kegirangan ketika berhasil menjawba pertanyaan. Tapi anak-anak saya memang tidak seperti Lintang, kemampuan mereka menjawab pertanyaan di luar kepala hanya kalau pertanyaannya berupa penjumlahan sederhana dengan angka sampai puluhan saja. Hehe.

Beberapa hari sebelum perlombaan, karena saya diminta menyiapkan soal lomba ini bersama rekan saya Bagus yang juga bertugas di SD Adodo Molu, saya mencukupkan kegiatan persiapan menyongsong cerdas cermat ini. Alasannya agar dalam memberi persiapan kepada anak-anak saya tidak bias dengan soal yang telah kubuat. Selama masa ‘tenang’ itu saya meminta anak-anak membaca kembali catatan yang telah mereka buat (mereka berinisiatif membuat catatan yang isinya soal-soal yang pernah saya berikan).  Sebelum berangkat, Gereja mendoakan keberangkatan anak-anak ke Desa Nurkat untuk mengikuti rangkaian perayaan Hardiknas ini. Ada yang spesial dalam doa ini. Potongan doanya kurang lebih seperti ini: “mendoakan agar anak-anak kita yang mengikuti lomba bisa berjuang sebaik mungkin, terutama untuk perlombaan yang paling penting, yaitu cerdas cermat dan olimpiade sains”. Hatiku menjadi berdegup lebih kencang, prestasi dalam cerdas cermat pasti akan membanggakan warga kampung dan sekaligus membuat pendidikan lebih diperhatikan oleh masyarakat. Beban anak-anak tentunya menjadi lebih berat pula.

Di Nurkat, banyak lomba dilalui anak-anak. Sampai hari ketiga, belum ada satu pun gelar juara yang diraih anak-anak. Di lomba mengeja, adik Nindy, Ayini, kalah tipis dari siswi SDK Adodo Molu. Di bola voli sekolah kami menjadi bulan-bulanan, pun di sepakbola. Di gerak jalan karena kesalahan instruksi dari pemimpin barisan, gelar juara 3 yang didapat. Di paduan suara kami dipasrahkan jadi juara buncit, karena tidak ada pelatih paduan suara di sekolah dan desa. Pada lomba Foruk (seni tutur khas suku Fordata) yang sekolah kami dijagokan dapat meraih juara 1 ternyata masih kalah keren dari anak-anak SDK Tutunametal. Di lomba puisi juga seperti itu, setelah saya membuat puisi yang bagus dan melatih muridku dengan baik, ia malah grogi pada saat tampil dan hanya berhasil meraih juara 3. Kami masih nihil juara sampai malam hari sewaktu cerdas cermat dilangsungkan.

Di babak pertama cerdas cermat ini ada 10 tim yang akan bertarung dari 5 desa, di mana masing-masing desa mengirimkan dua tim. Babak pertama adalah babak soal tertulis, yang bentuknya adalah tiap tim mendapatkan soal yang terdiri dari 70 nomor dan harus dijawab oleh tim dalam waktu 20 menit. Tiga tim yang mendapat jumlah benar tertinggi berhak lolos ke babak final. Saya dan Bagus duduk di depan panggung sebagai juri, sementara di atas panggung semua peserta berkutat dengan soalnya. Sambil mengawasi perlombaan secara umum, saya melihat anak-anak didikku. Mereka tampak sudah membagi tugas, Nindy dengan serius menghitung soal matematika pada kertas buram yang diletakkannya di laci meja, sementara Engge dan Santini masing-masing sudah memegang lembaran soal yang oleh mereka telah dipisah-pisah. Strategi yang bagus juga dari anak-anak ini, batinku.

Di belakang, tim kedua tampak lebih heboh lagi. Nining sudah berdiri sambil membaca soal, Tesi menekuri soalnya dengan dahi berkerut, sementara Lince tampak lebih tegang lagi mengerjakan soal matematika. Setelah 20 menit, semua peserta harus menghentikan pekerjaannya.  Dengan segera saya memeriksa hasil pekerjaan mereka yang sudah tertulis di lembar jawaban. Hasilnya pun tampak, tim SDK Wulmasa 1 meraih nilai tertinggi dengan jumlah benar 40, diikuti SDK Wadankou 1 dengan jumlah benar 36, lalu SDK Adodo Molu 1 dengan jumlah benar 31. Tim kedua dari sekolahku juga mendapatkan nilai lumayan, yaitu jumlah benar 29. Sayang yang diambil hanya tiga tim teratas saja, sehingga tampak Lince sudah meneteskan air mata karena kalah tipis dari SDK Adodo Molu 1.

Di babak final, seperti cerdas cermat biasa, dilangsungkan dua babak, yaitu babak soal wajib dan babak rebutan. Di babak soal wajib setiap soal yang tidak berhasil dijawab dengan benar oleh tim yang empunya soal dapat dilemparkan kepada tim lain tanpa ada konsekuensi pemotongan nilai jika jawabannya salah. Pada babak ini anak-anakku sangat agresif, mereka berusaha menyambar semua pertanyaan yang dilempar walau beberapa jawabannya salah. Anak-anak pun unggul 30 angka pada babak pertama ini, kebanyakan karena Nindy berhasil menjawab soal matematika yang tidak dapat dijawab oleh kelompok lain. Di babak rebutan, rentang pertanyaan lebih luas. Ada 30 pertanyaan yang diberikan olehku dan Bagus, dengan rentang materi dari matematika sampai ke olahraga dan muatan lokal serta pengetahuan umum. Saya sungguh kaget bercampur bangga, karena alih-alih dramatis seperti di novel, di babak rebutan ini tim dari sekolahku sangat mendominasi. Nindy sebagai jurubicara dengan percaya diri menjawab banyak pertanyaan, dan menyudahi perlombaan dengan selisih 70 angka dari SDK Wulmasa. Karena saya bertindak sebagai juri, saya tidak bisa berteriak kegirangan, walau jauh dalam hatiku, ingin kuberlari dan memeluk erat ketiga anak-anakku ini. Beberapa sekolah masih tidak percaya, karena selama ini Wadankou tidak pernah punya sejarah bagus dalam bidang pendidikan. Namun saya dapat tegak berkata, keberhasilan mereka bukan karena saya sebagai juri melakukan kecurangan, tapi murni karena semangat dan kerja keras yang sudah dilakukan oleh anak-anak ini.

Setelah lampu panggung dipadamkan dan semua rombongan masuk ke ruang kelas masing-masing (tiap sekolah ditempatkan dalam ruang kelas sebagai barak), saya menghampiri tiga jagoanku, membungkukkan badanku dan memeluk mereka satu per satu. Saya berkata singkat, “bapak bangga sama kalian”. Malam itu memang begitu membanggakan bagi kami. Kelak sesampainya di kampung, orang tua tidak berhenti menceritakan kemenangan anak-anaknya ini. Saya mendengar kepala sekolahku berbicara dengan guru dari SDK Tutunametal, ia menjelaskan bahwa kemenangan anak-anak ini karena mereka tiap hari belajar, dari pagi, sore, bahkan malam anak-anak sering datang untuk membaca buku di tempatku. Kemenangan kecil di lomba yang skalanya kecil karena dilakukan di kecamatan kecil di sebuah kabupaten kecil ini sungguh tidak kecil efeknya. Saya bisa merasakan degup kebanggaan dari anak-anak ini, saya bisa melihat betapa mereka sekarang menaruh hormat yang lebih besar bagi diri mereka sendiri. Dan saya untuk pertama kalinya bisa mendengar orang tua tidak mencaci anaknya sebagai ‘pambodoh besar’ seperti biasanya, tapi bisa berkata bahwa ‘anak-anakku paling pintar satu kecamatan’.

Dan saya, sungguh bukan pahlawannya. Saya hanya mentransfer semangat, menyuntikkan keyakinan dan meneladankan kerja keras kepada mereka. Ditambah dengan tekad ‘ingin seperti Lintang’, anak-anak inilah yang akhirnya mewujudkan mimpi mereka sendiri. Dan saya masih sungguh ingat malam itu, 2 Mei 2012, di hari yang disebut hari pendidikan. Saya memandang langit gelap di Desa Nurkat. Bulan sedang terang, dan masih menyisakan terang untuk bintang yang berformasi di sekelilingnya. Saya tak berhenti tersenyum sendiri sambil memandang horison itu, karena menyadari betapa Tuhan telah menulis skenario dongeng yang luar biasa. Saya bukan hanya bisa mengagumi kisah Lintang, saya bisa menjadi saksinya: melihat, mendengar, menyentuh, menjadi aktornya.

Larat, 28 Mei 2012 Saya mau Seperti Lintang!

Pernahkah kau membaca sebuah cerita yang bagus? Pasti semua mengatakan pernah.

Pernahkah kau begitu mencintai cerita itu, sampai kau merasa terlarut dalam dunia cerita itu? Yang mengatakan pernah mungkin akan sisa tiga perempat.

Pernahkah kau memimpikan ingin masuk dan mencicipi kehidupan dalam cerita itu? Setengah dari populasi mungkin akan menjawab pernah.

Terakhir, pernahkah kau benar-benar membaca, terlarut, dan mendapat kesempatan masuk ke dalam cerita itu, dan bahkan menjadi aktor dari cerita tersebut? Entah berapa tangan yang mengacung, tapi yang pasti tanganku akan ikut terangkat.

Yah, saya ingin bercerita tentang bagaimana Tuhan menuliskan kisahku sedemikian rupa, sampai untuk paling tidak satu malam dalam hidupku, saya merasa seperti hidup dalam kisah yang begitu kuakrabi.

Seperti banyak orang lainnya, dan walau memang klise, saya sangat menggemari Laskar Pelangi. Saya sungguh tergerak sejak novelnya pertama kali keluar. Saat itu saat berbicara tentang pendidikan, yang dibahas pasti adalah tidak beresnya sistem pendidikan kita, dan bla bla lainnya yang kesemuanya berisi pesimisme. Laskar Pelangi, walau bahasanya luar biasa hiperbolik ditambah dengan personifikasi yang melimpah, tetap begitu terang dalam pesannya. Saya begitu terhanyut dengan ide seorang guru yang menginspirasi murid-muridnya, kisah Lintang yang jenius , cerita aktivitas anak-anak kampung yang tidak bisa saya bayangkan sebelumnya. Saya masih ingat jelas, hatiku begitu berdebar ketika membaca bagian di mana Lintang, Ikal, dan Mahar mengikuti lomba cerdas cermat. Saya bahkan menjadi tidak terganggu dengan berputar-putarnya Andrea Hirata menggambarkan fragmen itu. Saya seakan ikut hadir dalam ruangan itu, turut bersorak ketika tim dari SD Muhammadiyah memenangkan cerdas cermat itu. Bagi saya, kisah cerdas cermat itu begitu heroik, justru karena kesederhanannya, sehingga membuat adegan itu menjadi abadi dalam diriku. Potongan kisah lain dalam Laskar Pelangi yang tentunya paling diingat orang adalah saat orang tua Lintang meninggal dan anak jenius itu pun harus mengakhiri perjalanannya di sekolah. Jujur saja, saya menangis saat membaca. Juga saat menonton filmnya. Dan masih merasakan pedihnya ketidakadilan itu pada saat menyaksikan musikalnya.

Laskar Pelangi memang sungguh merasuk ke dalam diriku. Saya kemudian menulis skripsi dengan judul ‘Dinamika Pencapaian Mimpi Pada Tetralogi Laskar Pelangi’, karena saya begitu tergugah dengan kisah itu. Saya membaca hampir semua wawancara tentang buku dan juga film ini, menonton filmnya lima kali, mendengar lagunya ratusan kali, dan mendalami segala hal tentang Laskar Pelangi. Skripsi ini kemudian mendapat nilai A dan membuat saya semakin banyak ditanya dan di kalangan kampusku menjadi ambassador tidak resmi dari kisah ini.

Melompat ke masa-masaku menjadi guru saat ini, saya masih ingat satu sore di kelas 4 SD Kristen Wadankou. Saya sedang duduk menyaksikan murid-muridku mengerjakan tugas, dan sambil melihgat ke luar jendela saya teringat di mana saya berada sekarang, dan di mana saya berada dulu. Saya mengajar di tempat yang jauh lebih terpencil daripada Gantong di kisah Ikal, dan walau sekolahnya jauh lebih bagus, tapi ketertinggalan (dan juga semangat) anak-anaknya kurang lebih mirip. Saya jadi terkaget-kaget sendiri, betapa Tuhan mengikatku begitu erat dengan Laskar Pelangi sampai memberiku kesempatan ‘menghidupi’ cerita itu. Perjuanganku memang masih jauh dari yang Bu Muslimah dalam Laskar Pelangi lakukan, tapi ada satu adegan dalam pengalaman mengajarku, yang sangat mirip dengan yang ada dalam Laskar Pelangi. Dan itulah yang ingin kuceritakan.

Satu setengah bulan menjelang Hari Pendidikan Nasional, semua sekolah di Kecamatan Molu Maru sibuk bersiap menyambut perlombaan yang mempertandingkan 14 cabang, sehingga membuat perayaan Hardiknas di kecamatan kami ini menjadi yang paling besar se-kabupaten. Di kecamatan ini ada 5 SD dari 5 desa yang akan bersaing menjadi yang terbaik di rangkaian perlombaan Haridknas ini. Dari 5 desa ini, ada dua desa yang selalu dipandang sebelah mata kualitas pendidikannya, yaitu Desa Nurkat dan Wadankou, desa tempatku mengajar. Sebabnya adalah karena secara turun temurun dua desa inilah yang masyarakatnya terkenal kepala batu dan sangat tidak peduli pendidikan. Biasanya yang mendominasi adalah SD Kristen Wulmasa, yang memang menjadi desa yang lulusan sarjananya paling banyak di kecamatan ini. Setelah itu adalah SD Kristen Adodo Molu, yang masyarakatnya juga cukup peduli pendidikan. Satu SD lagi adalah SD Kristen Tutunametal, SD dari desa yang paling kaya karena hasil rumput laut yang melimpah.

Di sekolahku, guru yang paling bersemangat untuk menyiapkan anak-anak mengikuti perlombaan ini adalah Pak Fecky Sabono. Kebetulan beliau masih tergolong muda dan memang punya niat belajar tinggi. Istrinya –juga ibu guru- yang berasal dari Ambon mempunyai laptop, dan dengan tekun Pak Fecky yang adalah orang asli Wadankou belajar mengoperasikannya. Hari-hari itu Pak Fecky sedang getol-getolnya menonton film yang saya masukkan ke laptopnya. Dan ternyata dengan sangat jodohnya, ia sangat menyukai film Laskar Pelangi, terutama adegan cerdas cermat yang saya ceritakan di awal tadi. Ia dengan semangat menceritakan kepadaku betapa serunya adegan itu, yang membuat seorang rekan guru yang lain khusus datang ke rumahku untuk minta diputarkan Laskar Pelangi. Dan berikutnya demam ini tertularkan ke murid-murid. Total saya dan Pak Fecky telah empat kali memutarkan film ini untuk ditonton anak-anak. Seketika mereka keranjingan dengan film ini. Sedikit-sedikit mereka datang dan memintaku, “pak, putar film Lintang dulu!”

Tren Laskar Pelangi dan cerdas cermat ini bersambut karena pada Hardiknas nanti salah satunya akan dipertandingkan perlombaan Cerdas Cermat. Tiap SD diminta mengirimkan dua tim, satu tim dari kelas VI dan satu tim dari kelas IV dan V.  Dengan masih hangatnya adegan Lintang memenangi cerdas cermat dengan dramatis, anak-anak menjadi sangat bersemangat mengulangi kisah Lintang dalam kehidupan nyata mereka. Saya yang memang selalu menjadi pendamping tetap untuk semua kegiatan yang berbau akademik langsung diminta menyiapkan anak-anak mengikuti perlombaan ini. Tim pun telah dibentuk. Engge, Nindy, dan Santini akan menjadi tim kelas VI, sementara tim kelas V diisi oleh Tesi, Nining, dan Lince. Saya menaruh harapan besar untuk tim kelas VI, karena selain ini adalah penampilan terakhir mereka mewakili sekolah, tiga anak ini adalah anak-anak yang paling punya semangat dalam belajar. Engge, anak tertinggi di kelas yang lari dan renangnya paling cepat dari semua anak-anak perempuan lain (dan sebagian anak laki-laki), sangat kuat dalam hafalan dan pengetahuan umum. Nindy, nona termanis di sekolah, adalah sekaligus anak paling diandalkan di SD-ku. Ia anak yang paling bersemangat, energik, dan sangat kuat dalam matematika dan IPA (karena cita-citanya ingin menjadi dokter). Sementara Santini, dibanding Engge dan Nindy memang masih kalah bersinar, tapi ia adalah anak yang luar biasa tekun. Santini selalu datang paling pagi ke sekolah dan les, dengan buku lengkap dan penampilan paling rapi. Anak yang sangat spontan dan sangat suka memimpin doa ini adalah katalisator yang pas bagi Nindy dan Engge, menjadikan tim ini bagiku punya peluang menang.

Sebelumnya, sekolah kami pernah mengikuti cerdas cermat pada saat perayaan Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 2011 lalu. Saat itu secara mengejutkan Wadankou yang dipandang sebelah mata berhasil meraih juara 3, di bawah Wulmasa dan Adodo Molu. Keberhasilan sekolah kami ini sedikit banyak dipengaruhi oleh peran Nindy yang memang secara alamiah punya kemampuan di atas rata-rata. Walau di sekolah kami proses belajar mengajar tidak berjalan dengan baik (yang menjadi salah satu sebabnya saya ditempatkan di sekolah ini), kehadiran Nindy memang sangat membantu. Ia yang menjawab semua pertanyaan yang diberikan sewaktu perlombaan waktu itu. Berbekal modal juara 3 ini, saya yakin bahwa dengan usaha sungguh-sungguh, sekolah kami yang biasa terpinggirkan ini bisa melewati Wulmasa dan Adodo Molu yang sudah lama berada di ‘atas’.

Karena persiapan yang hanya dua minggu untuk lomba ini, yang masih ditambah dengan beberapa kegiatan pra- ujian nasional bagi siswa kelas VI, saya sadar bahwa hal pertama yang harus saya lakukan adalah membuat anak-anak siap bekerja keras. Saya mengingatkan mereka pada pengalaman sewaktu mengikuti Olimpiade Sains Kuark sebelumnya. Waktu itu anak-anak yang memang belum terbiasa belajar dengan rutin ogah-ogahan dalam belajar, dan sering meninggalkanku sendirian datang ke sekolah tanpa ada anak-anak yang datang untuk belajar. Hasilnya tidak ada seorang pun dari anak-anakku yang dapat lolos ke babak semifinal. Untunglah anak-anak sangat termotivasi untuk menang, terutama karena terobsesi mengulangi kisah Lintang yang ada di film.

Keinginan kuat mereka terbukti ketika pada waktu sesi belajar pertama mereka datang tepat waktu, padahal hari itu kegiatan sangat padat, mereka dari pagi sampai sore penuh dengan aktivitas belajar, latihan menari, dan latihan paduan suara. Saat saya baru memberi mereka beberapa soal latihan untuk dijawab, Tesi mengusulkan untuk langsung membuat simulasi cerdas cermat kepada mereka. Akhirnya saya pun mengambil papan tulis, membaginya ke dalam enam kolom, dan menuliskan nama-nama tim yang akan bertanding pada cerdas cermat nanti pada kolom-kolom yang ada. Engge, misalnya, menjadi SD Tutunametal, Santini SD Wulmasa, dan seterusnya. Mereka ingin berlatih dengan nuansa cerdas cermat itu sendiri. Sesi selalu saya mulai dengan pelajaran matematika. Kenapa matematika, karena setelah memberi soal saya akan mengajarkan cara menjawab soal itu. Nindy selalu paling bersemangat mengerjakan matematika, bahkan setelah saya bilang ‘cukup sampai di sini matematikanya’, ia tetap meminta soal lagi. Hal serupa terjadi pada saat pelajaran IPA. Tesi akan sangat semangat menjawabnya, sampai berteriak-teriak dan sekali dua kali sampai bertengkar dengan yang lain karena saling berdebat tentang jawaban dari pertanyaan yang diberikan.

Selama satu minggu penuh, energi saya terkuras habis karena setiap sesi persiapan selalu baru berakhir jam 10 malam. Diakhirinya pun bukan karena permintaan mereka, tapi karena saya yang sudah mengantuk dan lelah karena seharian melakukan berbagai aktivitas. Setiap kali belajar, saya pasti membawa setumpuk buku, membukanya dan memberi pertanyaan tentang berbagai hal, dari mencari luas persegi panjang sampai nama peraih medali emas Olimpiade pertama bagi Indonesia. Persiapan yang intensif ini pun menarik perhatian keluargaku di rumah. Mama piaraku selalu menyempatkan diri nimbrung dan pelan-pelan coba menjawab pertanyaan yang kuberikan. Saking kompetitifnya, mereka bahkan saling mengingat nilai masing-masing. Kalau hari ini misalnya Engge ynag mendapat nilai paling tinggi, maka besok Nindy akan tidak mau kalah dan saling menjumlahkan akumulasi nilai mereka untuk menentukan pemenang sesungguhnya. Kalau ditanya kenapa mereka begitu semangat, jawabannya selalu: “beta mau kayak Lintang!”. Nindy malah sering berusaha meniru gaya Lintang dalam menjawab pertanyaan. Saat ada pertanyaan matematika yang agak mudah, Nindy pasti langsung menutup matanya, mencoba menghitung tanpa menggunakan kertas buram. Setelah itu dengan penuh gaya dia akan menjawab dan berteriak kegirangan ketika berhasil menjawba pertanyaan. Tapi anak-anak saya memang tidak seperti Lintang, kemampuan mereka menjawab pertanyaan di luar kepala hanya kalau pertanyaannya berupa penjumlahan sederhana dengan angka sampai puluhan saja. Hehe.

Beberapa hari sebelum perlombaan, karena saya diminta menyiapkan soal lomba ini bersama rekan saya Bagus yang juga bertugas di SD Adodo Molu, saya mencukupkan kegiatan persiapan menyongsong cerdas cermat ini. Alasannya agar dalam memberi persiapan kepada anak-anak saya tidak bias dengan soal yang telah kubuat. Selama masa ‘tenang’ itu saya meminta anak-anak membaca kembali catatan yang telah mereka buat (mereka berinisiatif membuat catatan yang isinya soal-soal yang pernah saya berikan).  Sebelum berangkat, Gereja mendoakan keberangkatan anak-anak ke Desa Nurkat untuk mengikuti rangkaian perayaan Hardiknas ini. Ada yang spesial dalam doa ini. Potongan doanya kurang lebih seperti ini: “mendoakan agar anak-anak kita yang mengikuti lomba bisa berjuang sebaik mungkin, terutama untuk perlombaan yang paling penting, yaitu cerdas cermat dan olimpiade sains”. Hatiku menjadi berdegup lebih kencang, prestasi dalam cerdas cermat pasti akan membanggakan warga kampung dan sekaligus membuat pendidikan lebih diperhatikan oleh masyarakat. Beban anak-anak tentunya menjadi lebih berat pula.

Di Nurkat, banyak lomba dilalui anak-anak. Sampai hari ketiga, belum ada satu pun gelar juara yang diraih anak-anak. Di lomba mengeja, adik Nindy, Ayini, kalah tipis dari siswi SDK Adodo Molu. Di bola voli sekolah kami menjadi bulan-bulanan, pun di sepakbola. Di gerak jalan karena kesalahan instruksi dari pemimpin barisan, gelar juara 3 yang didapat. Di paduan suara kami dipasrahkan jadi juara buncit, karena tidak ada pelatih paduan suara di sekolah dan desa. Pada lomba Foruk (seni tutur khas suku Fordata) yang sekolah kami dijagokan dapat meraih juara 1 ternyata masih kalah keren dari anak-anak SDK Tutunametal. Di lomba puisi juga seperti itu, setelah saya membuat puisi yang bagus dan melatih muridku dengan baik, ia malah grogi pada saat tampil dan hanya berhasil meraih juara 3. Kami masih nihil juara sampai malam hari sewaktu cerdas cermat dilangsungkan.

Di babak pertama cerdas cermat ini ada 10 tim yang akan bertarung dari 5 desa, di mana masing-masing desa mengirimkan dua tim. Babak pertama adalah babak soal tertulis, yang bentuknya adalah tiap tim mendapatkan soal yang terdiri dari 70 nomor dan harus dijawab oleh tim dalam waktu 20 menit. Tiga tim yang mendapat jumlah benar tertinggi berhak lolos ke babak final. Saya dan Bagus duduk di depan panggung sebagai juri, sementara di atas panggung semua peserta berkutat dengan soalnya. Sambil mengawasi perlombaan secara umum, saya melihat anak-anak didikku. Mereka tampak sudah membagi tugas, Nindy dengan serius menghitung soal matematika pada kertas buram yang diletakkannya di laci meja, sementara Engge dan Santini masing-masing sudah memegang lembaran soal yang oleh mereka telah dipisah-pisah. Strategi yang bagus juga dari anak-anak ini, batinku. Di belakang, tim kedua tampak lebih heboh lagi. Nining sudah berdiri sambil membaca soal, Tesi menekuri soalnya dengan dahi berkerut, sementara Lince tampak lebih tegang lagi mengerjakan soal matematika. Setelah 20 menit, semua peserta harus menghentikan pekerjaannya.  Dengan segera saya memeriksa hasil pekerjaan mereka yang sudah tertulis di lembar jawaban. Hasilnya pun tampak, tim SDK Wulmasa 1 meraih nilai tertinggi dengan jumlah benar 40, diikuti SDK Wadankou 1 dengan jumlah benar 36, lalu SDK Adodo Molu 1 dengan jumlah benar 31. Tim kedua dari sekolahku juga mendapatkan nilai lumayan, yaitu jumlah benar 29. Sayang yang diambil hanya tiga tim teratas saja, sehingga tampak Lince sudah meneteskan air mata karena kalah tipis dari SDK Adodo Molu 1.

Di babak final, seperti cerdas cermat biasa, dilangsungkan dua babak, yaitu babak soal wajib dan babak rebutan. Di babak soal wajib setiap soal yang tidak berhasil dijawab dengan benar oleh tim yang empunya soal dapat dilemparkan kepada tim lain tanpa ada konsekuensi pemotongan nilai jika jawabannya salah. Pada babak ini anak-anakku sangat agresif, mereka berusaha menyambar semua pertanyaan yang dilempar walau beberapa jawabannya salah. Anak-anak pun unggul 30 angka pada babak pertama ini, kebanyakan karena Nindy berhasil menjawab soal matematika yang tidak dapat dijawab oleh kelompok lain. Di babak rebutan, rentang pertanyaan lebih luas. Ada 30 pertanyaan yang diberikan olehku dan Bagus, dengan rentang materi dari matematika sampai ke olahraga dan muatan lokal serta pengetahuan umum. Saya sungguh kaget bercampur bangga, karena alih-alih dramatis seperti di novel, di babak rebutan ini tim dari sekolahku sangat mendominasi. Nindy sebagai jurubicara dengan percaya diri menjawab banyak pertanyaan, dan menyudahi perlombaan dengan selisih 70 angka dari SDK Wulmasa. Karena saya bertindak sebagai juri, saya tidak bisa berteriak kegirangan, walau jauh dalam hatiku, ingin kuberlari dan memeluk erat ketiga anak-anakku ini. Beberapa sekolah masih tidak percaya, karena selama ini Wadankou tidak pernah punya sejarah bagus dalam bidang pendidikan. Namun saya dapat tegak berkata, keberhasilan mereka bukan karena saya sebagai juri melakukan kecurangan, tapi murni karena semangat dan kerja keras yang sudah dilakukan oleh anak-anak ini.

Setelah lampu panggung dipadamkan dan semua rombongan masuk ke ruang kelas masing-masing (tiap sekolah ditempatkan dalam ruang kelas sebagai barak), saya menghampiri tiga jagoanku, membungkukkan badanku dan memeluk mereka satu per satu. Saya berkata singkat, “bapak bangga sama kalian”. Malam itu memang begitu membanggakan bagi kami. Kelak sesampainya di kampung, orang tua tidak berhenti menceritakan kemenangan anak-anaknya ini. Saya mendengar kepala sekolahku berbicara dengan guru dari SDK Tutunametal, ia menjelaskan bahwa kemenangan anak-anak ini karena mereka tiap hari belajar, dari pagi, sore, bahkan malam anak-anak sering datang untuk membaca buku di tempatku. Kemenangan kecil di lomba yang skalanya kecil karena dilakukan di kecamatan kecil di sebuah kabupaten kecil ini sungguh tidak kecil efeknya. Saya bisa merasakan degup kebanggaan dari anak-anak ini, saya bisa melihat betapa mereka sekarang menaruh hormat yang lebih besar bagi diri mereka sendiri. Dan saya untuk pertama kalinya bisa mendengar orang tua tidak mencaci anaknya sebagai ‘pambodoh besar’ seperti biasanya, tapi bisa berkata bahwa ‘anak-anakku paling pintar satu kecamatan’.

Dan saya, sungguh bukan pahlawannya. Saya hanya mentransfer semangat, menyuntikkan keyakinan dan meneladankan kerja keras kepada mereka. Ditambah dengan tekad ‘ingin seperti Lintang’, anak-anak inilah yang akhirnya mewujudkan mimpi mereka sendiri. Dan saya masih sungguh ingat malam itu, 2 Mei 2012, di hari yang disebut hari pendidikan. Saya memandang langit gelap di Desa Nurkat. Bulan sedang terang, dan masih menyisakan terang untuk bintang yang berformasi di sekelilingnya. Saya tak berhenti tersenyum sendiri sambil memandang horison itu, karena menyadari betapa Tuhan telah menulis skenario dongeng yang luar biasa. Saya bukan hanya bisa mengagumi kisah Lintang, saya bisa menjadi saksinya: melihat, mendengar, menyentuh, menjadi aktornya.

Larat, 28 Mei 2012 


Cerita Lainnya

Lihat Semua