Sayap-Sayap Cinta

Agus Arifin 27 Juli 2012

Ya Allah, entah harus bagaimana aku membalas segala anugerah yang kau berikan kepadaku..nikmat ini begitu besar, hingga sujud-sujud malamku pun tak akan sanggup menggantinya. Bahkan jika pepohon di bumi ini di jadikan pena, lautan dijadikan tintanya dan dedaunan dijadikan kertasnya untuk menuliskan  semua karunia-Mu yang telah kau limpahkan kepadaku, maka tak akan cukup. Sungguh tak akan cukup...

Terimakasih Allah....terimakasih....atas segala pengalaman berharga yang telah Kau selipkan dalam rangkaian perjalanan hidupku. Karena di sini,  aku merasakan bahwa hidupku berguna...aku merasa hidupku penuh dengan CINTA. Dan aku sadar sepenuhnya bahwa engkaulah sang pemilik Cinta itu..dan Engkau pulalah yang menebarkan Cinta itu ke seluruh penjuru alam, hingga menembus tiap hati yang memiliki naluri untuk mencintai dan di cintai.

Ya, Cinta yang membuat hidup ini lebih indah dan penuh makna. Hingga kemarin, aku yakin, Cinta lah yang membuat isak tangis itu pecah tatkala mengiringi kepergianku. Ya, kepergianku untuk sementara meninggalkan kampung Tatibajo tercinta. Kampung yang jauh dari peradaban, tidak ada listrik PLN disana, sinyal HP pun tak ada  karena letaknya tepat di tengah hutan belantara yang diapit bukit-bukit. Namun, entah kenapa aku bahagia di sana..aku betah...aku mencintai mereka dan aku sangat menikmati setiap detik perjalananku hidupku disana.

Mungkin anda bertanya, kenapa saya harus pergi? Sesuai rencanaku sebelumnya, akhirnya cuti liburan pun kuambil untuk melaksanakan wisuda kelulusanku yang telah hampir 2 tahun tertunda (baca: lulus sejak tahun 2010). Di satu sisi aku sangat bahagia karena sebentar lagi aku akan bertemu dengan teman-temanku di kampus untuk merayakan hari bahagiaku (baca: diwisuda). Namun, di sisi lain aku tak dapat membohongi diriku bahwa saat ini kesedihan tiba-tiba datang menghampiriku. Mungkin ini terkesan lebai bin melankolis, tapi itulah yang kurasakan.

Untuk waktu yang cukup lama, tidak akan ada lagi bermain bersama, mengaji, berenang di sungai, bermain bola dan berpetualang di  hutan bersama Prajurit Mimpi (baca: Murid-muridku). Masih kuingat isak tangis  murid-muridku dan beberapa warga saat melepas kepergianku. Sungguh luar biasa. Haru, bahagia, sedih bercampur aduk di dalam dadaku. Padahal aku sangat yakin bahwa kali ini aku hanya pergi untuk sementara dan pasti akan kembali. Tiba-tiba fikiranku melambung menerobos masa depan dan mulai membayangkan bagaimana jika bulan November nanti tiba? Ya, bulan sebagai pertanda berakhirnya tugasku di sini, di kampung kecil tercinta. Ah, aku tak mau berandai-andai memikirkannya. Bayangan itu langsung kuhapus dari ingatanku dan langsung kualihkan untuk berfikir yang lain.  Memikirkannya hanya akan membuatku semakin sedih. Lebih baik kufokuskan diriku untuk menerima aura cinta yang mereka berikan kepadaku melalui lambaian tangan, pelukan dan isak tangis saat menyerahkan berbagai bingkisan sebagai oleh-oleh untuk keluargaku di kampung halaman.

Banyak sekali bingkisan yang kuterima saat itu, sampai-sampai aku kesulitan untuk membawanya. Ada yang memberiku makanan khas Majene, sarung Mandar, Buras, kue-kue dan bahkan ada yang memberiku minyak goreng mandar. Subhanallah, mereka itu orang-orang susah, bagi mereka, barang-barang itu sangat berharga, tapi mereka rela memberikannya untukku. Sebenarnya aku kasian dengan mereka. Dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku tak sampai hati untuk menerimanya. Meski begitu, aku tak bisa menolaknya, karena aku tau karakter orang di sini. Jika mereka sudah memberi, maka harus diterima, karena jika tidak, hal itu akan menyinggung perasaan mereka.  Inilah CINTA...sungguh Luar biasa..semangat hidup untuk terus memberi, bukan untuk menerima. Lagi-lagi aku belajar dari mereka tentang arti sebuah keikhlasan dalam memberi.

Hal lain yang tak kalah mengharukanadalah adalah perilaku anak-anak saat aku mulai meninggalkan kkampung. Ketika roda motor yang membawaku mulai berjalan, mereka pun berlari mengikuti di belakang. Kemanapun arah motor itu pergi, mereka terus berlari. Aku sudah mencegah agar mereka berhenti melakukannya, karena menurutku, apa yang mereka lakukan cukup berbahaya. “ Anak-anak sudah...berhenti larinya, nanti kalian jatuh...pak Guru Pergi dulu ya...” sembari melambaikan tanganku ke mereka. Namun apa yang terjadi, ucapanku sama sekali tak mereka gubris. Mereka berlari dan terus berlari sambil berteriak...” Pak Guru...hati-hati paaaak...cepat kembali Paaak..Jangan Lama lama disanaaaa......”

Suara itu terdengar sayup-sayup bercampur nafas mereka yang tersengal-sengal. Tak lama kemudian, akhirnya mereka pun menyerah. Kulihat airmata mereka menetes saat mereka memutuskan untuk berhenti mengejarku, karena lelah. Kulambaikan tanganku, sembari tersenyum untuk meyakinkan mereka, bahwa aku akan segera kembali untuk mereka. Aku yakin semua ini terjadi karena Cinta...aku mencintai mereka dan semoga mereka pun begitu. Ah, Prajurit Mimpi...kalian selalu memilih tempat istimewa di hatiku...jika sudah begini, segala kenakalan kalian menjadi tak berarti bagiku...hingga yang kuingat hanya kebaikan-kebaikan kalian. Aku berjanji...4 bulan ke depan di sisa tugasku...aku akan berusaha memberikan yang terbaik, bahkan yang jauh lebih baik dari 8 bulan sebelumnya untuk kalian....itu Janji pak Guru...

Catatan AGUS ARIFIN

Pengajar Muda Kabupaten Majene

Sulawesi Barat..

Jauh dari Sinyal HP dan Sungai Sebagai kamar mandi

Tetap Tersenyum Menikmati.....


Cerita Lainnya

Lihat Semua