Membangunkan Siswa
Noveri Maulana 22 Juli 2012
Pagi itu, hujan turun sejak dini hari. Awan pun semakin dekat dengan bumi dan meyelimuti puncak bukit tempat tinggal kami. Hawa malas semakin menghampiri dan memaksa kami untuk tetap berada di dalam selimut sampai nanti.
Tidak seperti biasanya, sudah pukul 7 pagi, tapi suasana kampung masih sepi. Tidak ada terdengar suara jeritan anak atau derap langkah kaki warga yang hendak berangkat ke kebun. Kali ini, kampung seolah-olah mati tanpa ada aktivitas yang berarti. Ah, sudah bisa ditebak, semua warga masih berada di peraduannya menikmati rintikan hujan dan dinginnya hawa pegunungan.
Saya pun begitu. Ingin rasa hati hendak melanjutkan mimpi atau sekedar bergolek malas dalam balutan selimut yang menghangati. Tapi apa daya, tuntutan tugas untuk mengajar di sekolah membuyarkan semua lamunan dan keinginan itu. Saya bangkit dan mulai mempersiapkan diri. Tapi, kali ini, kuputuskan untuk tidak mandi pagi karena hawa dingin benar-benar menusuk ke pori-pori.
Tidak lama berselang, saya sudah siap dengan alat tempur mengajar. Tapi hujan di luar masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Mau diterobos pun, saya tak punya payung. Walaupun ada mantel, tapi untuk berjalan ke sekolah di waktu hujan begini bukanlah pilihan yang cerdas. Licinnya jalan yang berbukit-bukit bisa saja menyengsarakan saya di perjalanan nanti.
Alhasil, saya putuskan untuk menunggu hujan reda sambil duduk santai di depan jendela.
Lama berselang baru hujan mulai menunjukkan tanda untuk reda. Dilirik jam ternyata sudah menunjukkan pukul 8.30. Saya bergegas memasang jaket dan berjalan ke sekolah. Namun, di perjalanan, saya bertemu dengan beberapa murid yang justru belum bersiap untuk berangkat ke sekolah.
“Eh, kupikir ndak sekolah, Pak! Kan hujan...”, ujar salah seorang dari mereka.
“Wah, ndak ada cerita! Kan sekarang sudah berhenti hujannya, ayo sekolah...!!” ujarku memaksa.
“Iya, Paaaakk...!” mereka bergegas lari ke rumah untuk mengambil peralatan.
“Kali ini, boleh ndak mandi yaaaaaa.....!!!” teriakku.
Memang, biasanya setiap pagi, saya selalu memeriksa perilaku dan kerapian siswa. Setiap pagi di sekolah, semua siswa ditanya apakah sudah mandi, gosok gigi, dan bersalaman dengan orangtua mereka. Dan kali ini, karena hujan dan Pak Guru pun kedinginan, siswa pun diijinkan untuk tidak mandi pagi :D
Tapi, di jalan utama kampung, masih belum ada tanda-tanda siswa yang sudah siap untuk berangkat ke sekolah. Jadilah, bermodal sebuah peluit, saya mulai berkeliling kampung sambil meniup peluit itu sekeras-kerasnya untuk membangunkan para siswa. Dari satu rumah ke rumah yang lain, saya berjalan di halamannya sambil meniup peluit dan memanggil anak-anak.
“ppprrriiiittt......ayooo...ayooo...sekolaaahhh!!!” saya berteriak lantang.
Karena ulah saya yang agak nyeleneh ini, kampung mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Beberapa rumah mulai membuka jendela dan pintu rumahnya. Sebagian orangtua pun mulai menuruni rumah panggung mereka dan menyiapkan alat untuk berangkat ke kebun.
Tapi, di beberapa rumah, kejadian lucu pun terjadi. Karena ulah Pak Guru dengan suara peluitnya, tidak sedikit orangtua yang masih tidur nyenyak terpaksa ikut bangun karena mimpi indahnya terganggu oleh suara nyaring peluit Pak Guru. Saya hanya bisa menahan tawa dan tersenyum geli ketika melihat beberapa orangtua keluar rumah masih dengan mata yang sembab dan bekas tikar yang menempel di pipinya. Ada juga beberapa orang bapak ke luar rumah masih dengan rambut yang kusut sambil menguap dan berupaya menggerakkan tubuhnya.
Tapi, melihat sosok Pak Guru yang lewat di depan rumah mereka, sebagian besar orangtua murid itu jadi kikuk dan salah tingkah. Tanpa bermaksud mengganggu, saya berupaya menjelaskan maksud dan tingkah laku pagi itu lewat sebuah senyum dan teguran yang ramah. Tapi, belum sempat bersuara, si Bapak terlebih dahulu menyapa saya.
“Hujan aih Pak, jadi malas bangun!” ujar seorang Bapak kepada saya.
“Iya Pak, ini saja saya baru mau berangkat ke sekolah. Istirahat lagi aja, Pak! Mendung begini juga susah naik ke kebun!” balasku ramah.
Saya melanjutkan perjalanan ke sekolah. Tak lama, satu persatu muridku pun bermunculan. Tapi tidak sedikit yang masih melanjutkan tidur dan bermalas-malasan. Hari itu, hanya 15 orang saja yang hadir dan guru pun cuma saya seorang diri. Tapi, tak apalah, walaupun sendiri, kelas harus tetap dijalankan dan anak-anak itu harus mendapatkan pelajaran.
Karena digabung dari kelas satu hingga kelas enam, pagi itu kami belajar nyanyi dan pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Itulah beberapa mata pelajaran yang menurut saya materinya bisa dikolaborasi dari kelas satu hingga kelas enam. Alhamdulillah, walaupun hujan, penuh tantangan dan godaan, hari itu kami tetap ‘menghidupkan’ suasana di sekolah.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda