info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Syukur, Kunci Pembuka Nikmat

Herry Dharmawan 17 September 2012

 

Jika anda pernah akrab dengan buku-buku religi di awal tahun 2000an, mungkin anda pernah mendengar judul tulisan diatas. Ya, judul diatas kebetulan merupakan judul buku keluaran penerbit MQ publishing yang ditulis oleh da'i kondang, Aa Gym.

 

Lantas apakah tulisan saya kali ini akan membahas dan mengupas tuntas buku yang pernah Aa tulis dahulu? Percayalah, saya tidak sepiawai itu dalam menggali hikmah-hikmah kehidupan dan merangkainya menjadi untaian taushiyah yang menyentuh hati. Tapi setidaknya kata-kata pada judul buku itulah yang mengingatkan saya pada episode kehidupan yang  sedang saya jalani akhir-akhir ini.

 

Sejujurnya empat bulan terakhir ini saya menemukan begitu banyak hal-hal kecil yang dulu seringkali terlupakan untuk disyukuri dan sekarang menjadi begitu berharga ketika direnungi kembali.

 

Salah satu perenungan saya terjadi ketika -entah kenapa- tiba-tiba teringat tentang pelajaran ekonomi yang dulu saya dapatkan ketika SMP. Pelajaran mengenai "kegunaan tempat dan  waktu".

 

Masih ingat? Baiklah, begini contohnya..

 

Jika kita memperhatikan bahwa seringkali batu kali atau pasir dihargai sangat murah di pedesaan. Kenapa? Tentu karena batu dan pasir itu berlimpah dan bisa didapat dengan mudah di pedesaan. Namun ketika pasir dan batu-batu itu diangkut menuju kota, maka harganya akan melonjak seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan benda tersebut. Itu kita namakan "kegunaan tempat". 

 

Sedangkan "kegunaan waktu" sering kita dapati pada momen tahun baru. Cobalah perhatikan harga terompet kertas ketika menjelang tahun baru. Pada detik-detik menjelang pergantian tahun, bisa jadi harga terompet itu melonjak hingga mencapai 25.000 rupiah per buah. Namun apa yang terjadi setelah hingar bingar tahun baru itu usai? Jangankan 25 ribu rupiah, bahkan setengah harga pun belum tentu ada yang mau membeli.

 

Dari hal-hal tersebut pun saya jadi teringat tentang diri saya sendiri.

 

Dulu saya pernah menganggap diri saya tidak banyak berguna . Ya, ini kejadian nyata. Lima tahun lebih "berkeliaran" di kampus, sampai-sampai saya berkeyakinan bahwa jika ITB saat itu membuka lowongan untuk penjaga lab dan marbot mesjid salman, saya akan langsung diterima. Kenapa? Karena saya yakin akan dedikasi dan jam terbang saya dalam menjaga kampus yang bahkan boleh jadi mengalahkan para pegawai ITB itu sendiri. (bagi adik-adik mahasiswa, jangan ditiru yaa.. ini bukan contoh yang baik)

 

Di akhir-akhir masa menjadi mahasiswa pun, saya seringkali merasa betapa tidak bergunanya diri saya di kampus orang-orang pintar itu. Tempat dimana ilmu pengetahuan dan orang-orang dengan segudang kelebihan seakan terkumpul menjadi satu, tumplek tubleugh  kalo kata orang sunda mah. Saya merasa tidak banyak yang bisa saya lakukan -walaupun dalam waktu yang sama - telah  begitu banyak hal yang telah saya dapatkan.

 

Hati kecil saya memanggil-manggil, kemudian seakan bertanya,

"Apa yang sudah kamu lakukan?

Apa yang sudah kamu kerjakan untuk membuktikan semua yang dulu sering kamu katakan?

Apa kamu sudah puas  dengan kondisi saat ini? Puas berada di kampus dan menjadi seseorang yang dihormati dan dituakan? (dituakan sih mungkin, karena saya lulus lama. Tapi kalo dihormati.. Ehmmm, entar dulu deh)

 

Dalam pergolakan batin itu saya teringat akan janji-janji dan idealisme yang pernah saya impikan dan pernah saya nyatakan. Salah satu hutang terbesar saya adalah  jargon "bergerak bersama rakyat". 

 

Aah, teringat betapa naifnya saya di masa itu. Betapa lugu dan polosnya cara berpikir seorang -yang katanya- aktivis mahasiswa. Berkoar-koar mengatasnamakan rakyat dan bergerak bersama rakyat.

 

"Apanya yang bergerak bersama rakyat? Bahkan untuk tidur barang sehari-dua hari dan merasakan penderitaan mereka pun kau belum pernah. 

Apanya yang bergerak bersama rakyat? Bahkan untuk merasakan betapa laparnya perut mereka  di saat bekerja pun kau tidak. 

Bahkan di saat rapat -yang katanya membicarakan rakyat - itu kau lakukan di kafe-kafe nyaman sambil duduk-duduk di sofa empuk."

 

Rasa bersalah itu terus menerus mengusik dan menari-nari dalam pikiran saya. Mengganggu dalam tidur-tidur saya (baik tidur siang, tidur malam, tidur sore, bahkan tidur dhuha saya :p)

 

Saya tak tenang. Saya merasa berhutang. Karena janji adalah hutang dan hutang dibawa mati.

 

Dan kini setelah enam bulan lamanya, setelah sekian banyak peristiwa.. Saat ini saya sedang duduk termenung di sebuah desa. Tempat yang bahkan namanya pun tak pernah singgah di benak saya.

 

Desa Kepala Gurung..

Kecamatan Mentebah..

Kabupaten Kapuas Hulu..

 

Lalu seketika mengawang-awanglah pikiran saya mengingat masa lalu dan membandingkan masa yang sedang saya jalani kini.

 

Semua bagaikan mimpi...

 

Ya, Herry Dharmawan yang dulu hanyalah seorang anak laki-laki pemalas, yang bahkan untuk membuat susu coklat pun harus minta dibuatkan orang lain. Herry Dharmawan yang jangankan untuk mencuci pakaian sendiri, bahkan untuk mengantarkan pakaiannya ke tempat laundry pun malasnya setengah mati. (bahkan pernah cucian saya dulu di kostan menumpuk sampai 2 bulan dan baju saya bolong dimakan tikus, hehe.. Sst, kalo yang ini jangan bilang ke orangtua saya yaa :p)

 

Tapi kini..

Sebelum makan seorang Herry Dharmawan harus mencari sayurnya sendiri. Berjalan melintasi sungai di seberang sekolah, itupun masih harus ditemani anak-anak muridnya yang harus memberitahu pak gurunya yang tercinta apa beda antara tanaman pakis yang bisa dimakan dan tanaman pakis hiasan (tenang, sekarang saya udah tau kok)

 

Pun setelah mendapatkan bahan masakan, boleh jadi dia kehabisan minyak tanah atau sumbu kompor. Sehingga sebelum memasak pun dibutuhkan waktu tambahan sekitar setengah jam, baik untuk memasang sumbu kompor ataupun membeli minyak tanah murah di desa sebelah. Dan jika ternyata sumbu kompornya habis, maka mau tidak mau dia pun harus memasak dengan kayu bakar.

 

(Keterangan: memasak dengan kayu bakar. Yeaah, sekilas terdengar eksotis  bukan? Yep, setidaknya itu yang saya pikirkan saat pertama kali mencoba. Tapi jika anda  ada di posisi saya, mari kita  lihat apakah antusiasme ke-eksotis-an memasak dengan kayu bakar itu masih akan tetap bertahan setelah kurang lebih satu jam lamanya anda tak bisa-bisa menyalakan kayu bakar. Tapi tenang, sekarang saya udah bisa nyalain kayu bakar dalam waktu 5 menit kok ;) )

 

Belum selesai sampai disana, setelah makan dan kemudian ingin mencuci piring pun dia masih harus mengambil air di mata air belakang rumahnya jika musim sedang kemarau. Jika beruntung air  sedang berlimpah, maka air tersebut akan mampu melawan gravitasi  melewati pipa-pipa (bocor) yang tersambung ke kamar mandi rumahnya. Itupun masih dengan segenap usaha untuk mengurangi kebocoran-kebocoran pipa dengan menambalnya menggunakan kantong-kantong plastik minuman.

 

(Keterangan: Seringkali dalam upayanya menambal kebocoran pipa, dia menerapkan salah satu strategi belajar yang dicontohkan oleh pak Munif dalam buku "Gurunya manusia". Dia membayangkan dirinya sedang menjadi dokter  yang membebat dan menutup luka korban perang disana-sini. Tutup satu disini, bocor lagi disana. Iket satu disini, kebuka lagi disana.Harapannya dengan scene setting seperti itu dia akan menikmati pekerjaannya. Dan pengalaman pembelajaran yang sedang dia rasakan saat itu akan terus bertahan dan masuk dalam long termed memory-nya.)

 

Pada akhirnya, terlepas dari semua kemalangan yang dia  rasakan, setiap detik yang dia lalui terasa begitu indah dan patut disyukuri. Dia merasa bahwa kini dia sekaligus mendapatkan kegunaan waktu dan tempat bagi dirinya.

 

Jika dulu ketika di kampus dia pernah merasa jadi anak paling bodoh, kini dia bersyukur karena mampu membagikan ilmunya (yang tak seberapa itu) kepada anak didiknya maupun penduduk di desa.

 

Jika dulu dia seringkali merasa terasing dalam keramaian. Kini saban hari dia senantiasa dikelilingi oleh murid-murid yang dia cintai dan murid-muridnya juga yang (untuk sementara kita asumsikan) mencintainya.

 

Ya, pada akhirnya semua akan indah pada waktunya.

 

Kiranya petikan lagu Sherina yang berjudul "Ku Bahagia" akan mampu mewakili sedikit saja dari apa yang kini dia rasa.

 

Walau makan susah

Walau hidup susah

Walau tuk senyum pun susah

Rasa syukur ini

karena bersamamu

juga susah dilupakan

 

Ooh Ku Bahagia...

 

 

 

* penulis adalah seorang koleris-sanguinis yang sedang terjebak dalam suasana melankolis


Cerita Lainnya

Lihat Semua