Saat Kami Menari Bali
Melissa Tuanakotta 16 September 2012
Sudah tiga kali hari Minggu, Ayu dan Supreh main di rumahku. Banyak hal yang kami lakukan, dari mulai bermain, bernyanyi, menggambar, menulis surat, dan membuat Mading. Hari ini kami mencoba hal yang baru yaitu, menari. Satu hal yang tidak bisa aku lakukan adalah menari.
Badanku gempal dan kaku tidak ada sama sekali estetika keindahan jika aku menari. Bisa-bisa aku dikira gajah Lampung lagi berlatih sepak bola. Tapi itu tidak menutup kemungkinan untuk aku mengajarkan tari kepada murid-murid.
Sebenarnya sudah lama aku ingin mengajarkan tari tradisional kepada murid-muridku, khususnya murid-muridku yang berasal dari kampung Bali. Salah satu ciri khas dari Bali adalah tariannya, tapi tidak satu pun anak Bali di sekolahku ini bisa menarikan tarian khas dari daerahnya itu. Menurut salah satu warga, dulu di desa ini ada perkumpulan remaja yang sering menari tarian Bali. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, ketika mereka sudah beranjak dewasa dan berkeluarga, tidak ada lagi yang tertarik untuk melanjutkan perkumpulan tersebut.
Suatu hari aku mencari video Tari Pendet lewat internet, begitu dapat aku langsung mengunduhnya. Karena kelamaan disimpan, aku lupa dengan keberadaan video tersebut. Sampai pada akhirnya aku berkenalan dengan salah seorang Pengajar Muda yang bertugas di Muara Enim, Asri Iskandar. Dia adalah seorang penari, dan dia sering mengajarkan murid-muridnya untuk menari. Asri memberikan inspirasi kepadaku untuk melakukan hal yang sama dan semangat untuk mengajarkan tari. Tapi ya itu tadi, aku tidak bisa menari. Satu hal yang bisa aku andalkan ya hanya video.
Ketika hari ini Ayu dan Supreh datang aku langsung mengajaknya untuk melihat Tari Pendet. Ayu, yang memang orang Bali, sangat tertarik untuk menari. Supreh yang orang Jawa pun jadi terbawa semangat untuk ikut menari. Tidak lama Evi pun datang, dan dia juga ingin bergabung. Aku pun panas, jadi aku juga ikut ingin menari *eh*
"Buk, emangnya ibuk bisa nari?"
"Hmmmm enggak"
"Ko, ibu mau ngajak kita nari?"
"Iya, ga apa-apa kita belajar bareng-bareng aja, kalau sering latihan kan jadi bisa"
- selang beberapa waktu setelah menari -
"Buk, ibu kok aneh sih tariannya?"
*jleb*
"Gitu yah, yaudah ibuk di belakang deh"
- ga lama kemudian-
"Buk, kakinya aneh tuh!"
*JLEB*
"Ya udah deh ibu foto-foto aja yah"
HAHAHAHHAA, udah aku bilang, aku tuh ga bakat! Akhirnya aku menyerah dan bertugas mendokumentasikan Ayu, Supreh, dan Evi menari. Sedikit-sedikit aku mengatur gerakan (bukan karena bisa, tapi liat di video). Putaran pertama berantakan, putaran kedua mulai rapih, putaran ketiga sudah lumayan daripada lumanyun. Mereka senang dengan latihan tari ini. Mereka pun semangat untuk selalu latihan menari setiap minggu.
"Buk, aku mau coba nari yah Buk, siapa tahu sebelum ibuk pulang aku bisa kasih persembahan Tari Pendet buat ibuk", kata si Ayu.
Aku senang dengan pernyataan Ayu, aku pun senang bisa memberikan sesuatu yang baru untuk mereka. Bukan dalam bentuk materi tapi dalam bentuk keterampilan. Setidaknya mereka berusaha untuk bisa dan belajar bersama-sama. Semoga hari-hari yang telah kita lalui bersama, bisa bermanfaat dikemudian hari.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda