Percaya Diri

Hari Triwibowo 15 April 2015

Tepat sesaat sebelum tampil, dengan nada getir Aldi berkata, “Pak, tidak usah saja tampil. Malu ka dilihat orang”.

Kekhawatiran Aldi masih terekam jelas di ingatan saya. Seolah mewakili kawan-kawannya yang lain, mimik muka siswa kelas 6 itu menampilkan keseriusan bahwa ia tengah dirundung demam panggung. Perlu kejelian menghadapi situasi kala itu. Salah sikap, anak-anak bisa batal menampilkan hasil latihan mereka.

Di penghujung Desember 2014 itu untuk pertama kali Aldi dan sembilan kawannya tampil di depan khalayak ramai. Keriuhan suasana malam itu boleh jadi membikin Aldi tambah grogi. Ia tampak gelisah sedari gladi resik sore tadi. Alih-alih mengurangi ketidaknyamanan Aldi, saya coba mengajaknya ngobrol sambil menunggu giliran tampil.

“Tidak berani saya tampil, pak. Massiri aih*,” tiba-tiba Aldi mengeluh. Seketika saya menyadari bahwa bagi anak-anak yang berasal dari sekolah di tengah hutan-ladang Sulawesi, mengalami interaksi sosial baru merupakan sebuah tantangan.

Sesaat saya termenung: mengembalikan ingatan masa silam bahwa kekhawatiran tersebut merupakan produk lingkungan tempat mereka bertumbuh. Bagi anak-anak ini, ada rasa malu atau “tidak enak” saat menyuguhkan sesuatu yang dinilai kurang menarik/bagus.

Inilah tantangannya. Tampaknya, waktu dua bulan latihan masih belum cukup meningkatkan kepercayadirian anak-anak secara signifikan. Namun, apresiasi awalnya adalah keberanian hadir ke kota kabupaten merupakan langkah awal untuk menjadikan mereka lebih percaya diri.

Saatnya tampil. Pesan saya saat itu hanya dua: bersemangat dan tersenyumlah.

Satu-per-satu anak mulai naik ke panggung dan membentuk barisan menyerupai separuh elips. Saya mainkan intro dengan gitar. Mereka pun mulai menyanyikan lagu pertama. Masih terlihat jelas ekspresi keraguan di wajah anak-anak keren ini.

Memasuki lagu kedua (lalu) ketiga, mereka tampak lebih santai dan mulai menawarkan senyum. Dan di akhir penampilan, tak lupa mereka memberikan salam dengan membungkukkan badan. Ya, mereka berhasil menyuguhkan sebuah penampilan yang sederhana namun penuh makna.

“Ah, akhirnya selesai juga, Pak,” sahut Aldi selepas turun dari panggung. Ia berkomentar bahwa awalnya memang merasa takut berada di panggung dan dilihat oleh orang ramai. Saat menyadari bahwa ia tak mau sia-sia datang ke kota, keberaniannya pun muncul. Demam panggungnya mulai sirna.

Bagi saya pribadi, melihat sepuluh anak didik memberanikan diri tampil di depan publik adalah satu hal yang menyenangkan hati. Mereka yang sehari-hari hanya berinteraksi dengan kawan sepermainan di dusun dan orang-orang di ladang, ternyata mampu unjuk aksi di tengah keriuhan malam itu.

Boleh jadi, sikap percaya diri anak-anak dari Dusun Tatibajo, Kabupaten Majene ini belumlah sempurna. Tapi justru karena ketidaksempurnaan itu mereka terus berusaha.

Haru dan bangga terkhusus bagi saya yang tahu bagaimana kepercayadirian anak-anak tersebut berproses.. Mereka telah menyuguhkan hasil dari curahan daya dan upaya. Dan hasil itu disaksikan oleh orangtua mereka, guru mereka, dan saya – seorang  kawan yang mendampingi riuh rendah kehidupan mereka selama satu tahun terakhir ini. 

Dan saya kembali termenung: mengingat setiap potongan kisah bersama para pejuang pendidikan di tanah Mandar, masa itu.

*massiri, aih: malu

 

Hari Triwibowo, Pengajar Muda VII Kab. Majene

  

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua