Belajar dari Sebilah Parang
Hari Triwibowo 18 Februari 2015Ayunan parang di tangan tak ubahnya bagai lenggak pensil di atas kertas. Dengan lincah bilah besi itu menebas potongan kayu berukuran sedang. Lain daripada itu, warga tampak tak asing menggunakan parang untuk keperluan memotong ayam hingga mengupas bawang. Sesungguhnya, yang demikian itu telah menghemat pemakaian alat potong dalam kehidupan sehari-hari.
Itulah sepintas gambaran keseharian di Dusun Tatibajo, Kabupaten Majene.
“Dengan memisalkan kami ini adalah anak sekolah, maka parang tidak ubahnya seperti sebatang pensil,” ucap Pak Dedi, seorang pemikul biji kakao. Ya, bagi warga dusun yang aktivitas hariannya adalah berkebun atau bertani-ladang, parang merupakan teman hidup. Kelihaian menggunakan parang terbentuk karena pembiasaan.
Sahrul (11), siswa di SDN 27 Tatibajo pernah suatu ketika datang ke sekolah membawa parang. Layaknya seorang jago, ia kibas-kibas parang ke udara seolah ingin berduel. Seorang guru lantas datang menghampiri Sahrul.
“Kamu kenapa bawa parang ke sekolah?” tanya si guru. Bukannya memberi jawaban, Sahrul malah pergi meninggalkan gurunya. Tinggallah si guru yang terdiam melihat ulah siswa kelas VI itu.
Yang (mungkin) menarik adalah parang bukanlah sesuatu yang digambarkan destruktif dan “berbahaya”. Setidaknya, pandangan tersebut berlaku di Dusun Tatibajo. Mulai dari anak kecil hingga orang tua sudah terbiasa “memainkan” parang untuk keperluan aktivitas sehari-hari.
Acap kali ditemui anak kecil memakai parang untuk keperluan meraut bambu, memotong buah kakao, hingga mengupas bawang. Ide yang terakhir tampaknya agak repot untuk diterapkan. Tapi, itulah yang terjadi di lapangan. Imaji yang muncul dari sebilah parang justru sebagai sesuatu yang “biasa” dan “aman”.
Tak tampak kecanggungan dari setiap orang di kampung saat menggunakan parang. Bahkan, bagi siswa di SDN 27 Tatibajo, kelihaian mereka menggunakan parang lebih baik dibanding keterampilan “memainkan” pensil. Mungkin saja ini yang coba dijelaskan oleh Sahrul ketika dahulu ia membawa parang ke sekolah. Boleh jadi ia sedang pamer atau justru sedang protes.
Ya, tetap saja parang menjadi barang yang harus diperlakukan dengan hati-hati. Salah aksi, parang bisa bikin celaka. Terlebih, parang menjadi barang yang lazim dipakai oleh anak-anak di Dusun Tatibajo. Semoga saja kelihaian mereka memakai parang bisa diikuti dengan kecakapan menulis. Prinsipnya sederhana: bisa itu karena biasa.
Foto: Siswa di SDN 33 Buttutala, Kab. Majene
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda