Selamat Ulang Tahun, Pak

Nicko Rizqi Azhari 11 November 2014

Beberapa hari terakhir ini di sekolah begitu ganjil. Tidak seperti biasanya. Anak-anak yang selalu akrab itu rasanya makin menarik diri, menciptakan jarak denganku. Cerita-cerita mereka tentang keluarga, permainan, ataupun cerita tayangan televisi semalam tak lagi ada. Pun ajakan bermain, atau belajar di sore hari sepulang sekolah. “Libur dulu saja pak,” kata mereka.

Kuperhatikan, akhir-akhir ini mereka lebih suka berkumpul daripada bermain di jam-jam istirahat. Sepertinya diskusi mereka cukup serius. Bila melihatku melintas keluar dari ruang guru saja, gruduk-gruduk, kerumunan murid-muridku seketika bubar.

Hari ini adalah hari ulang tahunku. Tidak ada yang lain di hari ini, kecuali adanya telepon doa di pagi buta dari orang tuaku dan ucapan-ucapan ulang tahun dari teman-temanku. Seperti biasa, seperti yang terjadi di tanggal yang sama setiap tahunnya. Tidak seorang pun di desa yang tahu tanggal kelahiranku, kecuali guru-guru dan murid-muridku di sekolah. Ya, nama dan tanggal lahir tanpa tahunku tertulis di papan daftar guru yang ditempel di dinding ruang guru. Dengan percaya diriku, aku yakin murid-muridku sedang merencanakan sesuatu untukku.

Beberapa hari terakhir, beberapa muridku sering masuk ruang guru dan melihat papan itu, lantas segera lari ke kerumunan yang menunggu di luar ruang guru. Bahkan, kemarin ada satu murid yang memberanikan diri bertanya langsung ke salah satu guru. Satu muridku berbisik ke satu guru. Aku yakin muridku bertanya sesuatu tentangku, karena pandangan mata guru itu segera tertuju padaku. Aku hanya tersenyum melihat tingkah laku mereka itu.

Siang ini, seperti biasa, sepulang sekolah aku memberi jam tambahan untuk murid-murid kelas III-ku yang belum lancar membaca. Tidak seperti biasanya, kali ini anak-anak kelas tinggi yang menungguiku pulang jauh lebih banyak. Mereka merengek memintaku untuk segera membubarkan kelas tambahanku.

Aku semakin yakin murid-muridku sedang merencanakan sesuatu untukku. Selepas kelasku usai, beberapa muridku segera meminta izin untuk menutup mataku. Mereka lantas menuntunku ke suatu tempat. Tak berapa lama, penutup mataku dibuka. Di depanku, beberapa meja kelas disusun rapi menjadi satu meja besar. Di atas meja ada dua buah kue tar, agar-agar, permen-permen, beberapa buah kado, dan beberapa buah balon. Satu kue tar ditancapi dua buah lilin yang membentuk angka. Angka-angka yang sebenarnya tidak menunjukkan usia baruku. Mengiringi dibukanya penutup mataku, lagu selamat ulang tahun segera mereka lantunkan bersama-sama.

Usai meniup lilin, satu wali murid datang dengan sekardus minuman kemasan rasa jeruk. Untuk perayaanku bersama anak-anak, katanya sambil memberiku ucapan selamat. Sembari makan dan minum semua makanan dan minuman yang ada di meja, mereka dengan semangatnya berbagi cerita. “Kue ini kami yang buat pak, kami kongsi (patungan) untuk beli bahan. Semalam kami menginap di rumah Wendi untuk buat ini.. Kalau kue ini mamak itu yang buat... Kalau agar-agarnya mamak itu yang buat...,” kata mereka bersahut-sahutan.

“Lilinnya betul tak pak? Kami tak tahu umur Bapak, jadi kami kira umur Bapak,” tanya Agustina.

Aku tahu beberapa hari terakhir murid-muridku sedang merencanakan sesuatu, tetapi aku tidak menyangka yang mereka rencanakan adalah sebuah kejutan semanis ini. Kejutan yang mereka buat dengan menghimpun sisa uang jajan mereka, kejutan yang mereka buat sambil bermalam bersama, kejutan yang (ternyata) turut dipersiapkan oleh orang-orang tua mereka. Terima kasih murid-muridku.


Cerita Lainnya

Lihat Semua