Semangat Mereka Masih Menyala

Hardian Pambudi 21 Oktober 2012

 

Sekolah kami sedang direnovasi kawan. Ada politisi senayan yang baik hati menyalurkan dana aspirasinya, katanya. Genteng sekolah dibongkar, diturunkan dari tempatnya, lalu dipasang kembali setelah diperbarui catnya. Ruang belajar kami akan punya plafon baru, karena sebelumnya memang tak ada. Temboknya juga diwarna dengan oranye yang tak begitu menyala. Sampai blog ini ditulis, sudah dua minggu sekolah kami direnovasi dan bapak – bapak masih memasang keramik di teras kelas.

Maka selama dua minggu pula kami kehilangan tempat belajar untuk sementara. Bagaimana tidak, seluruh meja dan kursi dikeluarkan dari tempatnya. Ruang kelas penuh dengan debu semen dan suara gergaji. Beberapa gurupun ikut membantu menyelesaikan pekerjaan ini dan murid lebih banyak menghabiskan waktunya di luar kelas, atau malah di rumahnya masing-masing.

Kondisi ini ternyata diperparah dengan kejadian kurang mengenakkan akhir pekan lalu. Terjadi tindakan kriminal di kampung kami yang cukup meresahkan warga. Sekelompok orang yang masih dibawah pengaruh minuman keras melukai pengendara sepeda motor yang kebetulan lewat dengan parang. Saya sebenarnya sedikit ngeri menceritakan detail kronologisnya, kawan. Namun yang jelas, kejadian ini berujung pada pembakaran salah satu rumah warga. Suasana mencekam sedang menyelimuti kampung kami.

Dan tentu saja semua kejadian ini turut mempengaruhi aktivitas dan kegiatan ekonomi warga. Hampir semua kios –yang memang jumlahnya tak banyak- tutup sampai dua hari setelah kejadian itu. Jalanan sepi, karena memang belum banyak yang berani melewati. Khawatir terjadi konflik horizontal yang lebih meluas, beberapa warga mengungsi ke kampung lain untuk mencari tempat yang lebih aman. Sebagian turut membawa anak – anak mereka yang juga adalah anak murid sekolah kami.

Alhasil, sekolah hari itu benar – benar sepi. Tak satupun terlihat murid kami datang. Gurunya hanya beberapa. Tukang bangunan yang biasanya sudah giat pagi itu enggan bergerak. Kami –saya dan bapak tukang bangunan- hanya ngobrol di bangku kayu sambil sesekali nyeruput kopi yang tersaji.

Saya sempat khawatir jika kondisi ini berlarut-larut. Sudah sejak lama rasanya anak murid kami melewati harinya tanpa belajar penuh di ruang kelas. Renovasi sekolah sepertinya tak kunjung usai. Kondisi keamanan juga belum tahu kapan akan pulih. Puluhan anggota polisi masih berjaga-jaga di kampung kami.

Namun ternyata kekhawatiran saya tak terbukti benar. Pagi itu, tiga hari setelah kejadian tindakan kriminal, terlihat beberapa anak datang setengah berlarian menuju ke sekolah. Beberapa dari mereka memakain seragam yang tak serupa. Dan juga tidak semua dari mereka memakai sepatu. Tak banyak memang dan belum semuanya datang, tapi kehadiran mereka pagi itu mengingatkan saya bahwa mereka masih ingin belajar dalam kondisi apapun.

Beruntung sekolah kami terletak di kompleks bekas transmigrasi yang disana terdapat bangunan – bangunan yang tak terpakai. Bangunan tersebut dulunya adalah sebuah kantor yang digunakan untuk operasional perusahaan tambak udang. Namun seiring bangkrutnya perusahaan, saat ini bangunan tersebut digunakan untuk ruang guru dan perpustakaan. Dan di ruangan ini pula kami belajar saat kelas kami masih direnovasi.

Maka riuhlah ruangan sebesar 4 x 2,5 meter itu dengan suara dan canda anak – anak. Tak hanya satu kelas, tapi semua yang datang pagi itu belajar di ruangan yang sama. Itu artinya, mulai kelas 1 sampai kelas 6 mengirimkan wakilnya disana. Dengan enam meja dan satu papan tulis, hari itu kami belajar bersama.

Tak hanya bagi mereka, tapi sayapun mendapat pengalaman baru yang bagi saya sangat berharga. Ini pengalaman pertama saya mengajar kelas 1 sampai kelas 6 di waktu dan tempat yang sama. Saya belajar dari mereka, tentang semangat yang harus tetap dinyalakan ditengah keterbatasan. Saya juga belajar tentang keadilan. Ketika itu, saya sedang membahas soal kelas 5 agak lama dan si kecil Mu’arif yang kelas 1 mengangkat tangan sambil bertanya, “Pae, soal kelas 1 mana?”.

Dan hari – hari kami pun berlanjut seperti hari itu sampai entah kapan sekolah kami selesai diperbaiki. Tapi kehadiran mereka di hari berikutnya semakin menguatkan keyakinan saya bahwa semangat mereka semakin menyala.


Cerita Lainnya

Lihat Semua