Oskar

Metias Kurnia Dita 21 Oktober 2012

“Hello, my name is Oskar”, itulah perkenalan singkat salah seorang siswa kelas V saat pertama kali aku masuk ke kelas itu. Perhatianku sepenuhnya langsung mengarah ke anak itu setelah mendengar ia menyebutkan namanya. “Nama lengkapnya?”, aku bertanya. “Oskar saja, Bu”, jawabnya sambil tertawa riang. Aku semakin tertarik karena biasanya orang Bima menamai anak-anak mereka dengan nama-nama Islami. Hanya satu ini yang menurutku nyleneh. Siapa yang memberinya nama? Pastinya si pemberi nama mengetahui atau setidaknya pernah mendengar tentang piala Oscar, penghargaan bergengsi untuk insan perfilman Holliyood itu.

Pertemuan pertama yang tak terlupakan. Sejak itu, bagiku Oskar istimewa walaupun aku belum terlalu banyak tahu tentang anak itu. Hari terus berganti, semakin banyak interaksiku dengan kelas V, termasuk dengan Oskar. Belajar di kelas, lari subuh ke pantai saat hari minggu, belajar di sawah, les di malam hari dan kegiatan-kegiatan menyenangkan bersama mereka. Semakin lama aku semakin tahu tentang Oskar. Ternyata ia mempunyai bakat yang luar biasa di bidang seni lukis.

Ini berawal saat pertama kali aku mengajar SBK di kelas V. Saat itu aku mengajak anak-anak untuk menggambar dengan media cat air dan pelepah daun pisang. Aku membebaskan anak-anak menggambar apapun yang mereka inginkan. Alhasil, sebagian besar menggambar bunga. Tapi Oskar menggambar sesuatu yang benar-benar berbeda dengan teman-temannya. Dia menggambar boneka mirip Teddy Bear besar-besar, memenuhi kertas A4 yang aku bagikan. Benar-benar cantik! Seketika itu aku sambar kameraku untuk mengabadikan hasil karya Oskar.

Sejak itu, aku semakin yakin bahwa dia memang istimewa. Di pertemuan selanjutnya, aku membagikan majalah bekas kepada anak-anak. Aku minta anak-anak membuat kolase dari bahan majalah bekas itu. Kali ini mereka bekerja dalam tim agar anak-anak terlatih untuk bekerja sama. Lagi-lagi anak-anak membuat desain kolase yang biasa, seperti rumah, kapal dan gunung. Dan sekali lagi Oskar berbeda. Dia mendesain pesawat terbang yang proporsinya sungguh mirip dengan aslinya.

Setelah les malam biasanya aku membagikan kertas A4 dan meminjamkan crayon pewarna untuk anak-anak yang mau menggambar di rumah. Dan Oskar tidak pernah mau ketinggalan untuk selalu menunjukkan karyanya. Sungguh, semakin hari aku semakin suka menikmati karya-karyanya. Sebagian besar karya-karyanya itu tak lupa aku abadikan lewat layar kameraku.

Memasuki bulan ke dua di penempatan, aku mulai mengenal anak-nak lebih dalam, termasuk tentang latar belakang dan keluarga mereka. Aku menggali informasi dari guru-guru dan langsung dari mereka juga. Belakangan aku tahu bahwa Oskar di kampung ini hanya tinggal bersama kakak perempuannya yang duduk di kelas 3 Tsanawiyah. Kedua orang tua mereka pergi merantau ke pulau Kalimantan karena tidak memiliki pekerjaan yang tetap di kampung ini. Kabarnya, di tanah Boreo mereka bekerja menjadi buruh di perkebunan kelapa sawit.

Karena kurang perhatian dan kasih sayang dari orang tua, Oskar tumbuh menjadi anak yang sedikit “nakal”, demikian kata orang-orang. Oskar sering tidak masuk sekolah, ribut di kelas dan agak susah diatur. Sayang, aku baru benar-benar menyadari bahwa Oskar sering bolos itu setelah dua bulan lebih aku di sini. Mungkin bisa jadi permakluman karena aku bukan guru kelas di kelas V, aku hanya guru bidang studi Bahasa Inggris dan SBK yang hanya 2 kali sepekan mengajar di kelas itu. Yah, tapi ini tetap sangat terlambat.

Sejak aku tahu itu, aku selalu mencarinya bahkan sampai ke rumahnya saat dia tidak datang ke sekolah. Tak bosan-bosan aku sering berkata padanya, “besok datang ke sekolah ya! Nanti malam datang les ya!”. Semakin lama semakin dia menurut padaku. Sepertinya dia mengerti apa yang aku harapkan darinya.

Semakin hari semakin istimewa, terutama saat dia dengan ceria memamerkan gambar-gambarnya padaku. Mungkin inilah salah satu kebahagiaan menjadi seorang guru, yaitu saat murid-muridnya dengan senyum terindah mereka menunjukkan hasil karya mereka sambil berkata, “begini, Ibu”?. Senyum itu, keceriaan itu, tak akan pernah bisa ku lupa.

Sudah lebih dari 4 bulan aku berada di sekolah ini, SDN Soro Afu. Tak terasa waktu terasa begitu cepat. Semua cerita kualami selama 4 bulan ini. Dari yang paling mengharukan sampai memilukan. Dari yang paling menyenangkan sampai menyedihkan. Semua ada, menjadikan hari-hariku semakin berwarna-warni. Ya, salah satu pelukis warna-warni itu adalah murid-muridku. Karena mereka, aku tersenyum bangga, tertawa lebar, menangis, juga mengeluh. Walaupun begitu, sungguh aku semakin mencintai mereka.

Ya, aku mencintai mereka semua. Tapi entah mengapa cinta terbesar tetap jatuh pada Oskar. Aku tahu bahwa sebagai seorang guru, seharusnya aku memberikan cinta yang sama pada semua muridku. Walaupun di hatiku dia yang teristimewa, aku berusaha menunjukkan cinta yang sama kepada semua muridku karena mereka semua juga istimewa.

Dan saat cintaku begitu tumbuh subur, badai besar tiba-tiba meluluhlantahkan semua itu. Rabu siang, dari salah seorang anak kelas V aku mendengar bahwa Oskar besok akan pergi ke Kalimantan untuk tinggal bersama orang tuanya. Segera aku mengkonfirmasi berita itu kepada Oskar, dan dia mengiyakan. Aku pun tidak bisa berkata apapun lagi. Sepanjang hari itu, tak henti-hentinya memikirkannya. Ingin aku mencegahnya. Tapi apa hakku? Aku khawatir apakah dia tetap akan di sekolahkan setibanya di Kalimantan nanti? Ah, orang tuanya pasti lebih tahu apa yang terbak untuk anak mereka.

Malamnya aku pergi ke rumah Oskar, menanyakan tentang persiapannya. Aku juga memberinya 1 set crayon dan kertas-kertas gambar agar dia tetap terus berkarnya. Dan kalimat terakhirku malam itu, “nanti di sana tetap sekolah dan rajin belajar Nak, ya!”, “iya Bu”, jawabnya lirih sambil mengangguk. Ya Allah, kenapa Engkau mentakdirkan dia pergi saat aku benar-benar merasa mencintainya? Akankah aku bisa bertemu dengannya? Semoga, suatu saat nanti.

Satu hal yang membuatku semakin ingin menangis adalah sehari setelah keberangkatannya baru aku tahu bahwa tidak ada seorang pun yang menguruskan surat pindah sekolah untuknya. Bodohnya, saat malam terakhir pertemuanku dengannya aku sama sekali lupa menanyakan hal itu. Saat aku menulis cerita ini, mungkin ia sudah tiba di tanah seberang. Tanpa surat pindah sekolah, apakah dia tetap bisa melanjutkan sekolah di sana? Apakah orang tuanya berkomitmen untuk terus menyekolahkannya? Aku hanya bisa berharap dan berdoa yang terbaik untuknya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua