Archimedes Hadir di Senin Pagi

Hardian Pambudi 2 Oktober 2012

Jika menggunakan istilah sekarang, mungkin Raja Heiron sedang galau ketika mahkota emasnya baru selesai dibuat. Dia resah dan bertanya-tanya, apakah si pandai emas membuat mahkota yang terbuat dari emas atau dari logam yang sekedar dilapisi emas. Memang, mahkota itu seberat emas murni, bentuknya juga sama persis. Tapi entah apa yang membuat sang raja ragu dan akhirnya memanggil sahabatnya untuk menjawab keraguannya.

Sang sahabat ternyata tak kalah galaunya dengan raja. Berhari-hari dia berfikir keras untuk membuktikan dugaan kecurangan si pandai emas. Entah berapa kali dia merenung dan berdialog dengan akal pikirannya. Tapi siapa sangka justru di sebuah bak mandi-lah, Archimedes, nama sahabat raja itu menemukan jawabannya. Dan siapa sangka pula berawal dari peristiwa tersebut, lahirlah Teori Archimedes yang terkenal itu.

Mari sejenak kita bicarakan anak manusia lain yang terpisah jauh ruang dan waktu dengan Archimedes, namun sama-sama penyuka matematika. Namanya Ibrahim, kawan. Saya yakin Ibrahim belum pernah mendengar nama Archimedes sebelumnya. Apalagi sampai membaca kisah penemuan teorinya. Sampai suatu pagi untuk pertama kalinya dia mendengar nama orang Italia itu.

Senin pagi kelas lima waktunya belajar IPA. Namun bukan materi tentang gaya. Bukan juga membahas fluida. Pagi itu saya sedang menjelaskan tentang sistem pencernaan manusia. Saya ajak mereka memahami bahwa makanan dicerna dahulu di dalam mulut yang kemudian didorong oleh gerakan peristaltik di kerongkongan. Selesai saya menjelaskan bahwa ada yang namanya asam klorida di dalam lambung, saya bertanya,

“Sampai disini ada pertanyaan Anak-anak?“

Suasana kelas hening sejenak sampai kemudian Ibrahim dengan wajah ragu mengangkat tangannya,

“Pak pak,” dengan logat Bima yang cukup kental, “Kenapa sih pak, kapal laut itu tidak tenggelam? Kan kapal itu, terbuat dari besi dan kayu pak”

Belum sempat saya bereaksi, dia melanjutkan,

“Padahal pak, ini saja kalau di air, tenggelam pak”, sambil menunjukkan kepada saya dan teman-temannya sebuah mobil-mobilan dari plastik.

Kini giliran saya yang bingung dibuatnya. Saya sendiri juga tidak terlalu yakin dengan pengetahuan saya. Apalagi, saya harus menjelaskan aplikasi hukum Archimedes kepada anak kelas lima SD. Dengan sedikit mengernyitkan dahi, saya mencoba menyederhanakan penjelasan saya, walaupun saya tahu dari ekspresi wajahnya, Ibrahim belum sepenuhnya menerima.

Tentu saja peristiwa pagi itu mengejutkan saya, kawan. Bukan hanya karena pertanyaan itu muncul saat saya menjelaskan sistem pencernaan manusia, tetapi juga yang bertanya adalah seorang anak kelas lima yang selama dia sekolah, buku pelajaranpun tak punya.

Sejujurnya saya juga tidak tahu, apakah pertanyaan itu wajar saja atau terbilang luar biasa untuk anak seusianya. Mungkin di luar sana, di kota-kota besar di Indonesia, teori ini telah menjadi bahan diskusi atau materi praktikum bagi anak seusia Ibrahim. Tetapi, disini, ditempat dengan segala keterbatasan untuk belajar, bagiku pertanyaan itu terasa istimewa.

Belum lagi jika kita berinteraksi setiap hari dengan Ibrahim, maka jelaslah bagi kita, setidaknya bagi saya, bahwa dia memang luar biasa. Bakat eksaknya terlihat dari bagaimana dia menalar setiap peristiwa. Kemampuan matematikanya juga diatas rata-rata. Hebatnya, kemampuan itu dibarengi dengan motivasi belajar yang tinggi. Rasanya, tak pernah dia melewatkan sorenya tanpa berkunjung ke rumah saya untuk sekedar meminta PR. Jika kita tidak pernah menyangka Teori Archimedes lahir dari sebuah bak mandi, maka siapa sangka nantinya akan ada Archimedes baru dari sebuah desa kecil di Kabupaten Bima?

Pagi itu saya akhiri dengan sebuah pertanyaan, “Anak-anak, siapa diantara kalian yang ingin pintar seperti Archimedes?” Dan sepertinya kita sudah tahu siapa yang pertama kali mengacungkan tangannya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua