Pesona Trouble Maker

dela anjelawati 1 Oktober 2012

"Setiap anak juara", kata-kata ini begitu familiar saat masih di camp training intensive Pengajar Muda. Bapak Munif Chatib, pakar Multiple Intelegence inilah yang berhasil mendulurkan energi positif bagi kami para Pengajar Muda, untuk penuh semangat menemukan mutiara-mutiara ilmu nun jauh didaerah penempatan. Kala itu , aku percaya tak satupun diantara kami yang ragu terhadap konsep yang luar biasa tentang kecerdasan ini.  Ya, kami percaya bahwa setiap anak, apapun dan bagaimanapun tingkahlaku mereka, pastilah  tersimpan kecerdasan yang unik dan beragam. Mereka tak sama, pun tak adil jika dinilai dengan cara dan metode yang serupa.

 

Lalu bagaimana ceritanya jika saat ini persis 3 bulan lebih aku berada ditengah-tengah mereka, anak-anak dusun Langgetan Pulau Bawean. Anak-anak yang setiap hari membersamaiku dari pagi hingga malam, dari senin hinga sabtu, yang tak ubahnya dengan anak-anak kebanyakan. Disini, apakah konsep "setiap anak juara" masih seindah ketika kudengar di camp Pengajar Muda dulu. Apakah semangat menggebu untuk discovering ability itu tanpa jengah kulakukan disini...

 

 Dan nyatanya tak ada yang mudah ketika objek yang dihadapi adalah mahkluk kecil yang penuh dengan beragam sifat anak-anak. Warna perilaku mereka terlampau beragam. Belum lagi ketika hal itu berbaur dengan kemampuan motorik kasar mereka yang cenderung berlebih  (terutama murid laki-laki ku). Hingga proses mencari bakat setiap anak dengan tetap memegang teguh prinsip bahwa "setiap anak juara" itu bukan hal sesederhana. Kadang perasaan jengkel akan tingkah pola mereka tetap saja ada. Juga entah berapa kali aku menghela nafas menyaksikan kemampuan motorik kasar mereka. Hingga perasaan lelah saat memutar otak agar mendapat ilham dari langit tentang bagaimana melakukan pengelolaan kelas dan pembelajaranstudent center saat berada di kelas yang kita beri nama "Kelas Sang Juara" itu.

 

Dibalik kesulitan, InshaAllah ada kemudahan. Di akhir rasa lelah, pasti ada hasil yang baik. Begitulah yang kurasakan disini. Melewati episode-episode sebagai guru tak melulu dipenuhi dengan rasa lelah mengajar. Saat aku merasa jenuh dengan rutinitas hingga membuatrasa rindu rumah dan keluarga menghampiri, ternyata kebahagiaan itu datang dari mereka yang selama ini menjadi leader pembuat kelas ricuh. Yang tak jarang kurasakan sebagai trouble maker  disekolah. Tetapi, mereka pulalah yang membuatku terpesona, hingga berlebihan kukatakan, aku jatuh cinta.

 

Mereka bukan anak-anak yang memiliki prestasi akademik 'membanggakan' dengan predikat juara. Mereka juga sepengetahuanku bukan pula anak yang bersemangat meraih cita-cita dengan belajar tekun. Mereka adalah seperti murid laki-laki ku lainnya, yang kebanyakan bercita-cita menjadi pemain bola, yang bersemangat saat mata pelajaran olahraga, dan yang berteriak 'yeeeeeeeee' penuh ceria jika jam istirahat tiba. Akan tetapi,  ditulisan ini aku hendak bercerita tentang bagaimana para 'trouble maker' ini mampu mempesonaku.  Hingga meski aku jengkel dan lelah melihat kelakukannya, mereka pula yang menjadi salah satu alasan mengapa aku bersyukur menjadi guru disini.

 

**************************

 

Anak laki-laki itu bernama Iwan. Tidak naik kelas 3 kali membuat Iwan saat ini masih duduk di kelas 3. Perawakannya kurus, kulit hitam (mungkin dekil ^_^) dengan rambut yang di cat merah. Emosional Iwan sangat labil. Ia bisa dengan mudah melemparkan kepalan dan tendangan jika merasa tidak senang. Jadilah hobby Iwan adalah berkelahi. Berdasarkan cerita para guru disekolah, sejak masih di kelas 1 Iwan tidak suka  belajar dikelas. Jika kesekolah, Iwan tidak ingin memakai sepatu dan sering tidak berseragam sekolah. Di sekolah pun ia hanya ingin bermain-main diluar kelas, jajan, lalu pulang sebelum pelajaran usai. Hanya 1 pelajaran yang setidaknya bisa membujuk Iwan ke tempat duduk, yakni pelajaran berhitung. Tetapi, mintalah ia untuk membaca buku, praktis ia langsung merasa sangat lelah. Entah apakah huruf-huruf itu menari-nari dikepalanya saat membaca hingga ia merasa begitu lelah dan bosan.

 

Rumah Iwan tidak begitu jauh dari rumah hostfam ku. Hal ini membuatku mengetahui banyak tentang bagaimana Iwan di rumah. Ia adalah anak yang keras dan sangat sulit diatur. Iwan bukan pula anak yang 'santun'. Ia lebih sering membentak nenek-kakeknya. Apalagi jika tak diberi uang jajan, iwan akan sangat marah hingga bisa melempar barang-barang dirumahnya. Nenek dan kakeknya lebih sering mendiamkan jika Iwan sedang marah. Mungkin sudah lelah melihat kelakuannya selama ini. Ya, begitulah Iwan, semua yang mengenalnya lebih sering mengatakan Iwan adalah anak yang nakal. Iwan trouble maker.

 

Belakangan, aku mendengar banyak tentang background keluarga Iwan. Sejak berumur 4 tahun Iwan ditinggalkan kedua orangtuanya untuk bekerja ke Malaysia. Selama ini Iwan hanya tinggal bertiga dengan nenek dan kakeknya, yang lebih banyak menghabiskan waktu di sawah dan kebun. Biasanya sepulang sekolah Iwan langsung bermain lalu pulang saat magrib menjelang dengan kondisi sangat kelelahan dan sekujur tubuh yang kotor.  Aku berfikir mungkin Iwan selama ini hanya merasa sepi dan kurang kasih sayang orangtuanya. Ataukah ia senang menjadi anak yang nakal karena dengan itu ia bisa menarik perhatian orang lain.

 

Kepadaku, ntah apakah ia benar-benar menghormatiku atau tidak. Sejak pertama aku mengenalnya, tak pernah sekalipun Iwan berkata kasar atau terlihat tidak menuruti perkataan ku. Kecuali jika kusuruh ia membaca dan menulis, Iwan akan tetap malas-malasan. Disekolah, aku berkesempatan untuk mengajar mata pelajaran matematika dikelas Iwan, yaitu kelas III. Pernah suatu ketika, saat teman-temannya mengerjakan soal-soal yang ku berikan, Iwan terlihat sibuk dengan buku tulisnya. Ia tak mengerjakan apa-apa kecuali hanya menggambar lapangan sepak bola, lengkap dengan pemainnya. Jika kutanya alasannya tak mengerjakan soal, ia hanya menjawab dengan kata-kata "lepang (lelah), bu" atau "nggak tau, bu" . Awalnya aku jengkel melihat kebiasaannya yang malas mengerjakan soal-soal pelajaran dan lebih memilih bermain. Selama ini, usahaku hanya sebatas mendampinginya langsung hingga duduk disebelah bangku Iwan. Kudampingi ia mengerjakan soal per soal sembari memperhatikan murid yang lain. Tapi, jika kualihkan perhatianku darinya, tak seberapa lama Iwan pasti kembali sibuk bermain. Ntah itu menggambar, atau berjalan-jalan dikelas dan mengganggu temannya yang lain.

 

Kali lain, aku mendengar Iwan dipukul dan dimarahi oleh guru wali kelasnya saat pelajaran Bahasa Indonesia. Alasannya lagi-lagi karena Iwan tak mau membaca, meskipun hanya 1 kalimat. Tetap dengan alibi yang sama, "lepang (lelah) bu" atau"nggak tau bu". Aku menghampirinya saat pelajaran usai. Walaupun sudah bisa menebak jawabannya, aku tetap bertanya, "Iwan kenapa dimarah ibu guru?". Seperti biasa, seperti alasan yang telah ratusan kali ia ulang, yaitu lelah dan tidak tau. Sejurus kemudian, aku mengambil secarik kertas dan menuliskan satu kalimat sederhana, "Iwan murid yang rajin". Lalu, aku meminta Iwan untuk membacakan kalimat itu. Ia hanya tersenyum sembari mengatakan  "tidak tau, bu". Aku tak habis pikir. Bagaimana mungkin seorang murid kelas 3 SD tidak mampu membaca 1 kalimat yang terdiri dari 4 suku kata seperti itu. Kalimat yang sudah aku susun dengan sederhana. Aku hanya bisa membatin, "apakah memang anak ini tidak bisa  membaca?".

 

Setelah tidak berhasil membujuk Iwan untuk membaca, aku coba memintanya menuliskan nama depanku. "Iwan, bisakah ibu minta Iwan menuliskan nama ibu", pintaku. Iwan lalu memegang pensil dan menuliskan namaku di secarik kertas. Tetapi ia menuliskan namaku dengan cara yang berbeda, yakni "dela" ditulisnya "bla". Awalnya aku sempat bingung dengan cara menulisnya yang sangat 'berbeda'. Hingga berkali-kali kuperintahkan untuk menuliskan beberapa kata dan hasilnya tak satupun yang benar. Kesalahan penulisan yang sering terjadi seperti huruf yang terbalik dan kurang satu huruf. Iwan sulit membedakan huruf ddan b. Ia juga kesulitan jika kita dikte-kan satu kata, misalkan "kayu", Iwan akan menulis "kyu", kata "cepat" menjadi "cpat", kata "hari" menjadi "hri". Hal ini karena Iwan menulis kata sebagaimana yang ia dengar, contohnya  jika huruf k dibaca, maka akan menjadi ka, huruf h menjadi ha, dan begitu juga dengan huruf lainnya. Oleh sebab itu, jika kita mendiktenya dengan kata "kayu", Iwan hanya cukup menulis dengan huruf k ditambah yu.

 

Kesulitan dalam menulis dan membaca itulah penyebab utama mengapa Iwan tidak senang ketika belajar dikelas. Tentu menyulitkan karena aktifitas yang lebih banyak dilakukan siswa dikelas adalah menulis dan membaca. Tak terhitung berapa kali Iwan bolos saat jam pelajaran. Pilihannya untuk bermain diluar kelas membuat para guru berpandangan bahwa Iwan adalah anak yang malas, dan ketidakmampuan membaca serta menulis semata karena ia bodoh. Aku terenyuh ketika melihatnya dimarahi para guru disekolah terutama jika ia nakal dikelas dan tidak mau belajar. Aku merasa belum total membantunya dalam belajar. Apalagi jam mengajar dan memberi les tambahan untuk 4 rombongan belajar sangat menyita waktuku. Hanya beberapa kali kusempatkan mengajak Iwan dan beberapa anak untuk bermain dan belajar sepulang sekolah.

 

 Iwan sangat senang jika kuajak belajar di atas bukit desa, durung-durung (pondok kecil) di persawahan, hingga berjalan-jalan ke mata air desa. Ia menyukai aktifitas belajar dengan cara bermain. Raut mukanya terlihat gembira, 180 derajat berbeda saat ia belajar dikelas. Iwan juga adalah anak yang sangat senang jika kuminta menemaniku berjalan mengelilingi desa, apalagi jika kuajari cara menggunakan kamera dan mengambil angle fhoto yang baik. Sering aku takjub melihat kualitas hasil fhoto Iwan yang sepertinya lebih bagus dari kepunyaanku. Sekiranya merujuk pada tulisan pak Munif Chatib tetang  tipe kecerdasan, tentu Iwan lebih cocok dikatakan memiliki kecerdasan Visual-naturalis.

 

Dilain waktu, saat pulang sekolah, seperti biasa aku berjalan kaki bersama beberapa murid perempuanku. Siang itu matahari sangat terik. Kami memilih berjalan kaki menyusuri jejeran pepohonan yang rindang. Tak disangka tiba-tiba muncul teriakan suara yang cukup mengkagetkan kami. Sepertinya muncul dari balik salah satu pohon besar. Aku kenal persis suara itu. Pesan suara itu berbunyi,

 

"Ibuuuuuuuuu,aku saaayangggg ibu"

"Apakah ibu terima?"

 

Aku tak bergeming. Hanya mengamati dari kejahuan sembari menunggu bocah itu keluar dari persembunyiannya. Ya, benar saja, tak perlu waktu lama bocah laki-laki itu menampakkan mukanya. Dialah Iwan. Entah mengapa ia tiba-tiba berteriak seperti itu. Aku pikir ia sudah pulang kerumah. Sejak jam istirahat tadi ia sudah menghilang dari sekolah. Tanpa disangka muncul berteriak 'sayangggg' di siang bolong. Dia memunculkan dirinya lalu kembali berteriak, tetap dengan kata-kata yang sama.

 

"Ibuuuuuuuuu,aku saaayangggg ibu"

"Apakah ibu terima?"

 

Mendengarnya mengucapkan kembali, aku merespon dengan berteriak pula.

 

"ya, pesan diterima"

 

Kemudian aku hanya melihatnya tertawa. Ia berlari sambil berteriak mengucapkan salam. lalu menghilang ditengah semak-semak menuju jalan pintas ke rumahnya.

 

Begitulah mengapa aku terpesona dengan 'trouble maker' yang satu ini. Tingkah Iwan yang terkadang konyol, malah terasa so sweet.Pandangan banyak orang tentang Ia yang malas belajar, bodoh karena tak tau baca-tulis, dan tukang gaduh malah menjadi salah satu alasan mengapa aku harus hadir disini.  Alih-alih memberi inspirasi, cukuplah aku menjadi guru yang baik untuk Iwan. Ia tak perlu menghormatiku hanya karena 'rasa takut'. Biarlah caranya menghormatiku adalah buah dari rasa sayangnya untukku. Dan itu adalah hadiah terindah bagi seorang guru.

 

To be countinue

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua