Jatuh lalu cinta, lagi dan lagi

Handri Pratama 28 Juli 2017

Pak Guru, sudah hampir dua bulan saya akrab dengan nama panggilan baru. Nama panggilan yang di ’hadiahkan’ oleh anak-anak, orang tua murid, hingga semua masyarakat di daerah terpencil sulawesi tenggara, desa Parudongka. Pak guru, begitu mulia nya panggilan itu. Panggilan yang terkadang membuat saya tersenyum sendiri mendengarnya namun terkadang juga menambah beban.

Setelah hampir dua bulan disini, baru sekitar dua minggu tahun ajaran baru sekolah dimulai. Saya mengajar di SDN Parubela, satu-satunya sekolah di desa Parudongka, tempat anak-anak dan orang tua menggantungkan asa mereka.

Dua minggu merupakan waktu yang singkat. Dan cukuplah hanya dalam waktu dua minggu saya dibuat jatuh dan lalu cinta lagi dan lagi dengan mereka, anak-anak Parubela.

Kata jatuh saya gunakan untuk menggambarkan suasana hati saya selama 2 minggu ini  mengajar di kelas. Menjadi guru tak semudah yang saya bayangkan sebelumnya rupanya, saya harus menyiapkan rencana pembelajaran, mengatur kelas, memahami karakter siswa, dan lain sebagainya, tujuannya agar siswa didik dapat memahami materi ajar dan pada akhirnya standar kompetensi dari pembelajaran dapat tercapai. Namun, hal itu bukan perkara mudah. Tak jarang saya telah menyiapkan materi ajar sedemikian rupa dan sekreatif mungkin (bagi saya). Namun ternyata ketika pelaksanaan dikelas, materi ajar saya ditolak mentah oleh siswa yang berakibat banyaknya siswa yang kesulitan memahami materi.  Hal ini membuat saya cukup frustasi dan merasa gagal menjadi guru bagi mereka.

Namun bukan murid Pak Guru Handri namanya jika tak mampu membuat gurunya kembali dalam cinta. Teriakan-teriakan antusias mereka di depan rumah mengajak pergi les sore, senyum polos malu-malu mereka ketika memanggil nama saya, tangan-tangan mereka yang berebut untuk mengenggam tangan saya. Membuat saya merasakan cinta lagi dan lagi.

 Pernah suatu ketika, kami berjalan sore bersama, aktivitas rutin yang dilakukan sehabis les. Sore itu kami memutuskan untuk berjalan-jalan di sawah desa. Medan jalan sawah disini lebih mirip rawa-rawa, tertutup genangan air dan kita tidak tahu apa yang ada dibawah sana. Dengan kondisi ini,  saya berjalan pelan dan ragu-ragu memilih jalan. Melihat kondisi saya, anak-anak penuh inisiatif langsung bertindak sebagai pengawal saya. Dua dari mereka menggenggam tangan saya seraya berkata “Ayo Pak, jangan takut!”, sementara yang lain ada yang berjalan di depan untuk menghalau alang-alang dan dibelakang untuk memastikan saya tidak berada diposisi paling belakang. Saya yang harusnya menjaga mereka ternyata malah dijaga oleh mereka.

Dan itulah mereka, anak-anak yang penuh kejutan yang selalu membuat saya jatuh lalu cinta lagi dan lagi. Maafkan bapak jika masih belum bisa menjadi guru yang baik buat kalian, bapak juga berterima kasih karena kalian telah bersedia menjadi guru bapak dan mengajarkan banyak sekali pelajaran. Mari setahun kedepan bersama kita jatuh dan mencinta, lagi dan lagi.


Cerita Lainnya

Lihat Semua