SUPRI DAN SEMANGAT SSB
Halimatusa'diah 31 Juli 2015Hari kedua sekolah, Selasa tanggal 28 Juli 2015, harapan itu pelan-pelan dikuatkan.
Sebut saja ia Supri, panggilan dari nama panjangnya Supriatna. Ternyata tidak cukup panjang juga ya namanya. Ketika kutanya tanggal dan tahun lahir, ia menjawab tak ingat sembari senyum malu-malu. Barangkali karena ia laki-laki, sering lupa tanggal-tanggal penting, bahkan hari ulang tahunnya sendiri. Di hari pertama masuk sekolah, aku sudah menandai Supri sebagai salah satu anak yang badannya paling besar di antara yang lain. Cukup menarik perhatian. Dalam pembentukan pengurus kelas, aku langsung mengangkat dia sebagai “keamanan kelas”. Ini atas dasar komentar teman-temannya, mereka menyebut Supri adalah anak paling nakal di kelas. Harapannya, Supri tidak bandel lagi jika punya jabatan keamanan kelas. Sebagai keamanan, ia harus memberi contoh. Kita lihat saja nanti.
Setelah melewati libur sekolah yang panjang, di dua hari pertama masuk sekolah, kami belum melakukan kegiatan belajar mengajar dengan efektif. Anak-anak, guru-guru, dan beberapa orangtua murid ikut membersihkan lingkungan sekolah. Pukul sebelas, anak-anak sudah diperbolehkan pulang. Guru-guru ikut serta.
Siang itu, aku memutuskan untuk tetap tinggal di sekolah, mencoba menikmati tempat di mana aku akan belajar setahun ke depan. Karena aku tahu masih ada beberapa anak di halaman sekolah, aku menutup rapat pintu ruangan kelas V, tempatku menyendiri bersama laptop dan dua buku yang baru dibaca dan tak rampung-rampung dibaca. Multatuli dan Murakami. Kunyalakan laptop, kuputar satu lagu favorit sebulan ini, sebuah soundtrack dari film The secret life of Walter Mitty. Penyanyinya Junip, entahlah ia solo atau groupband. Musiknya masuk ke jiwa, aku tidak berlebihan, judulnya Don’t let it pass. Dua lagu di playlistku, satu lagi Stay Alive dari Jose Gonzalez. Ku pasang cukup keras, sengaja tak kupakai headset.
Rupanya, dua lagu itu mengundang dua anak datang menghampiriku ke kelas. Mula-mula mereka mengintip dari jendela, tanpa mengetuk, mereka langsung membuka pintu kelas, menghampiriku sambil berkata, “Lagi apa bu?”. Aih, yang datang adalah Supri dan temannya dari kelas VI yang tak ku ingat namanya. “Lagi bikin RPP.” Kujawab sekenanya. Kemudian, beberapa kali kami tanya jawab, hal-hal sepele, sisanya dia bercanda di kelas bersama temannya, mereka tertawa, aku tidak mengerti apa yang mereka tertawakan. Aku tidak jadi sendirian.
Lalu ia mendekatiku, “Bu, SSB yuk,” katanya. Saat itu aku lupa apa itu SSB, tapi tak lama, aku kemudian ingat, SSB adalah Sekolah Sepakbola. Jadi, sekolah kami memiliki SSB. SSB ini digagas oleh Pak Bagus, Pengajar Muda angkatan IV. Keberadaan SSB di sekolah kami naik turun, artinya SSB ini belum berjalan maksimal. “Ayok!” Reaksiku dengan semangat. Bagaimana aku tidak semangat, melihat mata Supri berbinar-binar ketika menyebut SSB.
Setelah melihat reaksiku, Supri dan temannya jadi banyak bicara, mereka megutarakan keinginan-keinginan mereka tentang SSB. Sempat mereka memintaku menjadi pelatih mereka. Aku, kemudian tertawa. Benar-benar tertawa. “Kalian ada-ada aja, Ibu mah jadi penggembira aja. Nanti Ibu carikan pelatihnya.” Kataku. Lalu, mereka mulai meracau. Meracau yang baik.
“Bu, nanti kita kumpul ya,”
“Bu, beli kaos tim,”
“Bu, latihannya di Pasirbatang,”
“Bu, nanti pas kumpul ngaliwet,”
“Bu, hari minggu ini kumpul ya,”
Aku hanya bisa menjawab satu kata,”iya”. Supri yang katanya bandel di kelas, begitu menyenangkan, ternyata. Aku meminta dia untuk mencatat nama anak-anak yang ingin bergabung kembali bersama SSB. Dengan lantang ia menjawab “siap”. Tak kalah dengan Supri, dengan yakin ku katakan “Ibu siap jadi manajer kalian.” Supri dan temannya tertawa.
Hari itu aku langsung belajar, untuk tidak khawatir kekurangan semangat, karena semangat bertebaran di mana-mana, bertebaran di setiap diri anak-anak. Selalu beriringan dengan semangat, harapan muncul, menguat.
Hari itu, Supri si keamanan kelas, atas antusiasmenya terhadap SSB, ia telah membuat semangatku naik sepuluh kali lipat. Hari-hari yang lain, akan ada lagi banyak anak yang meninggikan semangatku. Aku tidak pantas khawatir.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda