Cerita Perubahan Awak Kapal SoBeJu

StevaniaRandalia 29 Juli 2015

 

“Pengajaran memang bertujuan menyampaikan pengetahuan, tetapi pengetahuan yang ditransfer itu harus menjadi sarana bagi pendidikan anak didik dan unsur dalam pembentukan kepribadian mereka. “

(Ignas Kleden; KOMPAS, 26 Juni 2015)

***

Jam dinding coklat di ruang guru menunjukkan pukul 07.15. Om To, penjaga sekolah kami beranjak dari duduknya yang tidak pernah berganti tempat, di ujung ruangan samping jendela. Ia memukul lonceng tiga kali, kali ketiga berekor panjang. Anak-anak berhamburan mencari posisi baris untuk mengikuti apel di depan bangunan ruang guru, dibumbui sedikit aksi dorong dan sikut sana sini. Yah, namanya juga anak-anak. Itu adalah wujud antusias mereka. Sama seperti saya yang antusias memulai hari itu, hari kedua semester kedua menjadi Pengajar Muda di SDN Inpres Solan.

Apel pagi usai. Seperti biasa, saya memberikan 5 menit kepada anak-anak untuk menyiapkan ruangan. Melangkah masuk, saya mendapati kelas sudah bersih, rapi, dan seluruh anak sudah duduk di dalam. Abel, Sang Ketua Kelas, sigap memberi komando salam. Seisi kelas berdiri. Dua anak laki-laki, Marko dan Isal mengucapkan Selamat Pagi sambil sibuk memasukkan bajunya agar rapi. Sesudahnya, saya melirik Soniya. Ia langsung maju dan memimpin doa bersama selaku Sie. Kerohanian.

Saat semua anak sedang memejamkan mata, untuk sesaat saya terhenyak. Enam bulan sudah berlalu. Anak-anak ini telah banyak berubah. Mereka, para awak Kapal SoBeJu telah jadi lebih baik dalam enam bulan.

***

Kala itu, di minggu pertama saya masuk menjadi Guru Kelas V, kesan yang saya dapatkan dari anak-anak ini biasa-biasa saja. Dalam kegiatan belajar mengajar, mereka lebih banyak diam dan memandangi gerak gerik saya. Ibarat kata, mereka belum menampakkan wujud aslinya. Di minggu berikutnya, karakter asli itu mulai muncul. Ada anak yang cerdas dan aktif, cerdas tapi pemalu, pasif, cerdas dan hiperaktif, serta ada anak yang memiliki sifat bawaan agresif.

Masuk ke minggu ketiga yang menjadi minggu pencobaan saya. Perilaku-perilaku mengganggu mereka bermunculan. Kelas untuk sesaat bersih, namun tidak lama mereka kotori lagi. Perkelahian antar siswa tidak terelakkan. Beberapa anak laki-laki izin keluar kelas namun tidak kembali lagi. Pada masa ini, Soniya menolak masuk kelas, lantas berkeliaran dan mengganggu kelas-kelas lain.

Padahal, di sini saya sudah menetapkan Kesepakatan Kelas. Ada 4 poin:

1.       Kelas Ini Adalah Kapal

2.       Guru = Kapten Kapal

          Siswa = Awak Kapal

3.       Awak Kapal Patuh pada Kapten Kapal

4.       Awak Kapal Berkelahi = Kapal Tenggelam

Kelas saya ibaratkan Kapal, selain karena desa Solan terletak di pesisir sehingga anak-anak ini akrab dengan kapal nelayan, saya anggap konsep sederhana pengelolaan kapal seperti Kapten Kapal dan Awak Kapal cukup mudah dipahami dan cocok untuk kondisi kelas yang rawan perkelahian. Namun bukannya terkendali, kekacauan justru bertambah dan memuncak. Kegiatan belajar mengajar jadi terhambat.

Saya yang sebelumnya plegmatis dihadapkan pada situasi dimana pilihan yang ada hanya lebih memegang kendali atau menyerah. Tidak memilih menyerah, saya pun mulai mencatat perilaku-perilaku apa saja yang menimbulkan isu. Kemudian, saya menemukan tiga pola: kasar, kotor, dan terbiasa berbohong.

Maka di bulan kedua saya memformulasikan Kapal SoBeJu. Mempertajam poin pertama Kesepakatan Kelas dimana Kelas ini adalah Kapal, mulai saat itu semua siswa adalah awak dari sebuah kapal yang bernama Kapal SoBeJu: Sopan, Bersih, Jujur. Sopan untuk mengarahkan perilaku kasar. Bersih untuk perilaku kotor. Jujur untuk perilaku terbiasa berbohong.

Reaksi anak-anak setelah mendengar kata Kapal SoBeJu?

Tertawa geli.

Ada juga yang bahkan tak segan tertawa kencang. Tapi saya tetap yakin menjalankannya. Satu bulan lebih saya habiskan untuk menanamkan ketiga ‘nilai emas’ tersebut pada mereka.

Kelas ini adalah “Kapal Sopan”. Bila bersikap kasar, mereka harus mengucapkan kalimat maaf di depan seluruh teman sekelas. Bila masih juga kasar, sang anak harus meminta maaf dengan lantang di luar kelas.

Selain itu, karena kelas adalah “Kapal Bersih”, sebelum guru masuk, kelas sudah harus disapu bersih dan semua sampah dibuang di tempat sampah. Jika masih belum bersih, biasanya saya akan menunggu di depan kelas sampai kelas selesai dibersihkan baru pelajaran dimulai.

Dan karena kelas juga adalah “Kapal Jujur”, bila berkata bohong atau mencontek, anak harus meminta maaf dan keluar kelas untuk beberapa waktu. Saat masuk, ia harus sudah selesai merenungkan kesalahannya dan mengucapkan janji untuk hanya menggunakan mulut, tangan, dan mata unutuk kebaikan.

Langkah pembiasaan ini saya pasangkan dengan strategi pemilihan ketua kelas. Aurel, gadis cilik bertubuh besar berparas manis saya daulat jadi ketua kelas atau asisten kapten kapal karena pembawaannya yang berani dan tegas, serta bertanggung jawab. Aurel didampingi Abel selaku wakil ketua kelas atau asisten 2. Saya mengajak Aurel dan Abel turut memastikan agar ketiga nilai ini tertanam sedemikian rupa pada diri teman-temannya melalui pembiasaan perilaku dan sikap-sikap di atas.

Pelan tapi pasti, buah usaha ini mulai tampak. Anak-anak semakin terbiasa dengan saya dan begitu juga saya. Mereka paham tidak ada jalan lain selain mengikuti aturan main saya di kelas. Saya sedikit demi sedikit paham cara untuk jadi sosok yang tegas namun tetap penyayang.

Hingga suatu hari di bulan keempat, Aurel sang Asisten menyampaikan bahwa ia punya ide agar kelas bisa lebih terjaga kebersihannya.

“Kitorang buka sepatu saja ya, Enci!”

Maka sejak itu, setiap pagi ketika masuk kelas, saya mendapati sepatu-sepatu sudah tersusun rapi di bagian belakang kelas. Lantai kelas pun lebih bersih sepanjang hari.

Saya melihat nilai “Bersih” ini semakin jelas tertanam pada diri anak-anak saat sekolah akan dikunjungi Pengawas dari kecamatan untuk pemilihan “Sekolah Sehat”. Dengan inisiatif sendiri, mereka tidak hanya membersihkan bagian dalam kelas, namun juga membersihkan dan menghias teras menjadi taman cantik lengkap dengan batu-batu dan tumbuh-tumbuhan indah yang mereka bawa sendiri dari rumah.

Saat saya tanya untuk apa semua ini, mereka menjawab “Supaya sekolah kitorang menang, Enci!”. Sekolah kami memang tidak menyabet gelar “Sekolah Sehat” itu, namun bagi saya anak-anak ini sudah jadi pemenang, karena keesokan harinya anak-anak kelas lain mengikuti mereka membuat taman di teras kelasnya. Mereka jadi pelopor!

Anak-anak ini juga semakin awas dengan kata-kata dan perbuatan kasar. Jika melihat atau mendengarnya, secara otomatis mereka mengingatkan dan mengadu pada saya. Soniya yang awalnya sulit, setelah saya ajak bicara langsung, beri ketegasan dan perhatian lebih, berbalik jadi penyayang.

Gadis bertubuh tinggi kurus dengan kulit coklat legam ini jadi salah satu yang paling rajin menunggui saya pulang sekolah untuk membawakan barang atau sekadar menemani jalan kaki ke rumah. Ia mengirimi surat-surat berisi pesan manis, mengekspresikan betapa ia sayang pada saya. Prestasinya memang tidak secara signifikan meningkat, namun sikap-sikap yang ia tunjukkan berangsur membaik. Saat saya mengajak anak-anak menuliskan harapannya di kelas baru pada sesi Pohon Harapan Kelas VI, Soniya yang sudah jadi Sie. Kerohanian menuliskan,

“Saya ingin meruba kelakuan yang lalu menjadi baru.”

Di pohon itu, terpampang juga keinginan berubah jadi lebih baik dari anak-anak yang lain. Stepi menulis “Saya mau kelas ini lebih bersih supaya belajar lebih nyaman.” Roy si Juara Kelas menulis “Saya mau kelas ini lebih aman dan patuh.”

***

 

Saya bukan guru terbaik. Anak-anak ini juga tidak lantas jadi rombongan belajar terpintar di sekolah. Tapi sebagaimana yang selalu saya tanamkan pada para awak Kapal SoBeJu, “Sehebat-hebatnya orang, lebih hebat orang yang memiliki akhlak dan sifat baik dalam dirinya, daripada orang yang  pintar tapi tidak baik pada sesamanya.” Proses ini telah membawa, baik saya sebagai pengajar maupun mereka sebagai pelajar, sama-sama belajar jadi lebih baik. Terima kasih, Kapal SoBeJu.

 

(Solan, 29 Juli 2015)

 

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua