KELAPA MATAHARI
Halimatusa'diah 26 Juli 2015Minggu ketiga di penempatan.
Bersama Emilia, anak perempuan dari ibu angkatku, kami berhasil membuat sebuah undangan pertemuan untuk anak-anak di kampung kami, kampung Gunungjulang, Desa Lebaksitu, Kecamatan Lebakgedong, Kabupaten Lebak. Undangan berukuran 3x2cm itu kami hitung berjumlah 56. Di dua pagi yang kami lalaui menulis undangan, Emil begitu bersemangat untuk membagikan kepada teman-temannya. Ya, di Minggu siang, teman-temannya akan berkumpul di teras rumahnya. Pertemuan kecil membuat perpustakaan kecil. Pada malam hari di sela-sela tarawih, kami membagikan undangan kepada anak-anak yang kami temui.
Hari Minggu tiba. Dua karung buku peninggalan PM-PM sebelumnya sudah di teras, beberapa buku tercecer sehabis dibaca. Setengah jam sebelum pukul dua siang, aku dan Emil sudah harap-harap cemas, adakah anak-anak yang akan datang. Sampai pukul dua siang, terkumpul 17 anak, beragam usia, dari anak belum masuk TK sampai kelas dua SMP. Ini, akan menjadi pertemuan yang unik.
Aku, tentu saja sangat senang, memang tak lebih dari setengah undangan yang datang, tapi 17 orang sudah cukup. Aku jadi bersemangat. Emil juga. Kami awali pertemuan dengan memperkenalkan nama dan cita-cita, hampir semua ingin menjadi ustadz atau ustadzah. Ketika tiba giliranku memperkenalkan cita-cita, salah satu anak berkata “Ibu sudah tidak punya cita-cita, kan Ibu sudah jadi guru,” anak yang lain tertawa, saat itu aku ingin menjawab pernyataannya bahwa selama manusia hidup, ia harus terus punya cita-cita, punya mimpi. Tapi aku hanya bisa tersenyum, dan melarut bersama tawa mereka. Suatu saat, di waktu yang tepat, aku harus menyampaikanya.
Dalam lingkaran kecil itu, aku mulai menyampaikan maksudku mengumpulkan mereka. “Kita akan membuat perpustakaan,” kataku saat itu. Anak-anak bertepuk tangan. Iya, sengaja kupakai kata kita, karena mereka yang akan membuat sendiri perpustakaannya, menamainya, menghiasnya, mengurusnya, sampai merapihkan buku-bukunya.
Pepustakaan mereka ini, akan diawali dengan satu semangat yang sama: memberikan nama dan menyerap makna dari nama yang sama-sama disepakati. Dalam rapat kecil ini, aku tidak membeda-bedakan umur anak-anak yang datang, semua anak dilibatkan. Semua anak boleh memberikan pendapat, nama apa yang kira-kira cocok dan mewakili perpustakaan mereka. Tekumpullah beberapa nama yang lucu, dari nama buah-buahan, binatang, sampai benda-benda langit. Ku sebutkan beberapa yang aku ingat: Stroberi, Kelapa, Anggur, Apel, Harimau, Zebra, Pelangi, Bulan, Bintang, Matahari, Gajah, Kelinci, Laut, Mawar, Jambu, Gunung, Macantutul. Semua nama itu bagus, karena satu-satu dari mereka punya arti sendiri di balik nama itu. Namun, harus dipilih satu nama.
Kami bersama-sama menyoret nama yang kira-kira harus dibuang, hingga tersisa dua nama, yakni Kelapa dan Matahari. Lalu kami melakukan voting. Sebelum melakukan voting, aku menyampaikan lagi arti di balik dua kata tadi, arti yang sebelumnya telah disampaikan anak-anak. “Pohon kelapa adalah pohon yang banyak manfaatnya. Dari akar, batang, daun, buah, semuanya ada kegunaaanya. Jadi, kalau nama perpus kita Kelapa, perpus kita akan banyak manfaatnya.” Kataku. Sambil bertepuk tangan anak-anak mulai berbisik banyak hal “Bisa dijieun sapu (bisa dibuat sapu).” “Batokna oge bisa dipake(batoknya juga bisa dipakai).” Mereka bicara macam-macam, tentang kelapa.
Kemudian, giliran arti di balik kata Matahari. Semuanya terdiam, ingin memperhatikan dengan seksama. Matahari adalah nama usulan dari Emilia. Di awal, ketika kutanya mengapa ia mengusulkan nama matahari, ia hanya tersenyum dan bilang dengan pelan “Matahari bagus aja Bu,”. Anak yang lain pun diam. Mencoba kupahami, terkadang kita tidak bisa menjelaskan hal yang kita kagumi. Seperti anak-anak ini pada matahari. Aku pun menjelaskan pada mereka tentang matahari yang besar, yang energinya tak akan habis, matahari sebagai pusat benda-benda langit, karena planet-planet mengelilingi matahari. Mereka terkagum-kagum. “Udah Bu, nama perpusnya Matahari aja.” Kata salah satu anak. Voting pun dilakukan.
Aku, sesungguhnya ingin memakai dua nama ini, lucu juga kan namanya “Perpus Kelapa Matahari”. Namun anak-anak ingin memakai satu saja. Dari hasil voting, Matahari menjadi pemenang. Anak-anak bertepuk tangan, tertawa. Aku gembira. “Jadi, kita sudah punya perpustakaan, namanya Perpus Matahari.” Kataku di hadapan anak-anak. “Nama perpusnya matahari biar cahayanya gak habis-habis ya Bu.” Emilia menimpa. “Harusnya namanya kelapa Bu, kan kelapa banyak manfaatnya.” Susi tiba-tiba membalas kata-kata Emilia. Aku tersenyum saja.
Setelah voting selesai, kami mengeluarkan buku yang ada di dalam karung, kami menyusun buku sesuai kategori, dari buku pelajaran, novel, komik, sampai majalah. Kami menyusun buku-buku di lantai, karena kami belum punya rak buku. Selesai merapihkan buku-buku, kami membentuk pengurus perpustakaan, aku membantu anak-anak membuat jadwal piket untuk perpustakaan. Semuanya berjalan lancar. Di sela-sela merapihkan buku, mereka membaca dan melihat gambar yang menurut mereka menarik. “Bu, ini gambar apa”, “Bu, ini gajah ya”, “Bu, boleh baca dulu”, “Bu, nanti pinjam buku ini ya”, “Bu kalau buku pelajaran di simpan di mana”, begitulah celoteh mereka sambil membereskan tumpukan buku. Pukul empat sore kami sudah memiliki nama untuk perpustakaan, sudah merapihkan buku-buku, sudah ada pengurus perpustakaannya. Ya, Minggu, 5 Juli 2015, Perpus Matahari milik anak-anak Gunungjulang resmi terbentuk.
Senja menggiring anak-anak pulang, karena mereka harus berbuka puasa di rumah masing-masing. Lalu, perasaan yang macam-macam muncul padaku. Di minggu ketiga ini, aku bersama anak-anak sudah membuat perpustakaan, ya, perpustakaan kecil. Aku merasa sangat bersyukur dipertemukan dengan Emilia yang penuh semangat, aku sangat bersyukur dipertemukan dengan 17 anak yang rela menghadiri undangan kecil yang aku dan Emilia buat. Ini baru minggu ketiga, bagaimana setahun ke depan?
Terimakasih anak-anak, telah memberi kesan pertama yang manis, yang penuh semangat.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda