Perihal Janji dan Bintang Malam Ini

FransMateus Julianson Situmor 9 Juli 2015

Mataku menatap layar yang kosong entah sedari kapan. Satu per satu huruf kuketik hanya untuk kuhapus kembali. Terlalu banyak hal yang ingin kutulis. Tumpah ruah. Dan berlari-larian di dalam kepala. Tiga minggu lamanya aku sudah berada di Pulau Rote, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur. Dan beragam kisah berjalin dengan pertanyaan hari demi hari.

Aku hadir di sini karena sebuah janji. Demikian kalimat itu sering dikumandangkan di hampir setiap kesempatan. Terpilih dari sekian puluh ribu masyarakat yang juga hendak melunasi janji. Kadang kupikir aneh: mengapa untuk melunasi janji pun kita harus dipilih? Jadilah diriku Pelunas Janji dari Para Pelunas Janji. Entahlah. Mungkin agar genaplah nats yang berkata: sebab banyak yang terpanggil, namun sedikit yang terpilih. Senyumku tersungging. Tak semua pertanyaan harus dijawab sepertinya.

Aku hadir di sini berbekal sebuah hormat dan ciuman mesra yang kuberikan pada Sang Pusaka. Setelah sebelumnya mulutku menyanyikan dengan tegas lagu Indonesia Raya. Entah kapan aku terakhir kali menyanyikan lagu itu dengan khusyuk. Ditambah ciuman pula. Mungkin itu yang pertama. Cukupkah modal itu untuk mengawaliku melunasi janji?

Aku hadir di sini disambut debur ombak dan desir angin di tengah hamparan rumput di padang. Hewan-hewan ternak tak luput bersahutan ketika aku membelah jalanan. Orang-orang hangat menyapa. Pepohonan melambai beriringan dan awan ramai berlari, seakan ingin menontonku menepati janji. Seketika perjalananku menjadi sebuah lakon.

Di antara semua itu, yang paling menyejukkan hati adalah tawa lepas anak-anak kecil di tepian pantai. Mereka bernyanyian lantang sembari membuat bebunyian dengan tangannya ataupun dengan kerang-kerang yang acak tertata. Gerak konyol mereka pula yang menghantarkan mentari pulang ke peraduannya. Menjadikan sosok mereka layaknya siluet wayang cilik yang dipeluk langit penuh semburat warna-warni. Syukurlah, tawa mereka menjadi jeda di awal lakonku.

Jika lakonku adalah perihal menepati janji, maka dia tak akan pernah menarik. Karena sesungguhnya janji adalah kesepakatan: untuk saling tunggu. Atau jadi alasan untuk berlaku apapun dan sebaliknya. Lakonku pada akhirnya hanya akan menjadi parade pembuktian kepada leluhur. Dan dalam perenunganku, frasa “menepati janji kemerdekaan” semakin membuat tanggung jawab itu semakin tak menyenangkan, pun menyusahkan.

Lalu aku melihat bintang dan kembali tertawa.

Mungkin keberadaanku di sini bukanlah soal janji. Perihal mencerdaskan kehidupan bangsa kurasa bukanlah sebuah komitmen yang kita sematkan di dada untuk kelak dapat kita pertontonkan kepada khalayak ramai. Bukan pula sebuah ikatan yang kita jalin di saat kita baru ditahbis menjadi sang ahli.

Mencerdaskan kehidupan bangsa bukanlah janji. Itu adalah hakekat.

Adalah tujuan hidup. Adalah denyut nadi dan hembusan nafas. Adalah makna yang menggenapi keberadaan setiap warga negara yang hidupnya telah ditebus darah pendahulu. Maka seharusnya kita pun tak perlu lagi bertanya, hendak melakukannya atau tidak. Apalagi merasa terbeban. Karena seperti daging dan tulang, tujuan itu menyatu dan tak terpisahkan dari kehadiran kita.

Sama seperti hakekat cahaya gemintang malam ini yang terus bersinar, menempuh jutaan tahun cahaya agar dapat menyapa retina-retina mungil di sudut selatan Indonesia ini. Demikian pula hakekat kita adalah untuk terus mencerdaskan kehidupan bangsa. Di mana pun kita berada. Sampai badan dikandung tanah. Sebaik-baiknya.

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua