Pak Pos dan Guru Si Pengembara

FransMateus Julianson Situmor 23 September 2015

Kakinya mengayuh sepeda. Mendaki gunung, melewati lembah, seperti dalam film ninja. Sementara butiran garam mengalir deras di lehernya. Nafasnya mengepul dan jadilah sebuah cerita: Pak Pos Si Pengembara.

Mengirimkan surat dan paket kemana pun tujuan, tanpa gentar. Terjang segala medan tanpa banyak tanya. Melacak alamat yang tak lengkap sementara hari hampir gelap. Pesan yang disampaikan juga harus dijaga dengan segenap jiwa dan raga, karena kalau hilang atau rusak, maka bisa-bisa besok kau tak lagi dipercaya. Pak Pos adalah penghubung, dan dengan demikian bagi kita, para makhluk sosial yang tak bisa hidup terisolasi maka Pak Pos adalah penyelamat. Dia adalah jembatan bagi sebuah jarak yang meresahkan.

Meskipun selalu dibuai dengan kisah klasik perjuangan Pak Pos (maklum, bapak dan kakek saya adalah Pak Pos tulen) sejujurnya saya tak pernah benar-benar tertarik dengan Pak Pos. Apalagi bercita-cita menjadi Pak Pos. Tambah lagi saya bukanlah orang yang cukup rajin berkirim surat. Namun kini ketika berada di titik (hampir) paling selatan Indonesia, tanpa disadari saya telah bertransformasi menjadi Pak Pos.

Menjadi guru bantu di salah satu daerah terluar di Indonesia mengingatkan saya kembali pada cerita klasik Pak Pos yang bapak sering kisahkan. Ya, menjadi guru rasanya tak ubahnya Pak Pos yang mengantarkan pesan dari satu tempat ke tempat lain. Namun bedanya, seorang guru tak mengantarkan surat. Seorang guru mengantarkan benih keingintahuan; dari satu generasi ke generasi yang lain.

Jika Pak Pos harus melewati gunung batu dan lembah berpasir untuk menyampaikan sebuah surat maka seorang guru juga harus memahami karakter anak agar dapat menanam benih keingintahuan dengan baik. Karena memang seorang guru tak memberikan ilmu jadi kepada seorang anak, melainkan sebuah benih yang kemudian dapat tumbuh sesuai pemahaman sang anak, mengarahkan anak untuk kemudian mencari sendiri ilmu yang dia butuhkan. Perbedaan saluran belajar, minat dan bakat setiap anak menjadi ‘gunung batu’ dan ‘lembah pasir’ yang harus ditaklukkan.

Sebuah surat, kemanapun tujuannya, harus sampai dengan selamat ke tangan yang menantinya, begitulah paham Pak Pos yang baik. Seorang guru, juga sebaiknya begitu. Energi anak yang meluap deras di kelas tentunya tak pantas jadi alasan untuk menyerah dan lantas melabeli sang anak dengan kata nakal atau bodoh. Keberanian anak untuk menolak perintah juga tak otomatis menjadikan anak tersebut sebagai pembangkang yang harus dikebiri mentalnya. Ketidakmampuan anak untuk menikmati ilmu pengetahuan tentunya bukan melulu kesalahan sang anak, sebab mungkinkah penerima surat disalahkan jika sebuah surat tidak sampai tujuan?

Pelik memang tapi senandung pujian kepada guru diciptakan karena memang tanggung jawabnya besar. Dia adalah prajurit dalam perang panjang yang tak kelihatan. Dia adalah yang digugu dan ditiru. Karena sebagaimana Pak Pos adalah penghubung antar mereka yang saling merindu, maka guru adalah penghubung dari dua generasi yang juga saling merindu, berbagi estafet untuk membangun sebuah peradaban.

Maka, marilah kita tanya pada rumput yang bergoyang: sudahkah kita menjadi sebaik-baiknya guru?

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua