Tenun Kebangsaan Ini

Fini Rayi Arifiyani 24 November 2012

 

Pagi ini, waktu jam kosong diisi dengan membaca surat sahabat dari anak-anak Pengajar Muda di Lebak (Wahyu Nur Hidayat) dan Bawean (Wahyu Setioko). Dari surat anak-anak itu, untaian kata-katanya terasa, seperti ada tenun yang hendak membentuk indah. Kumenyelami surat-surat itu lebih dalam dengan membayangkan pertemuan mereka di masa depan, pertemuan yang berawal dari sepucuk surat.

 

Sepucuk surat ini terasa istimewa karena dilakukan dengan sederhana, sesederhana kegiatan tenun itu sendiri. Saat banyak orang saling mengirim kabar atau menjalin pertemanan lewat kecanggihan teknologi (telepon, sms, bbm, whatsapp, facebook, twitter, dan sejenisnya), tenun ini dilakukan dengan saling berkirim surat lewat pos. Sederhana, bukan?

 

Aku jadi ingat dengan suatu cerpen yang sangat berkesan. Cerpen itu mengangkat cerita tentang seorang pak Pos yang dari hari ke hari semakin sedikit mendapat pekerjaan. Mengapa demikian? Banyak orang yang sudah jarang mengirim kabar lewat kecanggihan teknologi sehingga jarang orang yang berkirim surat. Karena ingin tetap melihat pak Pos, tokoh utama dalam cerpen itu selalu mengirim surat untuk saudaranya.

 

Dengan adanya tenun kebanggsaan ini, kumerasakan kembali keberadaan pos, menikmati kegiatan surat-menyurat ini. Saat menuliskan alamat yang dituju, terasa tenunan itu. Kami di Sumatra, mengirim surat ke seberang pulau. Ada Jawa untuk Lebak. Ada pulau Bawean untuk Bawean. Ada Irian Jaya untuk Fak-fak. Ada kepulauan Sangihe untuk Sangihe. Indah dan ada kebahagiaan yang terasa ganjil, namun yang pasti... kebahagiaan itu menjadi sederhana saja.


Cerita Lainnya

Lihat Semua