Ketika Hujan di Senin Pagi

Fini Rayi Arifiyani 1 Desember 2012

 

Hujan mengguyur deras-deras desa ini sejak senja, tepat ketika aku balik dari kota. Hingga pagi, hujan masih setia menemani setidaknya mulai berambat pergi sekitar pukul enam. Sekolah punya kesepakatan jika hujan turun hingga pukul 9, sekolah diliburkan. Berhubung hujan mulai reda  sekitar pukul enam dan benar-benar berhenti saat pukul tujuh, aku berangkat ke sekolah.Dua anak di depan rumahku, tidak sekolah. Anak dari tetangga samping rumahku tidak terlihat. Hanya terlihat anak yang rumahnya hanya berselang satu rumah denganku. Dia duduk di depan rumah.

“Gung, ngga sekolah?”

“Ngga, Bu. Ngga ada yang pergi.”

“Elda sekolah, yang lain juga sekolah. Katanya mau jadi presiden.”

Seketika, dia beranjak diiringi suara ibunya yang juga menyuruhkan sekolah. Aku bangga kepadanya, kebanggaan ini menjadi nyata ketika aku melihatnya di sekolah.

 

Benar juga pertanyaan Agung. Sesampainya di jerambah sekolah, tidak terlihat satu pun anak, kecuali Sela dan Lipa yang berangkat bersamaku—lebih tepatnya, aku menumpang ketek mereka. Ketika menumpang, Lipa berujar riang dengan bapaknya, “Ini bu guru kami.” Aku tersenyum dan mengangguk.

 

Kususuri kelas per kelas, tidak ada orang. Kedua siswaku itu mengikutiku. Jika memang sedikit siswanya, kelas disatukan saja, begitu pikirku.

 

“Kita bersihkan kelas 3 saja. Kelasnya disatukan.” Akhirnya pikiran itu jadi keputusan. Kami bertiga membersihkan kelas. Saat itulah, muncul satu per satu anak di muka pintu. Senyumku mengembang dan terus mengembang ketika bertambah banyak dan guru bermunculan.

 

Senin itu, aku belajar semangat itu harus ada yang memulai dan menular. Seperti api yang dipercikan ke jerambi, membakar satu sisi kemudian menjalar ke sisi lain. 

 

Senin, 4 November 2012


Cerita Lainnya

Lihat Semua