Filosofi Rumah Aceh

Fini Rayi Arifiyani 30 Juni 2012

Mobil melaju ke bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, senja senyap-senyap merangkak. Kecepatan mobil berkejaran dengan waktu pemberangkatan Pengajar Muda II Muba dan Munim ke Jakarta. Meski mobil terus berpacu, suasana dalam mobil terbilang tenang. Penghuni mobil asyik bercakap-cakap.

 

Percakapan campur-aduk terjadi hingga percakapan menghampiri tema tentang adaptasi. Salah satu Pengajar Muda II berbagi pengalaman.

"Saya seperti ini bukan langsung seperti ini. Butuh proses. Saya belajar dari filosofi rumah Aceh."

"Rumah Aceh?" tanya salah satu Pengajar Muda IV.

"Bentuk rumah Aceh seperti ini," dia menjelaskan sambil tangannya membentuk tangga di rumah Aceh. Lanjutnya, "Pintunya pendek sehingga kita harus menunduk. Begitu masuk rumah, terasa lowong."

 

Ketika adaptasi atau memasuki dunia baru, kita harus rendah hati untuk dapat diterima. Sama halnya dengan rumah Aceh itu. Kita mulai kenalan dengan rendah hati, kerendahan hati itulah yang mengantarkan kita untuk diterima. Ah.. rasanya sangat tepat filosofi rumah Aceh itu! 

 

Bersama laju mobil yang semakin merapat ke bandara, terangguk kepala sebagai tanda mengiyakan, menyelami, mengingat, dan menginternalisasikan filosofi rumah Aceh.


Cerita Lainnya

Lihat Semua