Kanvas putih petualanganku, desa Bungan Jaya

Fardhady Himawan Kusumo Hanggara 30 Juni 2012

"Mereka suka makan orang lho..." canda seorang teman padaku saat saya ceritakan bahwa saya akan ditempatkan di kapuas hulu yang notabene saya akan hidup dengan orang dayak disana.

Beragam rasa bercampur aduk dalam benakku saat itu. Apalagi saat pelatihan hingga deploy, saya belum dapat menghubungi mas Jairi Irawan PM 2 yang akan kuteruskan perjuangannya. Jadi hingga kemarin sebelum deploy saya belum mendapatkan gambaran sedikitpun tentang daerah penempatan. Hingga akhirnya saya sendiri datang kesana tanpa pengantar kata-kata gambaran.

“pak, ini kenalin pengganti saya nanti” kata mas jairi mengenalkanku pada salah satu warga desa Bungan yang berada di kota putussibau semalam sebelum kami berangkat.

“wah ini pak guru yang baru” disambut hangat oleh seorang warga yang saya lupa siapa namanya. Beliau tersenyum ditengah badannya yang hitam besar dan dipenuhi tato di tubuhnya.

Sesaat sebelum berangkat menggunakan sampan, melangkahlah saya ke lanting, tempat persinggahan sekaligus tempat beberapa warga “memarkir” kapalnya. Hingga kemudian kami berangkat menuju desa dengan beberapa barang yang kami bawa.

Kapal melaju lambat tapi pasti, 90 km memang dekat jika ditempuh lewat jalur darat. Namun lain dikata jika diatas arus air yang bergerak berlawanan dengan arah sampan. Dalam laju sampan yang tenang, kami disuguhi keindahan alam yang menghiasi sungai kapuas, burung-burung beterbangan hingga sambutan cahaya matahari yang tanpa ampun memayungi perjalanan kami. Pengalaman yang sungguh memanjakan mata namun tidak dengan kulit ditangan yang harus sering dibasuh dengan air sungai. Kuambil SLRku, sesekali kujeprat-jepretkan kameraku untuk mengambil momen spesial itu.

"Dakk!!" suara keras dasar kapal bertabrakan dengan batu sungai di bawah air. Pak Agus yang mengendalikan sampan kamipun dengan sigap menarik mesin sampan agar tak menabrak baru sungai itu. Ya, ditengah musim kemarau ini air sungai kapuas memang dalam kondisi surut sehingga tak heran jika pengemudi kapal harus sangat hati-hati menghindar dari batu-batu sungai dan kayu pepohonan yang terbaring disepanjang sungai.

"Subhanallah" perjalanan yang sangat mengesankan, sibuk saya melihat pemandangan dan juga kerap membasuh muka dan tangan. Di depan kami sudah menunggu gugusan "riam" (jeram).  Benar-benar menakjubkan melihat arum jeram langsung, maklumlah belum pernah melihat langsung. Terlebih melewatinya dengan sebuah sampan bukan menggunakan perahu karet seperti di raum jeram pada umumnya. "Subhanallah", kata yang sering kuucapkan dalam hati melihat betapa pengalamanku hari ini mengarungi sungai begitu menakjubkan. Serasa terik sang kala sudah tertutupi oleh pemandangan yang disuguhi sang pencipta kepadaku hari ini.

"Subhanallah"

Setelah hampir 9 jam diatas sampan, akhirnya saya sampai juga di desa tempat saya akan mengukir pengalaman dengan serpihan emas dalam kanvas hidupku. Desa yang sungguh indah, desa yang memang terbagi menjadi dua belah yang terpisah ini dihubungkan oleh sebuah jembatan gantung yang sangat panjang memotong udara kapuas.

"eh, pak guru mudik!!" sambut anak melihat mas Jairi. Kira-kira ada 8 orang anak yang sedang bermain disungai, lalu mereka menghampiri kami dan tanpa disuruh membantu membawa barang bawaan kami satu persatu. Saya takjub melihat hal itu, tampak wajah anak-anak dihiasi rasa riang dan rindu akan guru mereka yang kemarin "hilir" untuk beberapa saat di kota.

Setelah menaiki bukit kecil dari tempat kami mendaratkan sampan kami, akhirnya kami sampai di desa ini, desa Bungan Jaya. Ternyata hanya menaiki bukit kecil ini membawa tas carrier saya juga melelahkan ya, namun saya melihat kaki-kaki kecil anak-anak itu tak menampakkan rasa lelahnya. Tak terasa saya menggeleng-gelengkan kepala tanda kekaguman saya kepada mereka.

Suasana desa saat itu memang sepi, karena banyak warga yang pergi mendulang emas diluar dan membawa serta anak-anaknya. Sebelum masuk ke rumah dinas guru, saya melihat beberapa anak berlari keluar dari rumah dinas dengan membawa jirigen dan botol-botol. beberapa saat kemudianmereka datang dengan jirigen dan botol yang terisi dengan air.

"itu air apa?" tanyaku ke mas Jairi

"air dari mata air di sana" sambil menunjuk sungai kecil

Ya, saya disini di desa penuh dengan lukisan dalam kanvas sang khalik. Di depanku mengalir sungai kapuas yang sangat jernih airnya. Barisan pegunungan yang sarat akan alveolus dunia terhampar disekitar saya berdiri. Serpihan-serpihan emas yang setiap hari saya injak. Ditengah-tengah salah satu suku kebanggaan keberagaman bangsa, suku Dayak Punan. Orang-orang yang selalu menyapaku dengan kata "pak guru". Disinilah kanvas baruku, kanvas penting yang akan kuukir dengan serpihan serbuk emas. Yang akan menjadi salah satu lukisan yang akan selalu kupajang di dinding kehidupanku. Kanvas yang hanya bisa kuukir dalam waktu setahun, setahun kehormatan yang Insyaallah tak akan kulupakan. Di sini, di desa Bungan Jaya.

"ini bukanlah sebuah pengorbanan, namun ini adalah sebuah kehormatan" Abah Iwan Abdulrahman


Cerita Lainnya

Lihat Semua