info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Kisah Haru Penyambutan Pak Guru Baru

Arif Lukman Hakim 30 Juni 2012

Hari ini adalah hari yang tak akan terlupakan. Tepat setahun yang lalu aku ada di bandara satu-satunya di Kabupaten Fakfak ini, pertama kali menginjakkan kaki di bumi cendrawasih. Setahun telah terlewati dengan kisah-kisah hebat bersama anak-anak dan masyarakat Tarak, Distrik Karas, Fakfak, Papua Barat. Kini tiba saatnya sang penerus datang, untuk melanjutkan misi mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kulihat satu persatu delapan anak muda yang berani menggadaikan kenyamanannya, demi merajut tenun kebangsaan mengabdi menjadi guru di ujung timur republik tercinta. “Nama saya Arif, kulit saya hitam.”, kata-kata pertama yang kulontarkan ke anak-anak muda hebat di depanku. Sontak semua tersenyum dan bersalaman denganku.

“Maman!”, seru seorang pemuda bertopi koboi sepertiku. “Oh, kau ini yang berani menerima tantangan ombak ke Tarak?”, tanyaku sambil dan tersenyum menyalaminya.

Selang dua hari kemudian, akhirnya agenda yang telah dijadwalkan untuk lepas sambut dengan Bupati, Dinas Pendidikan, dan perwakilan stakeholder di tingkat kabupaten dilaksanakan. Pak Bupati terlihat antusias menghadiri acara ini.

Kami, pengajar muda yang telah lebih dulu datang setahun yang lalu berpamitan. Kemudian delapan pengajar muda penerus mulai berkenalan. Acara lepas sambut yang sederhana namun penuh makna akhirnya diisi dengan presentasi kegiatan kemudian pemberian cinderamata dari dan ke pengajar muda.

“Mas, besok berangkat jam berapa?”, tanya Maman kepadaku.

“Kita lihat kondisi cuaca, kalau oke ya besok kita menyeberang. Kalau ombak sedang besar berarti kita tunda.”, jawabku.

“woy… di sms tidak dibalas, ditelpon tidak diangkat, ternyata betul, masih tidur!”, seru Maman membangunkanku.

“Bagaimana? Sudah siap?”, aku menanyainya.

Setelah berkemas dan memasukkan semua barang ke dalam tas. Kami menuju Pasar Tumburuni, pusat perekonomian Fakfak yang juga dijadikan tempat berkumpulnya moda transportasi darat dan laut ke seluruh penjuru kota pala ini.

Om Husen si driver longboat (perahu) sangat sigap menata barang-barang bawaan kemudian menutupnya dengan terpal agar telindung dari ombak.

Perjalanan menembus Laut Seram akhirnya dimulai. Kulihat cuaca di atas laut cukup mendung. Aku mulai cemas. Jangan sampai angin tiba-tiba datang lalu meniup ombak yang berlebihan. Ini perjalanan pertama Maman, aku berharap menjadi perjalanan yang menyenangkan.

Kulihat Maman sangat tangguh, dia bahkan menikmati setiap ombak yang kita lintasi. Badannya sudah basah kuyup terkena cipratan ombak dan tersiram gerimis.

Pulau Semai sudah terlintasi, artinya separuh perjalanan sudah terlewati. Namun masih ada dua tanjung yang harus kita lalui. Tanjung Kirana dan Tanjung Pamali sudah muncul dihadapan kita, dan kulihat cuaca semakin membaik, tidak ada mendung, dan laut tak begitu bergejolak.

Di Tanjung Pamali Om Husen mulai menghibur Maman dengan memainkan kemudi perahu menelusuri pulau-pulau kecil. Maman kelihatan semakin antusias. Sesekali dia berteriak riang menikmati surga di Papua Barat ini.

Sore telah menjelang, senja mulai temaram sejenak akan bersemayam. Rombongan akhirnya singgah sebentar di pantai Fatar. Fatar, dengan gradasi warna laut dari biru tua, hijau, kemudian putih yang sekaligus menyambung dengan pasir seputih tepung kami pijaki.

 

Pantai Fatar, Tarak, Fakfak, Papua Barat

 

“Man, mau tidak mau kita harus menunda perjalanan. Ombak di laut luar cukup kuat. Kita cari pulau atau pantai kosong untuk beristirahat.”, aku menantang keberanian Maman.

“Memangnya masih jauh ya mas?”, Maman penasaran.

“Masih satu hari satu malam lagi. Yang penting selamat Man, biarpun perjalanan harus ditempuh dua hari.”, kataku meyakinkan Maman.

Akhirnya kita masuk di Pulau Nusa Teri, di sebuah rumah papan yang biasanya dipakai warga untuk berteduh saat musim teripang.

Kedatangan kita langsung disambut warga yang sedang mengurus teripang. Saling bercerita sambil minum kopi di bawah cahaya pelita membuat kehangatan tersendiri di tengah alam Papua yang sedang tersenyum di malam hari.

 

Gugusan Pulau Nusa Teri, Tarak, tempat persinggahan kita

 

Pagi harinya, kami melanjutkan perjalanan. Ombak sudah menghadang di depan perahu. Namun Om Husen tetap melaju menuntun haluan menuju pulau Tarak.

“Itu pulaumu, setahun ke depan akan menjadi rumahmu.”, aku menunjuk ke Pulau Tarak yang kian dekat.

“Kok dekat mas? Katanya masih satu hari perjalanan lagi?”, Maman curiga.

“Iya, kita sengaja mau “ngerjain” kamu Man. Hahahaaaaee”, aku tertawa lepas.

Tepat di depan pulau, sebuah perahu yang dihias janur tiba-tiba melaju kencang, berputar-putar mengelilingi perahu kami. Kulihat semua warga sudah berkumpul di dermaga. Lamat-lamat kudengar suara tifa hadrat, ah ya! Itu dia, tari sawat sudah dipersiapkan oleh bapak-bapak dan ibu-ibu menyambut kedatangan pak guru baru.

 

Masyarakat berkumpul di dermaga

Kami turun dari perahu. Masyarakat sudah terfokus pada aku dan Maman yang baru sampai. Kepala Kampung Tarak secara sigap menerima Maman sebagai anak negeri. Rombongan dikawal oleh tarian sawat menuju gerbang kampung. Tepat di bawah tulisan “Selamat datang di Kampung Tarak, wang ita nena” Bapak imam sudah menghadang. Maman disuruh berjongkok, kemudian Bapak imam mengusap pasir di dahi Maman. Ritual adat ini dilakukan agar Maman mendapatkan kemudahan dan kelancaran selama bertugas di pulau ini.

Kemudian barikade anak-anak SDN Tarak menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya yang juga diikuti oleh seluruh warga yang ada. Suasana menjadi hidmat. Dadaku menderu. Menyaksikan seluruh komponen masyarakat dan anak-anak berseru.

 

Maman bersama anak-anak dan masyarakat menyanyikan Indonesia Raya

Rombongan kemudian kembali berjalan. Tepat di pertigaan jalan setapak, sudah ada pasukan anak-anak sangat hitam, diikat tali merah di kepala, dan membawa parang di tangan.

Salah satu tokoh masyarakat menyerahkan dua parang, satu untukku, dan satu untuk Maman. “Man, ini tarian adat di sini. Mau tidak mau, kita harus ikut menari!”, seruku.

Aku dan Maman masuk ke dalam barisan anak-anak. Suara tifa sudah dipukul. Kaki mulai diayun. Mataku sudah tak bisa melihat manusia di sekitarku. Aku larut ke dalam suara tifa dan nyanyian tarian adat dari pulau kecil di Papua Barat.

 

Aku dan Maman ikut menari tarian adat

Waaaahhh wooooooooooooohhh

Waaaahhh wooooooooooooohhh

Aku mengayunkan parang, beradu dengan parang Maman, sekuatnya.

Dua kali tebas, parangku patah.

Aku melanjutkan menari tari perang di jaman nenek moyang ini tanpa menggunakan parang.

Tiba-tiba seorang tokoh masyarakat memberiku sebuah parang cadangan.

Kemudian pasukan tari noinoi ini melanjutkan tariannya.

Si Moksen dan Arifin memimpin gerakan memutar. Anak-anak mengawal kami, berlari sambil tetap berteriak menuju rumah Kepala Kampung.

Tepat di depan rumah kepala kampung rombongan berhenti, tarian selesai. Aku langsung menyalami dan memeluk anak-anak hebatku. Mereka luar biasa! Betul-betul mempersiapkan penyambutan pak guru barunya dengan penuh semangat.

 

Anak-anak hebat SDN Tarak, Fakfak, Papua Barat

 

Kepala Kampung kemudian mengajak Maman dan rombongan ke sekolah.

“Ini medan juangmu Man, jaga anak-anak hebat ini baik-baik ya.”, aku kembali berseru.

Rombongan akhirnya kembali ke rumah kepala kampung, rumahku, rumah Maman. Maman langsung digandeng menuju ke belakang rumah. Di dapur, Maman di suruh meminum air kemudian membalik kayu bakar ke tungku. Tujuannya agar Maman lebih cepat berbahasa daerah.

Semua masyarakat berkumpul di ruang tamu. Sambil menikmati hidangan yang sudah disediakan, Maman berkenalan dengan tokoh-tokoh masyarakat.

“Bapak dan ibu, serta anak-anak hebat SDN Tarak, terima kasih banyak atas kerjasama yang luar biasa sehingga prosesi penyambutan pak guru Maman sangat sukses!”, aku menutup obrolan.

 

Kepala Kampung Tarak, Maman, dan seluruh masyarakat penuh suka cita

______________________

Juni 2012. Di Pulau Tarak, Fakfak, Papua Barat


Cerita Lainnya

Lihat Semua