Berwisata ke Bukit Tlatap

Febri Hermawan 2 Oktober 2015

Minggu, 20 September 2015

 

“Pak Febri, pergi ke Bukit Tlatap boh!” ajak Sahdiah, salah seorang murid kelas V.

Boh. Bila?” tanyaku antusias.

“Lusa,” jawabnya singkat.

Saya pun menganggukkan kepala sebagai tanda setuju.

“Kelas V dan VI magang, Pak! Pinta Deri.

Auk meh.”

Tanpa saya yang harus menginformasikan kepada anak-anak yang lainnya bahwa lusa, 22 September 2015, kami akan berwisata ke Bukit Tlatap, anak-anak kelas V dan VI sudah tahu akan rencana ini. Informasi cepat tersebar. Maklum saja, Desa Semalah, desa tempat saya tinggal, tidak terlalu luas. Tempat tinggalnya pun saling berdekatan, memanjang di tepian Sungai Batang Leboyan.

Sekadar informasi bahwa mulai tanggal 16 September s.d 27 September di seluruh Kabupaten Kapuas Hulu libur darurat karena kabut asap yang menyelimuti langit “Bumi Uncak Kapuas”. Desa tempat saya tinggal pun berkabut asap, tapi masih dalam level aman. Bepergian keluar rumah pun tidak jadi masalah.

Saat libur panjang seperti ini, saya tak mau menyia-nyiakan waktu. Anak-anak kelas besar tetap saya berikan materi pelajaran di rumah orang tua angkat saya. Kadang kala saya juga mengajak anak-anak untuk keluar rumah. Belajar sambil bermain. Kali ini saya akan mengajak anak-anak untuk berwisata ke Bukit Tlatap.

Bukit Tlatap berada sekitar 5 km dari Desa Semalah. Di Bukit Tlatap terdapat sebuah dusun bernama Dusun Sui Pelaik. Di sana terdapat rumah panjang yang didiami oleh orang-orang Dayak Iban. Saat musim kemarau seperti sekarang ini, untuk mencapai daerah tersebut dari desa saya, harus menggunakan perahu, jalan kaki, naik perahu lagi, lalu berjalan kaki lagi. Waktu yang dibutuhkan sekitar 1,5-2 jam.

Di Dusun Sui Pelaik, tinggallah anak-anak didik saya yang bersekolah di SDN 12 Semalah. Setiap harinya mereka harus menempuh perjalanan yang cukup panjang dengan medan yang cukup berat.

 

Selasa, 22 September 2015

Hari ini adalah waktunya saya dan 15 anak kelas V serta kelas VI untuk berwisata ke Bukit Tlatap. Perlu diketahui bahwa sebagian besar anak-anak yang saya ajak belum pernah mengunjungi daerah tersebut.

Perjalanan dimulai pukul 09.30 WIB menggunakan tempil dengan PK 3,3, menuju ke Dusun Tlatap, sekitar 15 menit. Singgah sebentar, lalu melanjutkan perjalanan kaki menyusuri hutan di tepian danau yang mengering.

Di sinilah anak-anak merasakan betapa susahnya perjuangan anak-anak Dusun Sui Pelaik untuk menuju dan pulang sekolah.

“Pak, masih jauh ya?” tanya Ryan.

“Masih. Blubah.” Jawabku.

“Istirahat dulu Pak! pinta Romi.

Aku pun mengajak anak-anak untuk istirahat setegal, duduk di “kursi semipermanen” yang terbuat dari ranting pohon. Tempat duduk tersebut sengaja dibuat untuk tempat istirahat.

Kami pun melanjutkan perjalanan. Kali ini kami menemui danau! Tandanya kami harus mendayung perahu sampai ke daratan di seberang. Kemudian berjalan kaki lagi sampai ke Dusun Sungai Pelaik.

Sampai di sana, anak-anak pun mengamati hal-hal baru yang mereka temui. Banyak hal berbeda tentunya karena desa tempat mereka tinggal adalah daerah Melayu. Tidak ada rumah betang, tidak ada anjing berkeliaran, dan tidak ada yang membuaat kain tenun seperti di Dusun Sui Pelaik.

Satu lagi pembelajaran langsung yang diperoleh anak-anak. Bahwa satu tempat dengan tempat lainnya mempunyai ragam budaya masing-masing, sekalipun itu berdekatan. Dengan berwisata seperti ini, mereka jadi lebih tahu secara konkrit tentang perbedaan budaya.

Dan setelah 1,5 jam bermain bersama, mandi di sungai, dan memetik buah jambu biji, kami pun bergegas pulang sebelum sore datang. Anak-anak mungkin lelah secara fisik, tapi mereka bahagia karena bersama-sama dengan teman-temannya berwisata sembari mengunjungi tempat tinggal teman sekolahnya.

Di tengah perjalanan, ada saja tingkah laku anak-anak yang mengundang perhatian.

“Pak. Setegal bah. Ikannya banyak.” Ucap Akbar dari kejauhan.

Akbar memang berjalan di depan saya. Dia berjalan lebih cepat. Rupanya dia mau menangkap ikan di anak sungai yang mengalir ke danau. Saat satu ekor ia peroleh, teman-teman yang lainnya pun  ikut-ikutan menangkap ikan. Alhasil, perjalanan kami pun terhenti sejenak.

Nanak malam, bakar ikan boh, Pak!” pinta Tiara.

“Boleh,” jawabku.

Setelah kurang lebih 25 ekor ikan didapat, kami pun melanjutkan perjalanan pulang. Tak terasa, sudah pukul 04.00 sore ketika aku melihat jam. Perjalanan kali ini mengajarkanku, pun bagi anak-anak, bahwa pendidikan itu mahal harganya. Apa jadinya jika saya adalah anak-anak Dusun Sungai Pelaik yang bersekolah di tempat lain dengan jarak tempuh dan medan yang menantang.

 

***

 

boh = ayo

bila = kapan

magang = saja

auk meh = iya lah

blubah = santai

setegal = sebentar

bah = ya

tempil = perahu kayu

nanak = nanti


Cerita Lainnya

Lihat Semua