Seorang Foni

Febe Amelia Haryanto 17 Juli 2014

Sebenarnya aku belum pernah membaca habis buku "Indonesia Mengajar 1". Waktu itu aku juga belum membayangkan kalau suatu hari nanti aku akan benar-benar mendapat kesempatan menjadi seorang Pengajar Muda seperti sekarang dan ditugaskan di Kepulauan Tanimbar, Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB). Aku hanya membaca beberapa cerita yang menurutku menarik.

Baru setelah aku menginjakkan kaki di MTB, aku mulai membaca satu per satu kisah dalam buku itu, termasuk tulisan Disa, panggilan akrab Diastri Satriantini Pengajar Muda angkatan kedua yang pertama kali ditempatkan di Lumasebu, desa tempatku bertugas. Tulisannya, Miracle Does Happen, meninggalkan kesan yang dalam buatku. Aku lalu langsung mencari-cari mana anak yang bernama Foni, gadis yang diceritakan Disa berhasil lolos ke Jakarta untuk mengikuti Konferensi Anak Indonesia yang diselenggarakan Majalah Bobo tahun 2011 silam.

Sama sekali bukan hal yang sulit untuk mencari anak ini, apalagi Lumasebu bukan desa yang besar. Terlebih lagi, Foni pernah pergi ke Jakarta. Keberhasilannya itu dianggap sebagai suatu prestasi yang luar biasa di mata orang-orang satu kampung. Jelas saja, dari hampir 600 orang total penduduk desa yang terdata sejauh ini, hanya sekitar 1% saja yang tercatat pernah menginjakkan kaki di ibukota negara. “Anak itu memang anak paling pintar satu desa ini, Bu.” Itu komentar yang disampaikan orang-orang desa ketika aku menanyakan pendapat mereka tentang Foni.

Buatku, awalnya Foni tergolong pendiam, cukup berbeda dari kebanyakan anak lain yang cenderung aktif mendekatiku. “Ibu! Ibu!” sapa anak-anak dari mulut lorong setiap kali aku berjalan di dalam kampung. Tapi, tiap kali aku bertemu Foni, ia hanya menatapku malu sambil tersenyum simpul lalu beranjak pergi. Aku berpikir, mungkin karena dia mulai memasuki masa puber, dia jadi lebih pemalu. Anak-anak yang biasa mendekatiku memang duduk di bangku SD, walau ada sebagian juga yang masih tergolong balita.

Beberapa kali kucoba menyapanya, tapi suara yang keluar dari mulutnya seperti orang yang tercekat. “Pagi, Bu,” sahutnya pelan jika aku menyapanya.

Tanpa diduga, malam itu dia datang ke rumah. Sambil malu-malu, dia berkata, “Ibu, boleh baca buku?” Aku langsung menganggukkan kepalaku dan menyilakannya masuk, “Iya, tentu boleh! Masuk, masuk!” Bagian ruang tamu rumah tinggalku di desa memang kufungsikan sebagai perpustakaan kecil berisi buku-buku peninggalan para Pengajar Muda yang bertugas mendahuluiku.

Dia lalu mulai membaca beberapa buku. Sementara itu, aku melanjutkan kegiatanku mengajar bahasa Inggris kepada anak-anak kelas VI SD di teras. Sambil membaca, aku bisa mendengar dia berbisik mengikutiku mengeja abjad-abjad dalam bahasa Inggris, “ei bi si di i ef ji...” Fasih sekali. Kekagumanku mulai timbul.

Setelah menyilakan anak-anak muridku pulang, aku lalu membuka percakapan dengannya. Dalam perbincangan santai kami, aku melemparkan pertanyaan yang selalu kutanyakan pada setiap anak yang kujumpai padanya, “Foni, kalau sudah besar ingin jadi apa? Apa Foni sudah punya cita-cita?” Dia malu-malu menjawab, “Pramugari.”

Aku makin kagum. Selama di desa, jawaban yang lazim muncul dari anak-anak muridku hanya seputar guru, bidan, dan tentara. Aku tidak terlalu heran karena memang tiga profesi inilah yang paling akrab dengan hidup mereka. Baru kali ini, aku mendengar jawaban yang berbeda. Walau begitu, aku tidak terlalu heran. Foni mungkin baru satu-satunya anak di Lumasebu yang punya pengalaman terbang dengan burung besi karena prestasinya.

Aku lalu melanjutkan pertanyaanku, “Kenapa ingin jadi pramugari?” Jawaban gadis ini sederhana namun mengena, “Aku ingin mengajak bapa dan mama keliling dunia.”

Keliling dunia. Mungkin baru dia saja yang berani bermimpi seperti itu. Kebanyakan anak di desa bahkan belum berani kuajak bermimpi pergi ke Jawa. Buat anak-anak Lumasebu, Ambon merupakan tempat terjauh yang sepertinya masih realistis untuk mereka citakan.

Sayang, karena kondisi ekonomi keluarga yang kurang, Foni belum bisa mencapai impiannya melanjutkan pendidikannya di kota Saumlaki selepas lulus SD dua tahun lalu. Ia saat ini masih bersekolah di SMPN Satu Atap Lumasebu sebagai siswa kelas VIII. Aku sungguh berharap suatu hari nanti dia bisa melanjutkan sekolahnya di Jawa. Semoga saja.

Catatan: Kecemerlangan Foni dapat dilihat di https://www.youtube.com/watch?v=oOIUbqwwszY


Cerita Lainnya

Lihat Semua