Keluarga Mengajar
Febe Amelia Haryanto 1 Desember 2014Sedari sore, aku bersama guru-guru menghabiskan waktu mencetak seluruh soal ujian akhir semester yang akan diujikan esok hari. Hingga jam makan malam lewat pun, belum seluruh soal selesai dicetak sementara kertas sudah habis. Aku mendadak teringat kepala sekolahku yang beberapa waktu lalu datang ke rumah memberikan setumpuk kertas kosong padaku. Waktu itu, beliau meminta bantuanku mencetak beberapa dokumen sekolah. Aku pun lalu meminta izin meninggalkan sekolah untuk pulang ke rumah mengambil kertas sambil mengisi perut.
Di luar gelap sekali. Kususuri jalan setapak di halaman sekolah dengan mengandalkan terang bulan. Setelah melewati beberapa lorong, untungnya ada 1-2 rumah yang menyalakan lampu sehingga aku terbantu melihat jalan. Sejak mesin listrik desa mengalami gangguan, Lumasebu jadi gelap. Hanya ada segelintir rumah yang memiliki mesin diesel pribadi sebagai pembangkit listrik, termasuk rumah bapak piaraku.
Dalam perjalananku pulang ke rumah, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Suasana jalan di desa malam ini sepertinya lebih lengang dari biasanya. Aku baru sadar, anak-anak tidak lagi berkeliaran di jalan. Tidak ada lagi hingar-bingar suara musik yang biasa terdengar dari jendela-jendela rumah ataupun kerumunan orang-orang desa di beberapa rumah warga yang cukup berada demi mencari hiburan dari suguhan tayangan penuh tipuan mata di televisi.
Semua ini tak lain dan tak bukan adalah buah dari Forum Kemajuan Pendidikan Desa yang diadakan Senin lalu di sekolahku. Forum itu cukup berperan terhadap perubahan besar yang terjadi di Lumasebu, dan aku sungguh sangat mengucap syukur untuk itu. Apa gerangan yang terjadi?
Keluarga Mengajar.
Dalam forum itu, disepakati bahwa setiap keluarga di desa diwajibkan mendampingi anak-anak mereka belajar mulai pukul 19.00-21.00 WIT. Pukul 19.00 WIT tepat, akan ada petugas pemerintah desa yang melakukan tabaus, atau meneriakkan pengumuman secara langsung dalam bahasa daerah, bahwa jam belajar malam sudah dimulai. Tidak ada lagi anak yang boleh bermain di luar rumah.
Akan ada tim survei keliling di tiap unit desa yang akan ronda untuk memeriksa apakah kegiatan belajar malam di tiap rumah berjalan atau tidak. Jika ada keluarga yang merasa kurang mampu mengajari anaknya, sang anak dianjurkan ikut menumpang belajar di keluarga lain. Yang tidak kalah penting, tidak ada TV ataupun alat-alat pengeras suara yang boleh dinyalakan.
Kerja sama yang dilakonkan antara pemerintah, desa, dan gereja yang dikenal di daerah ini dengan istilah “tiga batu tungku” ini sungguh luar biasa. Harapan mereka, program ini tidak sekadar "hangat-hangat tahi ayam". Aku juga berharap demikian. Semoga saja, perlahan tapi pasti, program ini bisa membantu memajukan pendidikan di desaku.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda