Demi Mimpi Foni

Febe Amelia Haryanto 8 April 2015

“Foni, kalau Foni dapat kesempatan sekolah di Jawa, mau ka seng (tidak)?”

Aku tidak langsung mendengar jawaban darinya. Kelihatannya dia sedikit kaget mendengar pertanyaanku karena mungkin menurutnya, itu suatu hal yang mustahil. Atau mungkin, dia menangkap kesan bahwa pertanyaanku mengawang.

Aku kembali mengulang pertanyaanku. “Foni, Ibu cuma tanya saja, Foni mau sekolah di Jawa ka seng? Mau atau tidak?”

Sambil tersenyum kesipuan, ia menjawabku pelan, “Mau, Ibu.”

Jawaban itu cukup untukku. Setidaknya, ia baru saja berani bermimpi untuk bersekolah di Jawa.

Foni adalah salah seorang anak yang kutemui ketika bertugas di desa ini. Aku tidak butuh waktu lama untuk mengenali bakatnya. Dia sangat cerdas, bahkan untuk pelajaran Bahasa Inggris yang sangat asing bagi anak-anak di tempat ini! Ia begitu petah melafalkan berbagai kata maupun kalimat dalam bahasa Inggris. Ibarat karet, lidahnya lentur dan luwes sekali. Aku bisa merasakan dia memiliki kecerdasan natural yang menonjol di bidang linguistik. Keberanian dan kepandaiannya berbicara di depan umum membuatnya sering dipercaya untuk memimpin teman-temannya di lingkungan sekolah. Tidak heran ia dipercaya menjadi ketua OSIS.

Sejak SD, Foni selalu juara kelas sehingga tidak heran jika saat ini SMP tempatnya menimba ilmu memberikannya beasiswa. Ia juga sering diminta mewakili sekolah mengikuti berbagai macam perlombaan maupun kompetisi.

Dibanding dengan anak-anak lain di desa yang masih harus disuruh untuk belajar sepulang sekolah, Foni dengan antusias langsung melahap buku-buku yang ia pinjam dari perpustakaan sekolah atau kembali membuka buku catatannya dan mempelajarinya. Aku bisa melihat dia sangat amat haus dengan pelajaran. Rata-rata sekolah di sini memang tidak memberikan buku pelajaran kepada peserta didik. Peserta hanya memegangnya ketika sedang belajar di sekolah.

Beberapa kali dia datang ke tempatku untuk meminta diajari Bahasa Inggris. Kurasa keinginannya yang kuat untuk menjadi seorang pramugari mendorongnya mempelajari bahasa asing tersebut. Dibandingkan dengan anak-anak lain, perbendaharaan katanya sangat banyak padahal tidak ada satu pun guru Bahasa Inggris di kampung. Satu-satunya yang pernah mengajarinya dulu adalah Sandra, Pengajar Muda yang bertugas 2 tahun lebih dulu dariku.

Beberapa hari sejak percakapanku dengan Foni tempo dulu, aku sangat bergumul. Aku serius memimpikan anak ini dapat melanjutkan sekolah di Jawa. She’s really special, I mean it.

The question is: HOW?

Yeah, at that time I still did not have any idea but I always believe God does. 

Dan, seperti yang Disa tulis tentang Foni dalam blognya empat tahun lalu, MIRACLE DOES HAPPEN.

Hari ini, aku mau menyampaikan bahwa mimpiku itu, yang juga mimpi Foni, nyaris terwujud. Tak berapa lama setelah tulisanku tentang Foni kuluncurkan, aku mendapat telepon dari seseorang di Jawa bahwa ada orang-orang yang tengah bergerak bersama untuk menyekolahkan Foni di Malang. Isn’t is amazing?

Saat ini, sudah delapan bulan kini berlalu sejak telepon itu kuterima. Tidak sedikit tantangan yang kuhadapi selama proses menyiapkan Foni melanjutkan sekolah di tanah Jawa, mulai dari akte kelahirannya yang ternyata belum pernah dibuat, laporan pendidikan dan ijazah SD yang bahkan belum diterima Foni sejak dua tahun kelulusannya, bahkan tantangan dari keluarganya yang cukup berat melepas Foni, salah satunya karena Foni harus mengulang kembali dari kelas VII sementara dia seharusnya sudah duduk di kelas IX, selain juga karena memang merantau masih belum menjadi sesuatu yang umum dilakukan oleh anak-anak Maluku.

Semua itu sungguh tidaklah mudah, tetapi semangat dan antusiasme Foni yang tinggi membuatku tidak menyerah. Aku ingat sekali pernah menanyakan padanya apakah ia masih mau sekolah di Jawa walaupun ia harus mengulang dari nol? Dengan lantang, ia menjawab “Iya, mau!” sambil menganggukkan kepalanya kuat-kuat. Ini memberikan pesan tersirat padaku bahwa, dia bersedia “membayar mahal" selama dia bisa mendapat pendidikan yang lebih baik.

“Foni, Ibu tidak tahu apakah kita akan berhasil menghadapi semua tantangan ini dalam waktu dua bulan lagi, tetapi Ibu minta Foni berdoa kuat bersama dengan Ibu agar Tuhan membukakan jalan bagi Foni. Ibu percaya jika Tuhan menghendaki, Foni pasti berangkat.  Apa Foni siap?”

“Iya, Ibu. Foni akan berdoa kuat.”

Jawaban itu sudah cukup membuatku bertekad untuk berjuang lebih kuat. Apalagi, di luar sana ada begitu banyak orang yang tengah bekerja bakti demi Foni, dan aku tahu itu semua akan sia-sia jika aku tidak mengupayakan semua yang masih harus kutuntaskan di sini. Aku percaya Tuhan tengah memeluk mimpi kami semua, dan karena itu pula aku tidak boleh melepasnya. Semoga saja pada akhirnya aku benar-benar bisa menyampaikan sebuah kabar gembira. Sampai dua bulan lagi.


Cerita Lainnya

Lihat Semua