Ramadhan dalam keberagaman

Fardhady Himawan Kusumo Hanggara 10 Agustus 2012

Bulan Ramadhan kali ini saya harus melewatkannya dengan suasanya yang berbeda dari biasanya. Saya menjalaninya bersama keluarga baru dan lingkungan baru. Karena saya satu-satunya muslim disini, maka saya sudah bersiap menjalani ibadah puasa sendirian.

Hari pertama saya lalui seperti biasa, namun tetap dalam keadaan berpuasa. Namun, ada hal yang saya tangkap berbeda dari pandangan anak-anak. Mereka yang dari sejak pertama selalu mengawasi dan memperhatikan gerak-gerik saya memang kembali tertarik berpuasa. Kenapa saya bilang "kembali tertarik"? karena sepertinya dulu Jairi Irawan sudah pernah mengajak mereka berpuasa.

"Pak Guru, kenapa kamu berpuasa?" mereka bertanya

"Karena ini perintah agama saya" jelas saya sambil tersenyum.

"Emang Pak Guru tidak lapar?"

"Lapar? tentu saja. Karena hanya boleh makan hanya saat pagi-pagi dan malam hari." jelas saya

"Coba kalian tebak, siapa ya orang yang sering kelaparan?" saya menambahkan

"orang yang tidak punya uang pak!" jawab mereka

"orang miskin pak!" mereka menjawab lagi

"yup, betul sekali. Untuk itulah kami berpuasa. Untuk merasakan bagaimana saudara kita yang kekurangan tidak bisa makan seperti kita"

"kalau puasa bisa minum tidak?"

"tidak boleh. Selain tidak makan, puasa juga tidak boleh minum, tidak boleh marah, dan tidak boleh berniat jahat"

"wah susah donk pak"

"tidak kok, asal niat dan dilakukan dengan sungguh-sungguh pasti bisa. justru ketika seseorang bisa berpuasa dengan baik berarti ia bisa menahan emosinya. jadi lebih tenang dan juga akan semakin baik"

"Pak Guru, besok saya ikut kamu puasa ya"

"Saya juga pak!"

Setelah perbincangan itu, saya mendapati ada 5 anak yang bersemangat ikut berpuasa keesokan harinya. Sebelum saya tidur saya menyiapakan nasi untuk kami sahur. Karena saya tinggal sendiri, tidak bersama dengan hostfam maka semua kegiatan masak-memasak saya lakukan sendiri.

Keesokan dini hari, saya bangun jam 2 pagi, untuk mulai mempersiapkan makan sahur.

"Ayo bangun, jadi ikut puasa tidak? bantuin saya masak yuk" Anak-anak mulai saya bangunkan satu-persatu.

Pagi itu, saya dibantu memasak oleh anak-anak. Momen ini selalu saya manfaatkan untuk mengajarkan kepada anak-anak agar memasak tanpa menggunakan "micin".

Setelah selesai masak. Kami berdoa dan mulai makan. Anak-anak selalu saya biasakan untuk memakan makanannya sampai habis hingga butir nasi yang terakhir. "ini untuk mensyukuri nikmat yang kita dapat" jelas saya. Kamipun berhasil melaksanakan sahur bersama.

Hari itu kami beraktifitas seperti biasa. tak tampak sedikitpun anak-anak mengurangi aktifitasnya dipagi hingga siang hari. Namun dari beberapa orang yang berpuasa tampak beberapa diantaranya sudah terlihat lesu. Kemudian saya mendapati dia sedang minum sambil tersenyum-senyum kepadaku.

"yah masa sudah batal sih Lokian?" tanya saya kepada salah satu orang anak

"iya pak, habisnya haus banget. Josua dan Iwan juga sudah minum"

"wah berarti sudah 3 orang yang menyerah nih" kata saya dalam hati. Saya masih penasaran dengan 2 anak lainnya.

"Dereng, kamu masih puasa?" tanya saya ke Dereng. salah satu anak yang "bertahan".

"Masih pak! Beni juga masih puasa" jawab Dereng

"Bagus, kalo sudah jam setengah 6. kita buka bersama ya dirumah"

"Iya pak"

Setelah melewati hari pertama, anak-anak saya ajak ke rumah kembali untuk berbuka bersama. Di akhir hari menjelang magrib, saya mendapatkan hanya 2 orang yang bisa menahan untuk berpuasa.

"Gimana rasanya puasa?" Tanya saya

"Ternyata susah ya pak, apalagi untuk menahan haus dan marah. kalau lapar sih kami bisa menahan." Jawab Josua

"Ternyata jadi orang miskin itu tidak enak ya pak. Kelaparan dan kehausan" Tambah Lokian

"iya betul, tapi jangan lupa untuk menahan rasa marah ya."

"Siap pak!" jawab mereka

"jadi, siapa yang ikut puasa besok?"

"Saya dan Benny pak" jawab Dereng

"yang lain tidak ikut?"

"kami istirahat dulu ya pak" minta mereka sambil senyum-senyum

"Boleh, saya sih seneng aja ada yang nemenin saya sahur. terima kasih ya"

Hingga saat ini, anak-anak sering bergantian menemani saya sahur dan berpuasa. Memang tidak ada paksaan dari saya untuk menemani saya dan harus berpuasa bagi mereka. Saya sudah cukup senang ketika mereka sudah bisa mengambil pelajaran dalam berpuasa. Meski juga banyak yang batal karena lapar, haus dan juga marah. Sungguh pengalaman yang memiliki warna sendiri bagi saya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua