Oeoko

Anggun Piputri Sasongko 19 Juli 2012

Berada di bagian terluar perbatasan paling selatan Indonesia, tidak pernah terbayang olehku. Pulau kecil yang dihuni oleh ribuan pohon lontar, setahun ke depan akan menjadi sahabat baru. Ya layaknya seorang sahabat, akan selalu ada di kala senang maupun susah. Pulau Rote akan memuat cerita keduanya.

Kabupaten Rote Ndao memiliki 9 kecamatan. Dulu sebelum terbentuknya kecamatan, wilayah tempat mereka tinggal ini disebut dengan nusak (kerajaan). Nusak-Nusak (kerajaan) di pulau Rote diantaranya; nusak Onale, Delha, Thie, Dengka, Loleh, Termanu, Keka, Landu, dan beberapa nusak lainnya. Hebatnya Indonesia, pulau kecil seperti pulau Rote yang terbagi atas 19 wilayah ini memiliki keanekaragaman budaya yang beranekaragam. Paling unik menurutku adalah bahasanya. Jadi di pulau ini terdapat 19 bahasa daerah berdsarkan masing-masing nusak yang ada.

Kecamatan Rote Barat Laut dengan nusak Dengka adalah wilayah tempat tinggalku. Tepatnya di Desa Modosinal, dusun Oeoko. Tidak berbeda dengan di Jawa, daerah di Rote ini kebanyakan  menggunakan kata Oe didepannya. Selain Oeoko, ada pula Oenitas, Oeseli, Oelua, Oetutulu dan Oe-Oe lainnya. Kalau di Jawa kita bisa menemukan nama daerah seperti ini di Jawa Barat, Cipanas, Cisarua, Ciamis, dan lain sebagainya.

Oe mempunyai makna yang artinya Air. Untuk tempatku, Oeoko, Oko dalam bahasa Rote artinya tidak ada. Jadi kalau mau diartikan Oeoko secara keseluruhan yaitu Oeoko sama dengan Tidak Ada Air. Inilah rumahku, dusun Oeoko, desa Modosinal. Dimana aku bisa merasakan cahaya dari pancaran lampu bohlam. Dapat berkomunikasi lewat telepon genggam. Listrik dan sinyal memang ada tetapi aku tidak bisa merasakan air mineral selayaknya, yang tidak memiliki rasa, setidak-tidaknya tidak ada deburan serbuk putih didalamnya.

Di tempat aku tinggal terdapat sumur yang tidak jauh, samping rumah. Namun sumur ini adalah sumur buatan, merupakan hasil tampungan air hujan, bila musim panas tiba sumur inipun kering. Untuk mendapatkan air harus berjalan sejauh kurang lebih 1,5 km. Selain kapur, cuka dan garam juga menjadi ciri khas Oeoko. Memang kalau garam di seluruh daerah Rote menjadi hidangan semacam lauk yang selalu ada di atas meja makan. Maka istilah makan kosong tidak lagi asing, makan kosong yaitu hanya makan nasi dengan garam saja. Sedangkan cuka, di konsumsi paling banyak oleh daerahku. Masyarakat suka sekali apabila campuran bumbu masakan dipadukan dengan si asam berbau menyengat ini.

Masih keunikan di Oeoko dan paling dekat, yaitu dirumah. Keluargaku memiliki bermacam hewan peliharaan, salah satunya anjing yang masih kecil, ada 2 ekor. Apa yang unik dari 2 ekor anjing ini, keduanya diberi nama Cinta dan Rangga. Membuatku bertanya-tanya, dari mana mamak ku bisa menamai Cinta dan Rangga sedangkan listrik masuk desa baru 8 bulan yang lalu. Unik tapi nyata. Yang ketiga, hal unik lagi jatuh kepada keanekaragaman hewan. Seperti dirumahku yang memelihara bermacam-macam hewan, berlaku juga di Oeoko. Aku menyebutnya kebun binatang Oeoko. Setalah hampir berkeliling ke kecamatan dimana teman-temanku ditempatkan, maka sebutan kebun binatang oeoko semakin terbukti benar. Mulai dari kucing, anjing, ayam, kerbau, sapi, kambing, babi, domba sampai kuda. Semua ada di Oeoko, jumlahnya tidak sedikit, mereka kadang membentuk sebuah perkumpulan, dan dengan cueknya menghadang jalan tempat kami masyarakat berlalu lalang. Aku paling suka ketika mereka mulai berlomba memperkenalkan diri – mengeluarkan suara khas masing-masing – tidak kenal waktu kapan saja suara itu selalu terdengar. Kesepianku menjadi ramai dengan perbincangan para hewan. Apalagi lagi mereka ini berteman baik. Di kandang babi aku melihat anak ayam dengan induknya. Di padang rumput sebelah rumah, kuda, kerbau, sapi dan anjing menjadi satu. Berbicara soal hewan ada lagi yang unik, yaitu cara mengusirnya. Begini, untuk seekor anjing kalau biasanya kita mengusir dengan kata “hussh” namun berbeda dengan disini, kata “hussh” tidak akan ampuh, anjing justru semakin mendekat. Kata yang tepat adalah “hassh”, begitu teriak “hassh” tanpa pikir panjang si anjing pun pergi.

Last but not least, keunikan yang aku temui dari Oeoko lainnya adalah penduduk lokal. Anak-anak yang pemalu, bapak mamak yang suka bercerita serta selalu saja menyuruhku singgah dirumahnya, “singgah kho, Ibu?” juga sebagian dari mereka yang selalu penuh senyum. Untuk (ter)-senyum ku berikan penghargaan ini kepada keluarga mamak Iche dan anaknya. Sinta, remaja yang duduk di bangku SMK, anak perempuan satu-satunya adalah idola nomor duaku selain bapakku di Oeoko. Sinta setiap kali berjumpa denganku selalu tersenyum, pasti! Tidak habis-habisnya senyum itu, setiap kali bertatap muka bahkan saat kami sedang mengobrol bersama. Tetapi sayangnya aku tidak bisa bertemu dengannya setiap hari,  Sinta sekolah di kecamatan Barat dan tinggal di asrama.

Dari cukup banyak keunikan di Oeoko, aku selalu percaya bahwa di balik kesulitan selalu ada kemudahan, di balik kesepian selalu ada keramaian, dan di balik kesedihan selalu ada kebahagiaan. Semua yang ada di baliknya itu memliki porsi yang lebih besar. Keras memang menjadi karakter masyarakat Rote namun ketulusan dan kebaikan hati mereka menutupinya.

Oeoko dan Rote Ndao akan memberikan banyak cerita. Namun, aku selalu berharap 365 hari, senyumku selalu terpancar seperti Sinta dan kebersamaan dalam berbagi tidak lagi mengenal perbedaan, karena aku sudah menjadi bagian dari mereka, keluarga Oeoko, orang Rote Ndao. Walaupun dengan karakter yang berbeda, kami belajar, bahwa hidup itu menakjubkan. Takjub seperti  hari-hariku selalu dipenuhi keindahan alam ciptaan-Nya.

Oeoko, Rote Ndao.  


Cerita Lainnya

Lihat Semua