Lonceng Kematian: 10 detik saja

Rady Raziman Dypatra 10 Agustus 2012

Ini bukan cerita inspiratif tentang murid-murid baru yang luar biasa atau kisah yang mengharukan tentang perjuangan anak-anak di pelosok negeri. Bukan juga kisah penuh makna dan patut diteladani dari seorang anak muda, sebut saja namanya Pak Guru.

Ini adalah kisah tentang hari pertamanya sebagai seorang guru. Hari Senin 16 Juli 2012 adalah hari pertamanya bertemu dengan anak-anak baru.  Hari yang akan dia mulai dengan rangkaian cerita hidupnya, di sini, di SD Inpres Bandu, sebagai guru kelas satu. Ilmu pedagogisnya memang tidak seberapa, pengalamannya juga ala kadarnya. Tapi Pak Guru ini sudah bernazar di dalam segenap jiwa raganya, dia berjanji akan membuat anak-anak di sini tersenyum menatap masa depan. Impian dan harapan, itulah yang dicita-citakannya.

Pagi ini begitu cerah tapi tak terlalu panas seperti biasanya. Matahari melakukan tugasnya di sebelah timur. Sementara burung-burung bernyanyi dengan merdunya seolah-olah memberikan semangat ekstra padanya. Semilir angin  Rote berhembus dengan lambat, melambaikan daun-daun lontar, menyambut kedatangannya. 

Sepanjang jalan dia terus mengingat-ngingat sinyal-sinyal perintah,games dan lagu-lagu anak yang dia pelajari saat pelatihan intensif di Purwakarta. Tepuk diam, senam maga-maga, lagu teko kecil dan sapaan hai-halo adalah gumamannya sepanjang jalan.

Di sepanjang jalan tak lupa dia sapa anak-anak sekolah dan warga yang akan memulai aktivitas sadap lontar.  Dia pakirkan motor di samping gerbang belakang. Seringai senyum full dia lemparkan kepada anak-anak sekolah yang sedang membersihkan sampah dedaunan yang berserakan di halaman sekolah. Sahut menyahut ucapan selamat pagi dia lakukakan dengan guru-guru yang sedang sibuk dengan kegiatan administrasi penerimaaan siswa baru. Dia merasa senang memulai pagi dengan keramahan dan keceriaan.

Tampak sebagian besar murid-murid baru dan orang tuanya sudah duduk tenang di ruangan kelas satu. Sebelum masuk kelas dia berdoa dulu berharap ada keajaiban di hari pertamanya. Kemudian Pak Guru masuk, lalu berdiri dengan gagah dan percaya diri di depan kelas. Dia paksa wajahnya menoleh dengan lembut dan ramah ke arah anak-anak kelas satu yang sedang duduk manis di kursi kayu. Suasana kelas cukup hening, anak-anak diam dan tampak malu-malu ketika Pak Guru sapa mereka dengan ucapan selamat pagi.

Berbekal pepatah: di dalam wajah yang ceria terdapat perasaan yang bahagia. Dia sapa lagi anak-anak itu dengan intonasi suara yang lembut, mimik muka yang ramah dan ceria, menirukan cara Kak Seto--pakar psikologi anak--saat berinteraksi dengan anak-anak. Guess what? Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut mungil itu.

 Ah mungkin suara Pak Guru tidak terdengar jelas oleh anak-anak. Lalu dia melangkahkan kaki tiga kali dan berdiri tepat di tengah-tengah kelas. Dia naikan volume suaranya berharap anak-anak mendengar dan menjawab dengan ucapan yang sama. Aneh tapi nyata, anak-anak itu tetap diam seribu bahasa. Tapi Pak guru ini tak menyerah begitu saja. Dia coba sekali lagi. Kali ini dia lakukan dengan gerakan tangan, dengan intonasi suara yang jelas dan lambat dan sesekali dia pakai kosakata bahasa daerah dan logat lokal yang baru dipelajarinya. Beta yang artinya saya,lu=kamu, sonde=tidak, dan kalimat pertanyaan yang diakhiri dengan kata ko=kah adalah kata-kata yang ia harapkan memberikan sebuah keajaiban. Guess what?  God, it doesn’t work.

 Melihat Pak Guru tampak kebingungan, beberapa orang tua mulai berbisik satu sama lain dengan bahasa yang sama sekali tidak dimengertinya, bahasa Rote. Sambil sesekali melemparkan senyum belasungkawa padanya.

Detak jantungku mulai menghentak-hentak, semburan adrenalin menusuk deras mengalir ke seluruh pembulu darahnya, keringat dingin dan keringat panas bercampur menjadi satu, keluar melalui pori-pori kulitnya. Dia panik. Dia kesal. Amarahnya mulai memuncak di kepala.

Dalam suasana seperti itu, pikiran-pikiran negatif mulai menghujam otak dan perasaannya. “Apakah aku terlihat menyeramkan? sehingga lebih pas disebut penjahat atau psikopat.  Apakah aku kelihatan seperti mantri tukang suntik? Apakah anak-anak itu menganggapku punya tanduk dan buntut? Apakah aku tidak lucu? What is wrong with me? Salah apa ibu mengandungku?”. Itulah sekelumit perasaan-perasaan negatif yang ada di pikirannnya.

Dalam hati dia menggerutu, ”Hei monster-monster kecil, jawab dong? Jangan diam saja, jangan siksa aku seperti ini. Tolong jangan perlakukan aku  seperti ini. Ini menyakitkan. Everybody in this world: H.E.L.P.M.E. (SOS message)”.

Lalu, orang tua anak-anak kelas satu, dia suruh keluar, berharap Pak Guru bisa berinteraksi dekat dengan anak-anak. Lalu? Lonceng pun berbunyi, detik-detik kematian dimulai. Siaaap?

Detik pertama: Suasana kelas hening dan senyap

Detik kedua: Lapor! kelas aman dan terkendali.

Detik ketiga: Hahaha...dia memang hebat. Pak Guruu...? (dengan nada sombong.

Detik keempat: Siapkan agenda selanjutnya! Lanjutkan!

Detik kelima: Lapor! Ada anak perempuan berumur kira-kira 5,5 tahun, yang       duduk di barisan pertama dari kanan. Menangis.

Detik keenam: Lapor! Anak perempuan yang duduk paling belakang di barisan  kedua menangis memanggil-manggil ibunya.

Detik Ketujuh: Lapor! Beberapa anak yang ada di barisan paling belakang menangis dengan serentak.

“Sepertinya mereka telah melakukan konspirasi!”, keluhnya.

Rengekan beberapa anak mulai terdengar menyayat di kuping Pak Guru saat para orang tua keluar. Mirip seperti ciakan suara ayam yang kehilangan induknya.  Oh apa yang harus dia lakukan? Sinyal-sinyal untuk menertibkan anak tak lagi berguna, lagu Selamat Pagi akan kadengaran sumbang kalau dinyanyikan, dan senam maga-maga tidak lagi kelihatan lucu dalam situasi seperti ini. Sial. Lima tahun dia kuliah di Kampus Ganesha belajar tentang teori kuantum, ngomong tetang elektron, berdebat tentang struktur molekul dan konformasi  protein.  Sama sekali tak berguna. Gelar master yang  dia raih setelah ia selesaikan dalam waktu hanya satu tahun ternyata tak membantunya untuk urusan seperti ini. Ini bukan teori, tapi ini realita kawan!.

Detik kedelapan: umumkan status gawat menjadi status awas!

Dia mulai merasa gemas. Tapi hati kecilnya mengingatkan bahwa dia adalah anggotapasukan elit. “Pengajar muda selalu bisa dalam kondisi apapun. Pengajar muda adalah orang-orang terbaik, orang-orang terpilih yang sudah selesai dengan dirinya”. Inilah kalimat yang menjadi kebanggaannya selama ini. Sekaligus menjadi beban terberat yang pernah dipikulnya.

Detik kesembilan: evakuasi korban!

Dia tarik napas panjang, lalu Pak Guru belai anak-anak yang menangis itu dengan lembut, lalu dia tanya dengan halus.

“Kenapa menangis sayang?”

 Setelah dia nasehati agar berhenti menangis, mereka malah menangis lebih keras. Saat suara Pak Guru mulai meninggi karena kesal, dan tangannya mulai gemas, tangisan mereka malah makin menjadi-jadi mirip seperti suara lebah. Oh dia panik. Dia belum pernah menghadapi anak kecil yang menangis. Bagaimana cara mendiamkan mereka. ”Ya Allah, kumaha ieu? (Ya Allah, bagaimana ini?), what the hell am I doing here?”.

Detik kesepuluh: bendera putih dia kibarkan, dia    menyerah, dia gagal   dalam tugas, dia pikir lebih baik melakukan harakiri saja    supaya lebih terhormat.

Kemudian Pak Guru memanggil para orang tua yang sedang menunggu di luar, lalu dia antarkan anak-anak yang menangis itu pada mereka, berharap para orangtualah yang menenangkan.

“Fiuuh...”

Pak Guru masuk lagi ke dalam kelas, lalu dia pandangi satu per satu anak-anak yang masih ada di dalam kelas. Tatapan tajam dia sorotkan pada mereka, seringai setengah senyum dia sunggingkan di depan kelas sambil menggerutu dalam hati, “ Hari ini kalian sudah berhasil membuatku merasa gagal, merasa malu di depan para orang tua, merasa tak mampu di hadapan para guru”.

Kemudian dia duduk di kursi, menatap dinding di belakang kelas. Dalam lamunan kosongnya, dia membayangkan setahun lamanya akan hidup seperti ini. Setiap harinya.  Bukan sesuatu yang ia harapkan. Ini di luar ekspetasinya. Lalu ia tundukkan pandangannya ke lantai.  Perasaan kecewa berat, krisis percaya diri akut, dan persaaan tak mampu pun  muncul di kepalnya. Dia merasa ragu dengan dirinya ”Apakah aku cukup mampu dan cukup teruji untuk menjalani semua ini? setahun lamanya?”

Lima menit.

Pak Guru menundukkan kepala.

Sudah cukup.

Lalu ia bangkit dari tempat duduknya. Dia tepuk bahu kanan dengan tangan kiri lalu dia ucapkan kalimat sakti pemberi semangat: “Good job! Good job! Good job!. Ini belum berakhir Pak Guru, kamu tidak gagal, kamu sudah melakukan yang terbaik, masih ada kesempatan satu tahun lagi untuk belajar”.

Dia berjanji tidak akan pernah berhenti belajar memahami anak-anaknya, dia tidak akan pernah menyerah untuk menemukan segenap potensinya. Sebuah janji yang akan ia tulis di dalam  setiap denyut nadinya. Merasuk sampai ke tulang rusuk, menyatu  dengan aliran darahnya. Waktunya dan kesempatannya tidak akan pernah terulang. It’s now or never, sefrasa berjuta makna dalam judul lagu Elvis Presley mengingatkannya. Ia sudah bertekad menjadi bagian dari kuantum perubahan.

Lilin sudah dinyalakan pantang untuk ditiup kembali.

***

Sad ending? (to be continued...)


Cerita Lainnya

Lihat Semua