Kurma dari Pendeta
Khairil Hanan Lubis 10 Agustus 2012
Indahnya hidup karena selalu penuh dengan kejutan-kejutan. Dan kejutan itu bisa datang kapan saja, di mana saja dan melalui siapa saja.
Hari ini adalah buka puasaku yang paling nikmat selama di kampung ini. Jika biasa hanya dengan air putih, kali ini ada sesuatu yang beda. Sesuatu yang memang ku rindukan saat puasa begini. Buah kurma!
“Kaka, ini ada yang mau bertemu,” panggil Cemo, adikku di rumah ini. Saat itu aku sedang menulis di kamar.
Seorang bapak sudah menunggu dan kemudian menyerahkan sebungkus plastik merah transparan padaku. Melihatnya dari luar, aku langsung tersenyum. Aku langsung tanda apa isi dalam plastik itu.
“Apa itu isinya?” tanyanya.
“Buah kurma,” jawabku.
“Dari siapa?” gantian aku bertanya.
“Dari ibu pendeta.”
Aku sangat senang sekaligus takjub, bisa makan kurma di sini. Kurma ini di beli pendeta saat di Larat, ibukota kecamatan. Begitu tiba kembali di desa, ia pun menyuruh seseorang untuk mengantarkannya padaku sebagai makanan berbuka puasa.
Saat awal puasa di Larat, aku memang mencari ke sana-sini penjual kurma. Ternyata memang tak ada yang jual di Larat. Jadi kemungkinan ada kapal dagang yang baru masuk dan turut membawa kurma ini untuk di dagangkan.
Bapak yang mengantar itu terlihat penasaran dengan buah ini. Awalnya ia sempat menolak saat ku tawarkan, tapi karena ku bilang ini buah biasa yang bisa di makan siapa saja, ia pun mencobanya.
“Enak ya,” katanya langsung sambil mengangguk-ngangguk.
Aku pun dengan semangat lalu menawarkannya pada orang-orang yang di rumah dan datang ke rumah. Awalnya, semua pada ragu-ragu. Tapi begitu di coba, semua menganggukkan kepala. Katanya, ada buah di sini yang rasanya mirip. Namanya, buah telinga.
Bapak piaraku, Pak Ohi malah mau mencoba menanam kurma di sini. Meski sudah ku jelaskan jika pohon kurma hanya bisa berbuah di iklim tertentu, ia tetap ingin mencoba. Jadilah setiap orang yang makan, bijinya harus setor ke dia.
Maka setelah berbuka tadi, aku pun ke Pastori (rumah dinas pendeta) untuk menyampaikan terima kasih pada ibu pendeta. Ia cerita, pada sebuah toko di Larat ia di tawarkan mencoba kurma oleh penjualnya. Sang penjual bilang, kurma ini biasa menjadi makanan berbuka puasa. Mendengar itu, Ia langsung teringat padaku dan memutuskan untuk membelinya.
“Mungkin bisa di makan untuk batal puasa,” katanya.
Aku tak hentinya tersenyum sore tadi. Sebuah sore yang mengharukan, tentang indahnya toleransi.
Salam,
Manise Tanah Beta!
Lamdesar Barat, 08/08/2012 (21:14 WIT)
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda