Si Merah Menyapa Sitoko

Farah Mustika Sari 8 April 2014

Jam menunjukkan pukul 10.00 ketika aku baru saja memukul lonceng 3 kali pertanda istirahat usai dan jam pelajaran selanjutnya akan segera dimulai pada sebuah hari Kamis yang cerah di Kampung Sitoko. Aku baru saja selesai menyapa anak-anak dan hendak mengambil boardmarker yang ada di mejaku ketika kulihat Pak Ape, salah satu guru di sekolahku berlari ke arah pemukiman penduduk yang ada sebelah selatan sekolah kami. Segera setelah itu guru-guru lain pun menyusul di belakangnya sambil berlari dengan mimik muka yang serius dan panik, yang diikuti dengan anak-anak yang juga berlari di belakangnya. Ikut penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi, aku pun ikut beranjak ke arah datangnya pusat perhatian.

Semakin mendekat, aku melihat kobaran api yang kian besar tengah membakar rumah Mak Ijah, yang kebetulan merupakan olot* dari keluarga angkatku, Teteh** Rumanah. Satu per satu ibu-ibu mulai menangis tersedu-sedu, melihat hal itu, anak-anak yang sedang berhamburan di luar pun ikut menangis tersedu-sedu, beberapa dari mereka ikut ketakutan, beberapa hanya ikut terbawa keadaan yang memang bernuansa panas dan suram itu. Kuakui ini juga merupakan pengalaman pertamaku melihat kebakaran dengan skala cukup besar langsung didepan mata, saat suasana terasa begitu kacau dan suram bahkan di siang hari yang terik. Aku benar-benar bisa merasakan atmosfer mencekam sedang menyelimuti kampung Sitoko saat itu.

Aku pun mulai berpikir apa yang terbaik yang bisa kulakukan untuk keadaan seperti ini. Sembari ikut bergegas ke arah bapak-bapak yang sedang berusaha memadamkan kobaran api dengan menyiramnya dengan air yang diambil dari parit kecil di samping rumah Mak Ijah, aku mengerahkan anak-anak yang ada di sekitarku untuk mencari ember yang ada di sekitar sekolah untuk diberikan kepada bapak-bapak.

Aku memutar otak kembali untuk berpikir apa lagi yang dapat kulakukan untuk memperbaiki keadaan saat ini. Melihat kobaran api yang kian membesar di siang yang panas, tiba-tiba terpikir olehku langkah antisipasi untuk berjaga-jaga bilamana api berkobar semakin besar dan tidak teratasi oleh bapak-bapak tersebut. Kurogoh saku jaketku yang berwarna abu-abu untuk mencari handphone, kutekan nomor 911, satu-satunya nomor panggilan darurat yang kuingat saat itu ketika kusadari tanganku gemetar saat menyaksikan situasi di sekitarku, kobaran api yang kian membesar, ibu-ibu diikuti anak-anak yang menangis kian histeris. Tiba-tiba aku tersadar kembali, ini adalah daerah minim sinyal, pantas saja nomor tersebut tak dapat dihubungi.

Maka aku kembali berlari ke arah anak-anak yang masih histeris dan bergegas mengajak mereka yang saat itu sedang menyaksikan Mak Ijah, sang pemilik rumah sedang menangis histeris, untuk segera masuk ke dalam kelas. Yang ada dalam pikiranku saat itu adalah dampak psikologis hal ini terhadap anak-anak. Aku tidak ingin mereka meniru apa yang dilakukan oleh ibu-ibu yang ada saat itu, aku ingin mereka menjadi anak-anak yang tenang, tegar, dan siap dalam keadaannya yang sulit, dan bukan meratapinya. Aku ingin hal ini tidak mengganggu semangat belajar mereka nantinya. Toh  mereka sudah membantu se-maksimal mungkin yang dapat mereka lakukan untuk mencarikanku ember sebelumnya.

Akhirnya, setelah berhasil mengondisikan mereka untuk masuk ke dalam kelas masing-masing. Aku pun memasuki kelas mereka satu persatu untuk memberikan pesan singkat demi menenangkan dan meredakan tangis mereka. “Anak-anak, ibu tahu kalian semua takut menyaksikan keadaan diluar, tapi jika kalian ikut melihat di luar dan menangis, itu tidak akan membantu. Sekarang, marilah kita duduk bersama-sama di kelas untuk berdoa bersama-sama. Dengan ini kalian akan membantu dua hal sekaligus, yang pertama ikut mendoakan agar api segera reda, yang kedua dengan duduk di kelas, itu akan membantu orang tua kalian yang sedang berada di luar untuk lebih tenang karena tahu anaknya sedang berada di kelas dan aman,” begitu pesanku kepada anak-anak saat itu.

Aku begitu bersyukur  karena sebagian besar dari mereka adalah anak yang penurut. Setelah akhirnya api berhasil ditaklukkan dan para bapak guru yang ikut membantu memadamkan api (aku adalah satu-satunya ibu guru di sekolah ini) kembali ke sekolah, aku pun cepat-cepat bertanya pada mereka apakah ada korban jiwa dan aku begitu lega karena tak ada satu orang pun yang terluka disini. Kebetulan saat kebakaran terjadi, sebagian besar warga Kampung Sitoko sedang berada di sawah untuk bertani. Para bapak guru itu pun akhirnya kembali ke kelasnya masing. Begitu pula dengan aku, yang masuk kembali ke dalam kelas 5. Kulihat wajah mereka satu persatu, ada yang masih sesenggukan akibat menangis, ada yang cemberut, ada yang masih bingung oleh keadaan, yang jelas tak ada satu pun dari mereka yang tersenyum.

Sempat terbersit keinginan untuk memulangkan mereka segera, tapi kusadari ini masih pukul 11, masih merupakan hak mereka untuk belajar hingga pukul 12 siang nanti, lagipula, tidak ada baiknya juga bagi mereka apabila pulang ke rumah sekarang. Maka kuajak mereka bercerita bersama tentang api, mengambil hikmah dari kejadian nyata yang baru saja mereka saksikan, memberi mereka bekal pengetahuan tentang api, manfaat dan bahayanya, penyebab-penyebab kebakaran dan cara menanggulanginya. Diam-diam aku berterima kasih pada guru mata pelajaran IPA-ku saat Sekolah Dasar, Pak Imam, yang pernah mengajari aku dan teman-temanku saat itu tentang api, dan bagaimana cara menghadapinya, terutama saat keadaan api masih kecil, yaitu dengan cara menutupnya dengan karung goni atau kain apapun yang telah dibasahi sebelumnya. Anak-anak pun menyimak penjelasanku dengan penuh perhatian, dengan kesadaran penuh akan bahaya api yang sudah besar seperti yang baru saja mereka lihat.

Kegiatan hari itu pun diakhiri dengan mengajak mereka untuk bersama-sama menuliskan peristiwa yang baru saja mereka saksikan ke dalam jurnal harian mereka.

Rumah Mak Ijah memang habis terbakar. Adalah hal yang wajar jika warga Kampung Sitoko merasa bersedih dan berbela sungkawa, namun hikmah yang diambil tetaplah selalu ada jika kita mau mencarinya. Hari itu anak anak melihat langsung secara nyata, belajar tentang betapa kuatnya Si Jago Merah yang sudah berkobar besar, Si Jago Merah yang biasa mereka lihat tiap hari di dalam tungku hau*** ibu mereka, Si Jago Merah baik hati yang membuat sarapan mereka menjadi matang untuk mengisi perut mereka sebelum berangkat sekolah, Si Jago Merah yang dapat menghangatkan tubuh mereka untuk siduru**** di cuaca yang sedang dingin, Si Jago Merah yang mungkin selama ini biasa saja, tidak terlalu mereka perdulikan keberadaannya, manfaat dan juga bahayanya. Kali ini kejadian nyata-lah yang menjadi guru langsung mereka.

 

*olot= nenek, dalam bahasa Sunda

** teteh= kakak perempuan, dalam bahasa Sunda

*** hau= kompor tradisional yang berbentuk mirip kompor gas panjang dengan dua lubang diatasnya untuk meletakkan panci atau alat masak lainnya, dan terbuka di bagian depan untuk memasukkan kayu bakar.


Cerita Lainnya

Lihat Semua