info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Goresan Kesan Pertama: Dalam Impian

Farah Mustika Sari 8 April 2014

15 Juni 2013, kali pertama aku datang ke sebuah puncak bukit yang indah bernama Kampung Sitoko, yang terletak di Desa Pasirhaur, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak, Banten. Meski hanya beberapa jam dari Ibukota Jakarta, jangan bayangkan segalanya juga serupa dengan di kota, jalanan yang nyaman, pendidikan yang memadai, apalagi tempat-tempat hiburan dan pusat perbelanjaan seperti mall ataupun tempat karaoke. Dari Jakarta, bersamaan dengan 73 Pengajar Muda VI lainnya kami diberangkatkan dari 1 titik, Bandara Soekarno Hatta. Dari Bandara Soekarno Hatta, kami dibawa dalam perjalanan selama kurang lebih 4-5 jam dengan menggunakan kendaraan minibus sampai menuju pusat kecamatan Cipanas, suatu tempat yang bernama Gajrug. Jujur, sampai di Gajrug, aku sempat membatin, “Oh, hanya begini saja tempat penugasanku?”. Sebuah peradaban yang sudah ramai dan bisa dibilang maju. Masih terbawa dengan perasaan bahwa semakin “parah” keadaan penempatan kami, semakin hebat kami dikatakan. Aku pun mulai berasumsi sendiri, terus terang dengan sedikit kecewa. “Ini kan Lebak ya, sudah dekat dengan ibukota Jakarta, separah-parahnya juga tak akan berbeda jauh dengan desa-desa yang berada di kampung halamanku di Jawa Timur. Setelah menunggu dan beristirahat barang beberapa jam, Mas Wahyu, Pengajar Muda yang akan kugantikan memanggilku (kami sedang dalam masa transisi), “Farah, jemputannya udah datang tuh, ayo berangkat!”

 “Ini Kepala Sekolah Diniyah kita, namanya Pak Iden.” kata Mas Wahyu sambil mengenalkanku pada seorang bapak muda yang tersenyum ramah sekali.

“Oo.. Saya Rara..” sambung saya sambil mengulurkan tangan.

“Iden, selamat datang di Cipanas bu Rara..” sambutnya dengan ramah, seramah wajahnya yang sumringah.

Kami pun mulai bercakap-cakap ringan seputar Kampung Sitoko, tempat tinggalku selama masa penugasan 1 tahun kedepan.

“Mari, kita berangkat sekarang....” ajak Pak Iden.

“Ayooo..” sambutku dengan antusias.

Dan petualangan pun dimulai. 2 motor yang ada siap membawa kami dan barang-barangku yang melimpah. Aku bersama Pak Iden, dan Mas Wahyu bersama seorang pemuda desa lainnya.

“Wah, saya jadi merasa terhormat ini jadi orang pertama yang membawa Ibu, Ibu kan PM, orang cerdas.” Kata Pak Iden saat motor yang beliau kendarai mulai melaju. Aku tersenyum.

“Aamiin. Pak Iden ini bisa saja. Justru saya yang juga akan belajar banyak disini.”

Motor pun terus melaju, mulai dari pasar Gajrug yang sungguh ramai, hingga kemudian mulai memasuki jalanan aspal yang meliuk-liuk indah dengan pemandangan sawah yang cantik di kanan kiri. Melewati desa satu ke desa lain, pemandangan yang sama masih kami lewati, yang membuatku tak henti-hentinya terpana, membatin dalam hati, “Subhanallah.. aku tak pernah melihat yang seindah ini sebelumnya.”

Memasuki desa kami, Pasihaur, jalanan pun mulai menanjak dan menurun. Masih dengan aspal halusnya, hingga tiba waktunya kami memasuki kawasan berbatu setelah Kampung Siangin hingga menuju kampung kami, Sitoko.

“Siap-siap ya Bu, jalanannya nggak biasa.” ujar Pak Iden mengingatkanku.

Dan ternyata, memang benar saja, jalanan ke Sitoko adalah batu-batu besar dengan tanjakan dan turunan yang cukup ekstrim. Saya sesekali memejamkan mata saking takut dan tegangnya, namun pak Iden yang mengendarainya terlihat tenang dan santai saja.

Sampai diatas, aku tak lagi sesekali memejamkan mataku, betapa tidak... hamparan pegununungan dengan jarak pandang tak terbatas yang menyatu dengan lembutnya langit siang itu dari kejauhan menyambutku yang tak henti-hentinya bergumam wow, woow, wooow.

Dan Kampung Sitoko pun mulai terlihat, rumah-rumah yang berkelompok-kelompok, (yang selanjutnya disebut babakan), berbalut dengan indahnya lukisan yang hanya para petani yang mampu membuatnya, sawah sengkedan.

Dan tiba-tiba aku tersadar, doaku sedari kecil terjawab, aku yang lahir dan tumbuh di tengah padatnya perkotaan hampir dan tidak pernah merasakan suasana pedesaan yang alami.

Dan hari itu Allah menjawab doaku, mimpiku..

Mimpi untuk memiliki kampung halaman di sebuah desa yang asri dengan pemandangan elok tak terkalahkan, bahkan mungkin melebihi itu.

Mimpi untuk tiap hari dimanjakan oleh rimbunnya dedaunan di alam yang ayu...

Mimpi untuk ikut mendidik anak negeri yang membutuhkan, atas nama Negeriku...

Mimpi untuk tertawa lepas bersama di alam bebas bersama anak-anak ini...

Dan inilah Sitoko, sebuah kampung di puncak bukit yang elok, tempatku bertugas selama 1 tahun pengabdian, tempatku mengajar dan juga belajar, kampung halaman keduaku.

                                                                                                                     (Kampung Sitoko, 6 Agustus 2013)


Cerita Lainnya

Lihat Semua